...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 14...
...------- o0o -------...
Lama Mbah Jarwo termenung. Berusaha berpikir untuk memecahkan teka-teki tersebut. "Apakah ada kemungkinan jika pelakunya masih warga kampung sini?" gumamnya tidak sadar.
"Bagaimana, Mbah?" tanya Juragan Juanda menyentakkan sosok tua itu. "Eh, apanya yang bagaimana, Juragan?" Mbah Jarwo malah balik bertanya di antara keterkejutannya.
Sadam turut menjelaskan, "Tadi kami denger Mbah berkata pelakunya dari warga kampung kita. Benar begitu, Mbah?"
Laki-laki tua itu terperanjat. "S-saya … eh, itu hanya kemungkinan saja. Bisa juga orang dari luar kampung, 'kan?"
Juragan Juanda menatap tajam Kepala Kampung tersebut, lantas bertanya, "Ada warga sini yang Mbah curigai?"
Jawab Mbah Jarwo gagap, "Oohhh … g-gak ada. S-saya hanya menduga-duga saja, Juragan."
"Hhmmm," deham laki-laki perlente itu seraya mengambil bungkusan plastik hitam yang dia sembunyikan di belakangnya. "Mungkin bisa kita mulai dengan cara mencari tahu benda ini."
"A-apa itu?"
Sadam membuka simpul plastik dan mengeluarkan sebuah lampu kecil dari dalam.
"Lentera?" Bertanya sosok tua itu dengan tatapan tajam, memperhatikan benda yang kini teronggok di hadapannya. Sudah dalam kondisi pecah berkeping-keping di bagian 'songsong' penutup lampu dan tempat menyimpan bahan bakar minyak.
"Mbah Jarwo mengenali siapa pemilik lampu ini?" Juragan Juanda bertanya seraya melirik pada orang kepercayaannya, Sadam. Jawab Mbah Jarwo sembari menggeleng, "Enggak. Saya enggak tahu. Lagipula mungkin banyak yang mempunyai jenis lampu seperti itu, Juragan."
"Bisa jadi, tapi tidak menutup kemungkinan pemiliknya itu salah seorang warga yang tinggal di daerah terpencil, bukan?" ujar Juragan Juanda menduga-duga. "Sayang sekali, rumah warga kampung kita ini … sepertinya sudah memiliki jaringan listrik."
"Apakah itu berarti pelakunya itu warga luar kampung kita, Juragan?" Sadam ikut penasaran.
Laki-laki perlente itu mengangguk-angguk. "Segala kemungkinan bisa saja benar adanya, Sadam, tapi yang ingin saya ketahui motif di balik kejadian ini. Apa yang dia lakukan dengan tali pengikat mayat anak saya itu? Kenapa harus anak saya? Dan yang saya sesalkan adalah kejadiannya tepat di malam Jumat semalam, dimana tadi malam kebetulan tidak ada seorang pun yang mengaji di makam."
"Karena semalam hujan, Juragan," timpal Sadam.
"Saya tahu," balas Juragan Juanda seraya menarik napas dalam-dalam. "Mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur terjadi." Kemudian dia menoleh ke arah Mbah Jarwo yang masih terpaku memandangi pecahan lentera tadi. "Apa yang sedang Mbah pikirkan, Mbah Jarwo?"
Sosok tua itu lekas tersadar. Jawabnya, "Enggak, Juragan. Saya hanya sedang bertanya-tanya saja."
"Tentang apa?"
"Tali pengikat mayat itu."
Juragan Juanda dan Sadam saling berpandangan satu sama lain.
"Menurut Mbah, motifnya kira-kira apa, ya, Mbah?" tanya lelaki perlente itu mencoba menyelidik. Kemudian sosok tetua kampung tersebut menjawab usai melirik sesaat pada Sadam, "Seperti yang Sadam bilang tadi, mungkin tali mayat itu dijadikan jimat. Biasanya, sih, begitu. Tapi jimat buat apa? Pengasihan, penglarisan, atau … kejayaan, mungkin? Ini yang masih belum saya ketahui, Juragan."
"Saya sependapat dengan apa yang Mbah Jarwo ucapkan itu, Juragan," timpal Sadam mengamini.
"Hhmmm, seperti itu?" Juragan Juanda turut berpikir. "Apa bukan karena motif balas dendam, misalkan?"
"Maksud Juragan?" Mbah Jarwo dan Sadam hampir bersamaan mengajukan pertanyaan. Keduanya lantas mendelik bareng.
"Entahlah, saya cuman menduga-duga saja. Benar atau tidak, saya sendiri masih sangsi."
"Apakah yang Juragan maksud itu … Arya, anaknya Kepala Desa itu?" Sadam mencoba menerka. Juragan Juanda menggeleng dan cepat-cepat menanggapi, "Hati-hati, Sadam. Jangan sembarangan menyebut nama kalau belum jelas betul pelakunya. Ini bisa jadi firnah besar. Bahaya."
