...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 10...
...------- o0o -------...
"Apa gak sebaiknya Pak Uyat berjaga-jaga saja di sekitar makam? Biar saya yang—"
Tukas Uyat dengan cepat, "T-tidak, Sarkim. S-saya tidak … eh, sebaiknya kita cepat-cepat ke rumah Ketua Kampung saja. Ya, kita berdua."
"T-tapi …."
"Ayolah! Cepat, Sarkim!" desak Uyat terlihat bingung. Laki-laki ini ragu untuk mengambil langkah. Rasa takut yang tiba-tiba menyelimuti, memaksanya buat memilih melapor bersama-sama.
"B-baik, Pak," balas sosok muda itu akhirnya.
Kemudian kedua laki-laki itu pun bergegas menuju rumah Kepala Kampung Sirnagalih. Berlari-lari dan beberapa kali hampir terpeleset jatuh.
"Ada apa kalian berdua sepagi ini?" tanya Kepala Kampung setiba Sarkim dan Uyat di rumahnya. "Gak lihat, saya lagi enak-enaknya ngopi?"
Kedua laki-laki itu saling melempar pandang. Sejenak mereka melirik ke arah gelas kopi dan rebus ubi jalar di atas meja di samping tempat duduk Kepala Kampung. Tanpa diberi aba-aba, jakun keduanya turun-naik menelan air liur.
"Kim, kamu yang ngomong, deh," pinta Uyat ragu-ragu untuk memulai berbicara. Balas Sarkim bertanya heran, "Kenapa saya, Pak? Saya—"
"Bukannya kamu yang pertama kali melihat …." Uyat berhenti berucap, lantas melirik pada Kepala Kampung. " … kuburannya si Kesih," bisiknya ke dekat telinga Sarkim.
Kepala Kampung mengernyit. "Ada apa, sih, sebenarnya? Kenapa malah berbisik-bisik?"
Uyat menyikut lengan Sarkim agar segera melapor. "Cepetan ngomong, Kim," perintahnya masih dengan suara pelan.
"I-iya, Pak," ujar laki-laki muda itu dengan sisa rasa ketakutan semenjak menyaksikan kondisi kuburan Sukaesih beberapa saat lalu. "A-anu, Mbah Jarwo. S-saya … eh, i-itu … itu …."
"Bicara yang jelas, Sarkim," seru Kepala Kampung yang dipanggil Mbah Jarwo itu bangkit dari duduknya. "Ada apa sebenarnya, hhmm?"
Sarkim menoleh sejenak pada Uyat, lantas lanjut berkata, "I-itu … kuburan Sukaesih … ada yang membongkar, Mbah."
"Apa?" Mbah Jarwo tersentak kaget. "Yang bener kamu bicara, Sarkim!"
"B-betul, Mbah," jawab laki-laki muda itu gagap. "S-saya lihat sendiri dengan mata kepala saya sendiri."
"Kapan terakhir kali kamu lihat?" Mbah Jarwo penasaran. Jawab kembali Sarkim, "B-barusan … eh, maksud saya … tadi waktu saya lewat kompleks kuburan kampung. Kuburan itu sudah acak-acakan."
"Astaghfirullahal'adziim!" seru Mbah Jarwo makin terkejut. Dia sampai menutupi muka saking paniknya. "Sekarang juga … kamu, Uyat, cepat beritahu Juragan Juanda tentang ini," titah sosok tua itu, "sementara saya dan Sarkim akan ke kuburan Sukaesih untuk berjaga-jaga."
Uyat langsung mengiakan. "Baik, Mbah," ujarnya tanpa ba-bi-bu.
"Ayo, Sarkim, kamu ikut saya ke sana," ajak Mbah Jarwo seraya meraih pundak laki-laki muda tersebut.
"Iya, Mbah."
Belum banyak langkah diayun, sekonyong-konyong istri Mbah Jarwo muncul dari dalam rumah. "Mau ke mana, Pak?" tanya perempuan tua tersebut.
Mbah Jarwo, Sarkim, dan Uyat serempak menghentikan langkah serta menoleh bersamaan. "Kamu tunggu saja di rumah, Bu. Aku ada urusan dulu dengan warga," jawab sosok tua yang selalu mengenakan ikat kepala batik itu. "Terus kopi dan rebus ubi ini?" tanya kembali istrinya. Laki-laki tua tersebut melirik pada Sarkim dan Uyat. Keduanya terlihat tengah sama-sama menelan ludah untuk kedua kalinya.
"Simpan saja ke dalam, Bu," jawab Mbah Jarwo sembari menyeringai masam, "nanti akan aku lanjut begitu urusanku selesai." Dia tidak ingin istrinya ikut panik jika sampai mengetahui kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih tadi.
