"Aduh sakit!” pekik Lastri sambil memegangi tangannya.
Sakit luar biasa dirasakan oleh Lastri tanpa sebab yang pasti, dalam ruangannya Lastri mengerang kesakitan hingga keringatnya mengalir deras.
Wajah Lastri seketika pucat hingga membuatnya kehilangan kesadaran.
Seorang karyawan mencoba masuk ke ruangan Lastri karena ada berkas yang harus di periksa, ia terkejut melihat Lastri yang terbaring di lantai dengan wajah yang pucat.
Ia pun meminta pertolongan kepada karyawan lain untuk mengangkat tubuh Lastri.
Beberapa orang berusaha menyadarkan Lastri dengan cara mendekatkan sebotol minyak kayu putih ke hidung Lastri.
Terlihat Lastri mulai bereaksi, ia mengerutkan dahinya lalu perlahan membuka matanya.
“Syukurlah sudah sadar.”
“Lastri kamu sakit?” ucap Melinda salah satu staf pemasaran yang ruangannya bersebelahan dengan Lastri.
“Iya saya nggak apa-apa,” sahut Lastri.
“Tapi wajah kamu pucat banget, apa kamu mau kami antar ke rumah sakit?” tanya Melinda.
“Nggak usah Mbak Mel saya baik-baik saja,” Lastri bangun dan bersandar di sofa.
“Sepertinya kamu kelelahan. Kamu jangan memaksakan diri Lastri.”
“Makasih ya Mbak Mel dan kalian sudah mau membantu saya,”
Melinda tersenyum. “Memang seharusnya kita saling membantu.”
Melinda dan beberapa karyawan lain pun berpamitan dan kembali ke ruangannya masing-masing. Lastri masih lemas dan tidak terlalu mengingat apa yang terjadi.
“Gelangnya?” Lastri terkejut karena jimatnya menghilang.
Dengan cepat Lastri mencari ke setiap sudut ruangannya bahkan membongkar isi tong sampah yang ada di ruangannya.
“Kemana gelang itu?” Lastri panik.
Semua barang yang ada di ruangan Lastri berantakan namun Lastri tidak juga menemukan jimatnya tersebut hingga ia pasrah.
Saat jam pulang kerja Lastri menghampiri Melinda yang masih berada di ruangannya.
“Mbak Mel apa saya boleh masuk?” ijin Lastri.
“Tentu saja boleh,” sahut Melinda.
“Ada apa Lastri?”
“Begini Mbak Mel, saya mau menanyakan sesuatu. Apa Mbak Mel melihat gelang saya saat saya pingsan tadi siang?” tanya Lastri.
“Gelang? Rasanya aku nggak lihat gelang atau semacamnya Lastri. Kenapa memangnya?”
“Nggak apa-apa Mbak Mel. Saya cuma tanya itu saja.”
Lastri berpamitan kepada Melinda lalu berjalan menuju lift dan berjalan pulang. Sepanjang jalan Lastri memikirkan kemana perginya gelang tersebut seakan lenyap tak berbekas.
Tanpa sadar Lastri berjalan sendirian menuju rumahnya tanpa memesan ojek online dan semacamnya.
Sepanjang jalan Lastri di tegur banyak pengendara yang lewat karena mereka terpesona dengan kecantikan Lastri. Hingga ada seorang pemuda pengendara motor sengaja berhenti untuk sekedar meminta nomor handphone Lastri.
“Permisi Mbak. Boleh minta nomor HP?” ucap pemuda itu.
“Nomor HP saya untuk apa?”
“Ya ... Saya mau kenalan aja sama Mbak,” sahutnya dengan malu-malu.
“Ya kalo mau kenalan di sini saja. Nama saya Lastri.”
“Saya Setipen Mbak,” ucapnya.
“Stipen?” Lastri mengingat masa sekolahnya dulu saat SD anak-anak menyebut penghapus pensil dengan sebutan setip.
“Iya Setipen, anaknya Pak Komar.”
'Apa peduliku kamu anaknya siapa.’
Lastri memutar kedua bola matanya dan berlalu pergi, pemuda itu terus mengikuti Lastri dan memaksa untuk meminta nomor handphone Lastri.
Hingga suara dari klakson mobil menghentikan langkah Lastri. Lastri menoleh dan merasa tidak asing dengan mobil tersebut.
“Azlan.”
“Lastri ayo masuk. Aku antar pulang,” ucap Azlan.
Tanpa pikir panjang lebar Lastri bergegas masuk ke dalam mobil Azlan.
“Makasih ya. Kalau bukan karena kamu aku bakalan di ikutin dia terus.” Ucap Lastri sambil memasang savety belt.
“Sama-sama.” Sahut Azlan.
Mobil pun berjalan menuju rumah Lastri, sepanjang jalan mereka berdua hanya terdiam satu sama lain tanpa bicara sepatah katapun. Aura canggung begitu terasa di antara mereka berdua.
'Kenapa tadi aku nggak pesan ojol aja sih, aku malu banget,' pikir Lastri.
'Gimana nih aku takut dia sebenarnya nggak mau aku antar,' pikir Azlan.
“Kamu-” ucap mereka bersamaan.
“Eh ... Kamu aja duluan,” ucap Lastri.