"Astaghfirullahal'adziim," ucap Sadam seraya mengelus dada. "Maafkan atas kebodohan saya ini, Juragan. Saya hanya—"
"Sudahlah," tukas orang terkaya Kampung Sirnagalih tersebut bermaksud menyudahi perbincangan mereka. "Hari sudah agak siang. Sebaiknya kita pulang saja sekarang. Mudah-mudahan saja orang-orang tadi benar-benar memegang janjinya untuk tidak menyebarkan kejadian pagi ini."
"Semoga saja begitu, Juragan," timpal Mbah Jarwo dan Sadam kembali bersamaan, lantas keduanya pun mendelik, juga secara berbarengan. "Huh!"
Mereka bertiga segera meninggalkan gubuk. Melangkah bersama menyusuri jalanan kecil menuju kediaman masing-masing. Namun tanpa disadari, sejak tadi ada sepasang mata mengintai dari kejauhan. Setelah dipastikan aman, dia lekas keluar dari tempat persembunyiannya, mendekati gubuk, lantas mengambil pecahan lentera yang teronggok ditinggalkan di atas 'bale' berbahan anyaman bambu hitam.
"Hhmmm," deham sosok tersebut diiringi seringainya.
...------- o0o -------...
Sementara itu dua hari setelahnya, Basri baru saja menyelesaikan ritual terakhirnya bersama Ki Jarok di sebuah pancuran di dekat rumahnya. Sambil menahan rasa dingin, laki-laki kerempeng itu duduk bersila dengan kedua tangan bersedekap menyatu di depan dada dan mata terpejam rapat, sibuk merapal kalimat-kalimat aneh.
Usai menerima perintah untuk berdiri, Basri segera bangkit terhuyung dalam kondisi telanjang bulat, lantas melangkah mendekati sosok dukun tua tersebut.
"Cepat kenakan pakaianmu!" titah Ki Jarok yang berdiri membelakangi Basri. Tanpa menimpal, lelaki itu cepat-cepat menuruti. "Sudah?" tanya dukun itu setelah beberapa waktu berlalu.
"Sudah, Ki," jawab Basri.
"Hhmmm," deham Ki Jarok seraya membalik badan. "Kauboleh pulang sekarang, Basri."
"Sekarang?"
"Ya. Masih betah kautinggal di sini, hah?!"
Basri gelagapan. Ujarnya kemudian, "Maksud saya bukan itu, Ki, tapi …."
"Apalagi? Masih belum cukup apa yang kuberikan padamu?" Mata tua itu melotot galak, menyeramkan.
"Pakaian saya, Ki," ujar laki-laki kerempeng itu sungkan. "Tidak mungkin saya pulang dengan baju seperti ini. Nanti dikira orang-orang … saya kembaran Aki."
"Kurang ajar kau!"
"Maaf, Ki, saya gak bermaksud menyaingi tampilan Aki, tapi—"
"Itu urusanmu, Basrèng!"
"Basri, Ki. Bukan Basrèng, apalagi Cirèng."
"Suka-suka akulah," ujar Ki Jarok seraya mendelik hebat.
'Hhmmm, tampilan dukun ini cukup sangar, tapi kadang tingkahnya mirip hantu temennya Si Manis Jembatan Penyeberangan. Siapa, ya, namanya? Kalo gak salah … o,iya, Onzy Syahputri. Hiiyy … gelay!' membatin Basri diiringi cengengesannya.
"Apa kau? Ketawa-ketiwi begitu. Ada yang lucu sama akyu?" tanya Ki Jarok 'merengos'.
Cepat-cepat Basri menjawab, "Bukan, Ki. Saya inget masih ada sedikit sisa uang di kantong celana saya yang kotor itu. Sengaja saya sisain buat ongkos pulang. Makanya saya tanyain pakaian saya itu."
"Ambil sendiri di bawah dipan bekas semalaman kautidur di sana!" ujar Ki Jarok dengan nada ketus.
"Oh ... makasih, ya, Ki," ucap Basri kemudian masuk ke dalam rumah gubuk. Sebentar kemudian dia kembali dengan pakaian kotor di tangan. "Saya pulang dulu, ya, Ki."
"Jangan lupa pesan-pesanku, Basri," kata dukun tua itu sambil menyirami tanaman anggrek kesayangannya. "Tiap bulan purnama, kauharus—"
"Iya, Ki. Akan selalu saya ingat pesan-pesan Aki itu, kok."
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
😂😂😂 hellloooooo bastus
2023-01-12
0
Yurnita Yurnita
wah si dukun lucu jg
2022-11-22
1
Anksu Namum
wah si mbah gaul
2022-10-22
3