...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 18...
...------- o0o -------...
"Bapak, kok, belum pulang juga, ya, Mak?" ucap laki-laki sewaktu bersiap-siap hendak pulang.
Emak Sari mendengkus. "Entahlah, Nak. Akhir-akhir ini bapakmu selalu sibuk dengan warga."
"Lho, kata Emak tadi pergi ke kebon?"
"Ya, mungkin saja begitu, Nak," jawab sosok tua tersebut. " … atau bisa juga bersama-sama warga menyiangi kebun di girang sana."
"Ooohh."
"Makanya, daripada kamu nyari kerjaan di kota, mendingan ikut bapakmu bantu-bantu ngolah kebun dan sawah saja, Nak. Kasihan, istri dan anak-anakmu kalo sering ditinggalin lama." Emak Sari menoleh pada Lastri dan kedua cucunya.
Basri tersenyum kecut.
'Hhmmm, lebih enak yang sekarang, Mak. Tidak perlu capek-capek ngeluarin keringat segala. Cukup mengadu nasib, uang pun dengan mudah kudapatkan. He-he.'
"Iya, Mak. Nanti Abas pikirin, deh," ujar Basri sambil menggaruk-garuk kepala. "Sekarang Abas pamit mau pulang, ya, Mak. Titip salam buat Bapak kalo datang nanti."
"Apa gak sholat dulu di sini, Nak? Sudah masuk waktu Dzuhur, lho," kata Emak Sari mengingatkan.
Mendadak wajah laki-laki itu terlihat dingin dan tergagap-gagap berucap, "S-sholat? Eh, i-iya. Nanti saja di rumah, Mak. Lagian gak segitu lama, kok, di perjalanan. Sesampai di sana, masih ada waktu buat s-sholat."
Sebelum pergi, Emak Sari sengaja membekali mereka sedikit bahan-bahan makanan. Dia khawatir, keluarga kecil itu tidak memiliki uang untuk berbelanja. Semula Basri hendak menolak, bahkan akan memberi ibunya uang, tapi benaknya segera bekerja. 'Untuk sementara, biarlah Emak masih menganggapku serba kekurangan. Itu lebih baik, agar tidak sampai menimbulkan kecurigaan perihal aku yang sekarang ….'
"Sengaja Emak bekelin juga sisa masakan daging manila tadi buat temen makan kalian di rumah nanti, ya."
Daging itu lagi, pikir Basri mendadak merasa mual. Kemudian samar-samar gendang telinganya seperti mendengar suara kekehan khas.
"Hik-hik."
'Jahanam!' rutuk laki-laki tersebut geram.
...------- o0o -------...
Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu.
"Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."
Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Hanya jeda 3 tahun dari kakaknya.
Kesulitan ekonomi bagi pasangan ini sudah menjadi hal lumrah. Basri yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan, nyatanya mampu bertahan menopang kebutuhan selama perjalanan rumah tangganya. Pun begitu, asal usul lelaki bertubuh ceking ini juga bukanlah berasal dari keluarga biasa. Dia merupakan anak tunggal salah seorang tokoh berpengaruh di tempat kelahirannya. Namun pengaruh keras dari pihak ayah sejak belia, menyebabkan suami Lastri ini menjadi pribadi pemberontak. Kerap bersitegang di dalam rumah dan enggan memenuhi harapan orang tua.
Basri muda memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihannya, Lastri, di usia 24 tahun. Seorang yatim piatu dan tidak memiliki sanak keluarga terdekat. Berharap bisa jauh lebih baik dan menurut pada keinginan orang tua setelah berumah tangga, nyatanya laki-laki ini malah memilih menjauh. Tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kampung Cijèngkol.
"Berilah Abas sedikit modal buat usaha, Pak," ujar Emak Sari waktu itu. "Mungkin dia ingin membuka usaha lain, bukan bertani seperti Bapak."
"Duit dari mana, Bu?" tanya suaminya ketus dengan nada suara menggelegar seperti biasa. "Gampang sekali kamu bicara."
Emak Sari menarik napas panjang, berusaha keras untuk tetap bersabar. Jawab wanita itu kemudian, "Misalnya menjual tanah kebun kita yang di girang itu, Pak. Uangnya nanti kita kasihin buat Abas. Suruh dia berdagang atau apalah pokoknya. Jangan kerja serabutan kayak sekarang. Kasihan."
"Enggak! Sepeser pun aku gak akan memberi dia modal!" sentak laki-laki itu bersikeras. "Biarkan saja dia berpikir sendiri. Mencari jalan hidupnya sendiri. Enak saja, tanpa usaha keras, dengan gampang dia mendapatkan harta keluarga!"
Emak Sari hanya bisa mengelus dada. Namun sebagai seorang istri sekaligus ibu dari Basri, doanya tidak pernah lepas terucap. Dia yakin, suatu saat kelak kondisi keluarga tersebut akan berubah jauh lebih baik. Wanita itu percaya, sekeras apapun sikap mereka berdua, tidak ada kebencian yang terpendam di dalam hati. Ini hanya masalah mempertahankan prinsip. Disamping itu juga, anak adalah cerminan dari orang tuanya.
Nahas, di tengah himpitan ekonomi yang kian menjadi-jadi, langkah Basri justru terayun ke jalur salah. Pergaulan di tempat kerjanya, menuntun laki-laki tersebut masuk ke dalam dunia perjudian. Terpengaruh iming-iming keuntungan besar, awalnya dia hanya sekadar mencoba peruntungan. Menggantungkan nasib pada angka demi angka. Bukannya menang, justru kerugianlah yang selalu didapatkan. Roda rumah tangganya pun mulai goyah. Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup anak-istri sering terabaikan. Dari sinilah, entah bisikan setan dari mana, Basri mendapatkan kabar menyesatkan.
"Setahu gue, ada seorang dukun yang bisa ngebantu seseorang jadi kaya raya, Bas," ungkap salah seorang teman Basri suatu ketika. "Cuman ritualnya itu yang bikin orang-orang ogah buat ngejalaninnya."
"Emang ritualnya 'gimana, sih, Jun?" Basri penasaran. Sosok yang bernama Junaedi alias Juned itu menjawab, "Gali kuburan, Bas."
"Astaga! Ngeri banget!" seru laki-laki cungkring itu bergidik sendiri. "Hiiiyyy!"
Juned kembali berkata, "Itulah sebabnya, jarang ada yang mau ngelakoninnya. Ujiannya berat, Bas, disamping bisa bikin pelakunya gila, taruhannya juga nyawa."
"Widih! Serem beneerrr!"
Sebuah percakapan kecil dan bersifat iseng, tapi membekas kuat dalam ingatan Basri. Keluhan istri dan rengekan anak-anak kerap menggoyahkan iman lelaki yang masih jarang menjalankan kewajiban beragamanya sendiri.
"Namanya Ki Jarok," tutur Juned waktu ditanyai keberadaan dukun yang dimaksud. "Tinggalnya di sebuah perbukitan, di kaki kawasan Gunung Halimun. Itu, sih, yang pernah gue denger."
"Oohhh." Mulut Basri membulat disertai anggukan kecil.
"Kenapa? Elu tertarik?" tanya Juned bermaksud mencandainya. Jawab Basri sambil terkekeh, "Gila lu! Ya, enggaklah. Boro-boro ngegali kuburan, tibang kencing malem-malen aja, gue sering minta anter elu, Jun. Ha-ha."
Keduanya pun tertawa-tawa. Namun gelak salah satu di antara mereka bukan karena merasa ada yang lucu, melainkan untuk menutupi niat hati yang sengaja dipendam. Dirahasiakan.
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments