...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 7...
...------- o0o -------...
" … satu hal yang harus selalu kauingat-ingat, Anak Muda, mulai detik ini jauhi semua ritual yang berbau keagamaan dan keyakinanmu. Karena hal-hal tersebut yang paling dibenci leluhur kami, serta akan membuat kekuatan jimat tali mayat yang kaumiliki sekarang memudar."
Basri terkekeh dalam hati. Tanpa diperintah pun, selama ini dia memang jarang melaksanakan kewajiban sesuai agamanya. Salat? Buat apa? Selama ini tidak pernah mampu mengubah jalan hidup dari dera kemiskinan yang senantiasa menyelimuti keluarga, pikir laki-laki itu.
Lalu bagaimana cara menyiasati perintah Ki Jarok tentang itu dari Lastri? Selama ini, perempuan itu termasuk istri yang taat menjalankan perintah agama. Haruskah dengan cara lama? Berpura-pura ke luar, ke langgar, tapi sebenarnya hanya menumpang nongkrong di pos ronda atau warung kopi bersama kawan-kawan senasib.
"Pak?"
Lastri sudah berada di hadapan suaminya.
"Iya, aku sudah bangun, kok, Bu," ujar Basri berbohong. Padahal sejak tadi belum sekalipun memejamkan mata.
Sejenak perempuan itu memperhatikan baju yang dikenakan Basri. "Sekalian, sini bajunya, Pak. Mau aku rendem dan dicuci besok pagi."
"Jangan, Bu!" seru Basri terkejut. "Eh, maksudnya … biar aku buka di kamar mandi saja, Bu. Ya, Bu, ya?" pinta laki-laki itu memohon. Bukan tentang baju itu, melainkan setelan yang juga dia kenakan di lapisan dalamnya. Basri lupa menanggalkannya sebelum tiduran tadi.
"Kamu ini kenapa, sih, Pak?" Lastri mengernyit heran. "Biasanya juga gak pake malu-malu buka pakaian sendiri di depanku."
"Ehe-he." Basri terkekeh-kekeh sendiri. "Maksudnya bukan begitu, Bu, tapi biar aku taruh saja di belakang biar gak ngerepotin kamu. Begitu, lho. He-he."
"Ada-ada saja kamu ini, Pak," timpal Lastri. "Ya, sudah. Cepetan mandi sana. Habis shalat Magrib nanti, kita makan. Hari ini aku masak menu khusus buat kamu, lho, Pak."
"Masak khusus? Wow, syukurlah. Aku jadi ngedadak lapar, nih, Bu. He-he."
"Makanya, cepetan mandi sana."
"Iya, Bu, iya. Kamu duluan sana ke luar. Aku mau buka pakaian dulu," ujar Basri mencoba meminta Lastri untuk keluar kamar terlebih dahulu. Maksudnya tentu saja hendak menyembunyikan pakaian khusus pemberian Ki Jarok tersebut.
"Dasar Bapak ini," ucap Lastri diiringi ulas senyumnya kemudian. Dia pun segera keluar dan kesempatan ini dipergunakan Basri untuk segera menanggalkan semua pakaiannya. 'Aku taruh di mana, ya? Apakah di dalam lemari? O, tidak! Jangan!' Bertanya-tanya laki-laki tersebut seraya menggulung bulat pangsi khusus pemberian Ki Jarok tersebut. Lantas memutuskan untuk menyembunyikannya di dalam tas kumal yang biasa digunakan kala bepergian mencari penghidupan. Setelah itu bergegas ke kamar mandi, lantas bersiap-siap seperti hendak ke langgar untuk menunaikan ibadah salat Magrib.
Tiba waktu makan malam, mereka berdua duduk menghadapi sajian istimewa yang sebelumnya belum pernah disantap selama ini. Ayam goreng beserta menu lezat lainnya.
"Kamu yang masak semua ini, Bu?" tanya Basri penuh selera. Jawab Lastri, "Iyalah, Pak. 'Kan, khusus buat hari ini. Tapi sayang, ya, anak-anak masih di rumah Abah dan Ambu."
Timpal laki-laki itu kembali, "Sudahlah. Besok siang kita jemput mereka."