“No. Ladies first,” sahut Azlan.
'Dia ngomong apa sih?' pikir Lastri.
“Kok diam?” tanya Azlan.
“Kamu aja deh duluan.”
“Kamu kenapa kok jalan kaki?” tanya Azlan.
“Aku lupa harusnya aku tadi pesan ojol tapi enatah kenapa aku jadi jalan kaki.”
“Oh iya. Kamu bayarin makanan aku ya tadi? Ini aku gantiin,” Lastri memberikan selembar uang.
“Nggak perlu. Anggap saja aku traktir kamu. Tadi kenapa kamu kok tiba-tiba pergi?” tanya Azlan.
“Oh itu ... A-ada yang kelupaan aku kerjakan jadi aku langsung pergi,” sahut Lastri gugup.
Setelah percakapan itu mereka kembali terdiam hingga sampai di depan gang rumah Lastri.
“Makasih ya kamu sudah nganterin aku.”
“Sama-sama. Lain kali jangan sering-sering jalan kaki, kasian kan nanti kakimu cape,” sahut Azlan.
Azlan menjalankan mobilnya meninggalkan Lastri hingga Lastri baru menyadari jika sedari tadi ia tidak memberi tahu alamat bahkan arah jalan menuju rumahnya.
'Kok Azlan bisa tahu rumahku? Perasaan aku belum ngasih tahu.’ Lastri bermonolog.
Lastri berpikir keras dari mana Azlan tahu rumahnya di mana, bahkan sampai mengira Azlan adalah seorang cenayang.
Sesampainya di rumah Lastri menyapa ibunya dan mencium tangan ibunya lalu masuk ke dalam kamar. Lastri berjalan kembali menuju kamar mandi.
Usai mandi dan berganti pakaian Lastri masuk kembali ke dalam kamar. Hingga menjelang magrib Lastri mulai merasakan kembali nyeri yang ada di tangannya.
“Aduh sakit.” Lastri meringis sambil memegangi tangannya.
Rasa sakit itu mulai berubah menjadi rasa panas luar biasa membuat Lastri berlari masuk ke kamar mandi dan mencelupkan tangannya ke dalam bak mandi.
“Ada apa Nak?” ucap Minah.
“Tangan Lastri rasanya panas sekali Bu,” sahutnya sambil terus membenamkan tangannya ke dalam bak mandi.
“Sini coba Ibu lihat.”
Lastri memperlihatkan tangannya kepada ibunya, terlihat seluruh tangan Lastri memerah seperti udang rebus, rasa sakit, perih dan panas itu membuat Lastri menangis.
“Ya Allah. Kenapa tangan kamu Lastri?”
“Lastri nggak tahu Bu, tiba-tiba begini.”
“Ibu coba kompres tangan kamu ya. Kebetulan di dapur ada sisa es batu,” ucap Minah.
Lastri masuk ke dalam kamar sambil menahan sakit, saat membuka pintu Lastri terkejut karena melihat sosok Nyi Ratih duduk di atas ranjangnya.
“Nyi Ratih,” ucap Lastri terkejut.
“Kemari dan duduklah.”
Lastri mendekati Nyi Ratih dan duduk di sebelahnya. Nyi Ratih meraih tangan Lastri dan memberikan sekuncup bunga kantil kepada Lastri.
“Makan ini dan berbaringlah.”
Dengan cepat Lastri memakan bunga itu setelahnya ia berbaring di atas kasurnya.
Nyi Lastri mengusap pelan tangan Lastri, ia merasakan rasa sakit itu berangsur berkurang dengan rasa sedikit menggelitik seperti kesemutan di permukaan kulitnya.
Nyi Ratih pun berdiri. “ Berhati-hatilah. Yang terlihat baik tidak selamanya baik,” pesan Nyi Ratih.
Setelah mengucapkan hal itu Nyi Ratih menghilang perlahan seperti asap tipis di hembus angin.
“Rasa sakitnya hilang. Dan jimatku kembali,” ucap Lastri sambil melihat tangannya.
Tidak lama Minah datang membawa baskom kecil berisi air es.
“Ayo sini Ibu kompres dulu,” ucap Minah.
“Baik Bu.”
Lastri tidak ingin usaha ibunya sia-sia, ia tetap membiarkan ibunya mengompres tangannya walaupun sebenarnya tangannya tidak sakit lagi.
“Sudah Bu. Tangan Lastri sudah nggak panas lagi,” ucap Lastri.
“Alhamdulillah kalau begitu.”
“Makasih ya Bu. Berkat Ibu tangan Lastri nggak sakit lagi,” puji Lastri.
“Ya sudah Ibu ke dapur dulu.”
Minah meninggalkan Lastri dan berjalan menuju dapur, sedangkan Lastri memikirkan ucapan dari Nyi Ratih.
Bersambung dulu gengs jangan lupa dukungannya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
neng ade
mungkin maksud Nti Ratih itu Lastri harus hati2 sm Nilam .. orang yg terlihat naik blm tentu baik ..
2024-07-15
1
FiaNasa
NYI Ratih ini sebenarnya baik apa ya slalu menasehati lastri
2024-06-24
0
Putri Minwa
Minah nggak tau apa, kalau putri nya bermain ilmu hitam
2022-11-27
0