Pergi Ke Dukun

Keesokan harinya, Lastri tengah bersiap untuk pergi Lastri kali ini mengenakan baju terbaiknya serta merapikan rambutnya. Tidak lama sebuah mobil berwarna merah berhenti di depan rumah Lastri.

“Lastri!” ucap Nilam sedikit keras sambil membuka pintu mobilnya.

“Ayo masuk,” ajak Nilam.

Lastri berpamitan dengan Ibunya dan masuk ke dalam mobil, Nilam menyalakan mesin mobilnya dan melaju menuju tempat tujuan mereka, dalam perjalanan Lastri penasaran karena jalan yang mereka lalui menuju arah luar kota.

“Apa tempat dukun itu jauh?” tanya Lastri.

“Nggak terlaku kok sekitar tiga jam,” sahut Nilam.

“Aku kira sekitar kota kita aja,” sahut Lastri sedikit cemas.

Nilam hanya tersenyum mendengar ucapan Lastri, dia mulai menambah kecepatan mobilnya hingga mereka melintasi beberapa jalan dari beberapa desa. Hamparan sawah membentang sepanjang mata mandang di tambah beberapa gunung yang terlihat membias dari jauh. Hingga mereka melintas di jalanan sepi dengan pepohonan rimbun di sepanjang jalan.

“Ini beneran kita masuknya lewat sini?” tanya Lastri.

“Iya. Kenapa kamu takut?” tanya Nilam.

“Iya soalnya di sini nggak ada orang,” sahut Lastri.

“Udah tenang aja nggak perlu takut,” Nilam berusaha menenangkan Lastri.

Semakin jauh masuk ke jalan itu, pepohonan semakin lebat bahkan ranting-ranting pohonnya menyatu dengan pohon lain. Lastri sebenarnya belum pernah berpergian sejauh itu.

Lastri terus memandangi kanan kiri jalan, hanya terdapat beberapa rumah dengan jarak yang berjauhan, Nilam menurunkan kecepatan mobilnya dan menepi.

“Ayo turun,” ucap Nilam menjinjing tas mahalnya.

“Kita sudah sampai?” tanya Lastri.

“Belum, kita harus masuk ke jalan kecil itu,” Nilam menunjukkan jalan setapak dengan sorotan lampu senternya.

“Hah? Jalan kaki?” Lastri terkejut.

“Iya, mobil mana bisa masuk. Kita jalan kaki ke sana, di dalam ada rumah penduduk tenang aja,” ucap Nilam.

Lastri dan Nilam berjalan menyusuri jalan setapak tersebut. Saat mereka melintas terdengar jelas suara-suara desiran ranting dan daun yang tertiup angin serta suara serangga. Lastri juga merasa mereka sedang diawasi, ia terus waspada sambil berpegangan kepada Nilam.

“Kita sampai Lastri,” ucap Nilam.

“Hah? Sudah sampai?” Lastri terkejut karena ia tidak sadar jika masuk perkampungan.

'Bukannya tadi masih di hutan?' Lastri dalam hati.

Nilam mengajak Lastri menuju sebuah rumah yang terlihat sudah sangat tua namun masih berdiri kokoh, terlihat seorang pria paruh baya tengah duduk di bangku kayu depan rumahnya. Pria itu berdiri dan langsung menyambut Lastri dan Nilam.

“Kalian sudah sampai, mari masuk,” ucapnya kepada Nilam dan Lastri.

“Baik Mbah. Ayo Lastri!” Nilam menarik tangan Lastri.

“Tapi Nilam, aku merasa aneh dengan kampung ini,” ucap Lastri.

“Aneh? Memangnya apa yang aneh Lastri?” tanya Nilam.

“Saat kita datang bukannya tadi sepi tapi, sekarang malah banyak orang dan memandangi kita,” pungkas Lastri.

“Udah mereka Cuma penasaran aja, ayo kita masuk,” Nilam menarik tangan Lastri.

Lastri akhirnya mau masuk bersama Nilam, namun Lastri terus memperhatikan orang-orang yang memandanginya dengan tatapan aneh tidak hanya itu saja, aktivitas yang mereka lakukan pun sedikit janggal mereka saling berpapasan antar warga namun tanpa saling tegur sapa dengan pandangan lurus ke depan.

“Mbah saya mau tanya,” ucap Lastri.

“Mau tanya apa?” sahut Dukun tersebut.

“Kenapa saat kami datang mereka memandangi kami seperti itu Mbah?” tanya Lastri.

“Mereka hanya penasaran saja, karena jarang ada orang kota datang ke sini,” sahut Dukun tersebut.

“Apa kamu sudah siap?” sambung Dukun tersebut.

“Saya ke sini mau ... ” ucapan Lastri terhenti.

“Saya sudah tahu, makanya saya tanya kamu sudah siap?” Dukun itu memotong ucapan Lastri.

“Padahal aku belum bilang mau ngapain, tapi dia sudah tahu. Sepertinya benar Dukun ini sakti,” gumam Lastri dalam hati.