"Ya, sudah kalau begitu, Pak."
Mbah Jarwo menoleh pada Uyat dengan tatapan keras. "Kenapa kamu masih di sini, Uyat? Bukannya saya sudah suruh kamu pergi ke rumah Juragan Juanda?"
"O, iya, Mbah. Maaf," ujar Uyat cepat-cepat pamit dari hadapan sosok Kepala Kampung tersebut.
Mbah Jarwo berdecak kesal.
"Kenapa si Tua Bodoh itu selalu saja gak pernah bisa di andalkan? Huh!" gerutunya seraya menggeleng-geleng. Kemudian lekas mengajak Sarkim untuk melanjutkan langkah mereka yang terhenti tadi.
Waktu itu mentari masih malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Hanya sediikit menyisakan biasnya di langit-langit berwarna kekuningan. Saat dimana orang-orang masih betah mempersiapkan diri di rumah sebelum melakukan aktivitas.
Mbah Jarwo dan Sarkim berjalan terseok-seok menuju area pekuburan kampung. Memotong jalan yang tidak biasa dilalui, melewati perkebunan yang masih lembab, agar lebih cepat dan dekat dengan lokasi tujuan.
"Kamu yakin kalau makam yang dibongkar itu milik almarhumah Sukaesih?" Bertanya sosok tua itu di tengah perjalanan. Jawab Sarkim yang berjalan tepat di belakang Mbah Jarwo, "Tentu saja saya yakin, Mbah." Hati-hati dia berjaga-jaga agar Kepala Kampung tersebut tidak sampai terpeleset atau jatuh. "Beberapa malam yang lalu, saya sempat ikut mengaji di depan kuburan Kesih."
"Hhmmm," deham Mbah Jarwo seraya berpikir. "Kasihan sekali nasib gadis itu. Sudah hidupnya menderita, kini ketenangannya pun terusik. Entah apa maksud yang dilakukan oleh manusia laknat itu pada jasad Kesih. Eh, ngomong-ngomong apa kamu sudah periksa kondisi mayatnya, Kim?"
Laki-laki muda itu menggeleng.
"Sarkim!" panggil Mbah Jarwo karena tidak kunjung mendengar jawaban dari sosok yang ada di belakangnya tersebut.
"Eh, enggak, Mbah," jawab Sarkim.
"Apa maksudmu dengan kata 'enggak' itu, heh?!" tanya Mbah Jarwo seraya menoleh sejenak. "Bukannya tadi kamu katakan melihat dengan mata kepala kamu sendiri? Bagaimana ini, huh?"
Jawab kembali laki-laki muda itu, "M-maksud saya … cuma melihat sekilas kondisi kuburannnya, Mbah, t-tapi gak berani sampai memeriksa … mayatnya."
"Hhhmmm."
"Soalnya tadi masih agak gelap, Mbah," Sarkim berkilah. "S-saya takut."
Mbah Jarwo tidak membalas ucapan Sarkim. Dia terus berjalan tertatih-tatih begitu melewati jalanan menanjak dan licin. Napas tuanya sesekali terdengar berdenging seperti sesak. Sampai kemudian setelah beberapa waktu berlalu ….
"Astaghfirullahal'adziim!" seru laki-laki tua itu begitu tiba di depan kuburan Sukaesih. "Manusia atau makhluk apa yang tega berbuat seperti ini! Biadab!"
Sarkim ikut melongok untuk melihat isi makam yang porak peranda dengan perasaan takut. Tampak kondisi jasad kembang kampung itu tergolek dengan posisi mengenaskan. Bagian kepala miring terarah ke dalam ceruk kuburan, sementara sebatas pundak ke bawah justru tergeser ke luar.
"A-pa yang harus kita lakukan sekarang, Mbah?" tanya Sarkim sambil menutup hidung rapat-rapat. Beberapa kali dia menahan lonjakan rasa mual yang menyesakkan dada. Jawah Kepala Kampung tersebut di antara kecamuk pikirannya, "Kita tunggu sampai Juragan Juanda datang nanti, Kim." Laki-laki muda itu menunjuk ke dalam dasar makam, lantas berkata, "Tapi kondisi leher mayatnya seperti—"
"Saya tahu, Sarkim," tukas Mbah Jarwo, "makanya kita tidak boleh bertindak gegabah sebelum semuanya jelas. Paham kamu?"
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
kaya nya s Basri ga bakalan tidur nyenyak
2023-01-12
0
anggita
👍👌,,
2022-11-23
1
Ai Emy Ningrum
deuh si aki...meuni ngegas ameh kaganggu keur ngopi teh 😏
2022-10-22
2