Basri mencomot potongan daging ayam di atas piring. Namun saat hendak menyuap ke dalam mulut, tiba-tiba tercium bau amis yang teramat hebat bersemilir di dalam ruangan itu. "Bau apa ini, Bu?" tanyanya mendadak mual dan segera menjauhkan daging dalam genggamannya.
"Ah, gak bau apa-apa, Pak," jawab Lastri seraya mengendus-endus aroma udara di ruangan tersebut. "Malah wangi ayam goreng, kok."
Mata laki-laki bertubuh kerempeng itu tiba-tiba terbelalak kaget saat menengok ke arah depan di hadapannya. Sesosok makhluk kaku dengan balutan kain putih kumal berdiri di sana tengah memperhatikan Basri. Hanya terlihat bagian wajah dan itu pun sangat mengerikan. Rusak dan begitu menjijikkan. Sepintas saja, Basri jadi teringat pada sosok ….
'Sukaesih!'
...------- o0o -------...
Dua hari setelah ketibaan Basri lalu, suasana di rumah keluarga itu mulai dirasa berubah. Bau busuk menyengat sering tiba-tiba menyeruak memualkan di sekitar ruangan. Gangguan-gangguan kecil kerap diterima Lastri saat hendak menunaikan kewajiban beribadahnya. Entah berupa aliran air mendadak kering ketika bermaksud berwudu atau juga kain mukena sulit ditemukan waktu akan digunakan.
"Eh, kenapa tanya aku, Bu?" jawab Basri tatkala ditanyai istrinya. "Aku, 'kan, gak pernah pake mukena. Mungkin kamunya saja yang lupa naroh, Bu."
Lastri menggaruk-garuk kepalanya, pusing. Berusaha mengingat keras terakhir kali menaruh mukenanya sehabis salat Asar tadi. "Aku biasanya ngegantungin mukena di belakang pintu kamar, Pak," ujar perempuan itu meyakinkan. "Tapi kenapa sekarang pas mau make buat salat Magrib gak ada di sana? Aneh banget." Pikirnya lagi, di rumah itu hanya ada dia dan suaminya. Tidak pernah ada satu pun orang lain atau tetangga sekalipun yang bertamu. Namun dicari-cari hingga kesemua penjuru ruangan, perangkat salat khusus perempuan tersebut belum kunjung ditemukan.
Akhirnya Lastri memutuskan untuk ….
"Kalo begitu, aku ikut salat Magrib di musala saja, deh, Pak."
"Hah?" Basri terkejut.
Imbuh perempuan itu kembali, "Iya, sekalian minjem mukena di sana, Pak. 'Gimana? Daripada nyari-nyari tapi gak ketemu, entar malah kehabisan waktu Magrib."
Laki-laki tersebut malah tercengang bengang. Dia bingung. Jika mengizinkan istrinya ke musala, itu berarti Basri pun harus ikut melakukan ibadah salat Magrib. Lantas bagaimana dengan pesan Ki Jarok sebelumnya yang meminta dia untuk menjauhi ritual keagamaan. Belum lagi kebiasaan berbohong selama dua hari ini pada Lastri. Pamit ke musala, malah melipir ke warung kopi.
"A-apa gak ada cara lain, Bu? Misalnya … ngikut salat di rumah tetangga." Basri mencoba memberi saran. Setidaknya berusaha mencegah agar Lastri tidak sampai mengetahui belangnya. Perempuan itu menggeleng, lantas menjawab, "Gak enak, Pak. Mendingan ikut salat di musala saja, deh. Lagian gak jauh ini, kok."
Basri angkat tangan. Terpaksa dia mengizinkan istrinya ikut ke musala. Tentu saja sambil berpikir bagaimana tindakan dia selanjutnya di sana. Sementara anak-anak mereka sudah terlebih dahulu berangkat sekalian persiapan mengikuti pelajaran mengaji.
"Ngopi dulu, Bang," ucap seorang laki-laki di sebuah warung waktu Basri dan Lastri tengah berjalan berdua menuju musala. Laki-laki bertubuh kerempeng itu memberi isyarat dengan beberapa kali kedipan mata pada sosok tadi, memintanya untuk diam.
"Makasih, Bang," balas Basri berpura-pura. "Kami mau salat Magrib dulu. He-he." Dia segera menarik tangan istrinya agar lekas mempercepat langkah. Tidak lain demi menghindari obrolan susulan sosok di warung tadi.
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
Basri mh tukang boong
2023-01-12
0