“Lastri! Kok bengong ayo jawab!” Nilam menyenggol bahu Lastri.

“Eh ... iya Mbah saya siap,” ucap Lastri dengan tegas.

Dukun itu menaburkan kemenyan di atas tungkunya, seketika asap putih membumbung dengan aroma kemenyan yang menyeruak ke seluruh ruangan.

“Duduk bersila!” perintah dukun itu.

Lastri menurutinya, Dukun itu mengambil sesuatu yang di bungkus dengan kain hitam. Rupanya itu adalah sebotol minyak berukuran sangat keci. Minyak itu diteteskan ke jarinya sambil membaca mantra lalu mengoleskannya ke kening Lastri.

“Saya sedang membuka aura kamu. Sebelum saya memasangkan susuk, saya akan bertanya susuk apa yang kamu inginkan?” tanya Dukun tersebut.

“Lastri kamu minta yang paling bagus dan paten saja,” bisik Nilam kepada Lastri.

“Saya ingin susuk yang paling bagus dan bisa menghilangkan tanda di wajah saya. Saya ingin merubah kehidupan saya Mbah,” sahut Lastri.

“Saya bisa memberikan apa yang kamu inginkan. Namun ada syarat dan ritual yang harus kamu jalani dan pasti ada konsekuensinya,” ucap Dukun itu.

“Apa pun itu saya sanggup!” Lastri mengiyakan.

“Dengan berkata sanggup berarti kamu sudah menerima apa dan bagaimana konsekuensinya. Baik buka mulutmu!”

Dukun itu mengambil sebuah bunga kantil kuning, sambil membaca mantra Dukun itu menaruh bunga kantil tersebut ke dalam mulut Lastri.

“Kunyah sebanyak tiga kali dan telan!” perintah Dukun itu.

Dengan cepat Lastri mengunyah kuncup bunga kantil tersebut sembari mengerutkan dahinya, rasa pahit dan getir harus di tahan Lastri hingga dikunyahan ketiga Lastri langsung menelannya. Nilam dengan sigap memberikan sebotol air kepada Lastri.

“Sekarang kita pergi ke makam keramat yang ada di dalam hutan,” Dukun itu berdiri dan berjalan menuju pintu.

“Nilam kita mau ngapain lagi?” tanya Lastri.

“Sudah kamu ikuti saja yang di suruh Mbah Kusno,” ucap Nilam.

“Mbah Kusno? Maksudnya Dukun itu namanya Mbah Kusno?” tanya Lastri.

“Iya. Ayo cepetan kita tertinggal jauh,” ucap Nilam.

Mereka berdua mengikuti Mbah Kusno menuju makan keramat, Lastri terus waspada, ia merasa seperti selalu di perhatikan seseorang.

“Kamu kenapa Lastri?” tanya Nilam.

“Nggak Nilam. Tapi sepertinya ada yang sedang memperhatikan kita di hutan ini,” sahut Lastri.

“Jangan mengada-ada di sini cuma ada kita dan Mbah Kusno,” Nilam menarik tangan Lastri.

Mereka pun sampai di sebuah makam yang lokasinya berdekatan dengan sebuah goa. Terlihat makam tua bernisan batu dan tidak terlalu terawat di samping makam itu Mbah Kusno membakar kemenyan serta beberapa sesajen seperti bunga tujuh rupa, bunga kantil serta sebilah rokok yang sudah di nyalakan sebelumnya.

Mbah Kusno memulai ritualnya, ia membaca mantra sembari beberapa kali menaburkan kemenyan di atas tungkunya.

“Nilam lihat, rokoknya seperti ada yang menghisap,” bisik Lastri.

“Ssttttt ... Jangan berisik!” ucap Nilam.

“Sekarang kamu ganti baju dengan kain ini semuanya tanpa terkecuali!” Mbah Kusno menyerahkan selembar kain batik kepada Lastri.

“Ganti dengan ini? Memangnya saya mau di apakan?” Lastri terus bertanya dengan wajah terheran.

“Sudah kamu jangan banyak tanya!

Cepat ganti di goa itu!” Nilam bersikap dingin kepada Lastri.

Lastri berjalan sendirian menuju goa melepas semua pakaiannya dan membalut tubuhnya dengan selembar kain batik.

“Kenapa sikap Nilam aneh sekali? Apa dia kesal karena aku terus bertanya?” pikir Lastri.

Bersambung dulu gengs. Please Ting jejaknya di karya author receh ini.

Terpopuler

Comments

Santi Rizal

Santi Rizal

Lastri polos banget

2024-07-16

0

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Waduhh!! Lastri lngsng aja nyanggupi resiko2 nya,,,,,kira2 apaan y kasian Lastri brkl nnt ujung2nya membahayakan nyawanya

2023-12-11

0

Desy Rs Azuz

Desy Rs Azuz

Ampun Lastri km perjanjian sm Setan. Resikonya besar dan susah jk sdh keluar dr perjanjian

2023-06-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!