...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 15...
...------- o0o -------...
"Jangan lupa pesan-pesanku, Basri," kata dukun tua itu sambil menyirami tanaman anggrek kesayangannya. "Tiap bulan purnama, kauharus—"
"Iya, Ki. Akan selalu saya ingat pesan-pesan Aki itu, kok."
"Baguslah," timpal Ki Jarok seraya mengibaskan gerai rambut putih panjangnya. "Jadi aku tidak perlu capek-capek menjelaskan kembali."
Basri mendekat, meraih tangan tua dukun tersebut, lantas bersalaman dan mencium takzim.
"Ih!"
"Saya pulang dulu, Ki," ujar laki-laki kerempeng itu berpamitan. "Terima kasih atas semuanya, ya, Ki. Kita ketemu lagi pas bulan purnama mendatang."
"Hhmmm."
Setengah berat hati perlahan-lahan Basri melangkah meninggalkan sosok tua yang selama sepekan ini sering dia temui. Menuruni jalanan terjal di daerah perbukitan, tempat dimana Ki Jarok tinggal. Hampir mirip separuh hutan belantara. Berada di tengah-tengah rimbunan pepohonan yang menjulang tinggi.
Sengaja dia memilih arah berlawanan dengan jalan yang menuju perkampungan Sirnagalih. Khawatir akan bertemu warga sekitar sana dan masih terbayang kengerian pada saat-saat membongkar kuburan kembang kampung tersebut dua malam sebelumnya. Memang lebih jauh, tapi Basri merasa itulah pilihan terbaik untuk saat ini.
'Aku harus mencari pakaian lain untuk menutupi baju aneh ini,' pikir Basri di tengah perjalanan. 'Seenggaknya buat mencegah orang lain supaya enggak menganggapku seperti orang-orang pedalaman itu.'
Maka begitu melewati sebuah perkampungan, diam-diam lelaki itu berniat mencuri pakaian yang sedang dijemur di luar rumah. Walaupun dengan rasa takut dan khawatir kepergok, nyatanya dia berhasil mengambil satu setel, lantas berlari kencang menjauh. Di sebuah tempat tersembunyi, barulah berani mengenakannya.
Menjelang tengah hari, lelaki ini sampai di sebuah daerah pinggiran kota. Merasa perutnya perih minta diisi, kemudian dia mencari-cari warung makan sederhana. Berbekal sisa uang hasil kerja jadi kuli bangunan selama seminggu ini dan sesekali tinggal di gubuknya Ki Jarok, Basri memasuki sebuah warung kecil di pinggir jalan. Cukup memesan semangkuk mi instan, rasanya sudah cukup buat mengganjal rasa lapar hingga pulang nanti.
Namun sebelum itu, tiba-tiba perhatian Basri beralih pada kerumunan orang-orang tidak seberapa jauh dari sana. Hampir semuanya sibuk berhitung menggunakan selembar kertas seadanya dan pulpen di tangan.
'Bandar togel?' Laki-laki kerempeng itu bertanya-tanya. Lantas dia merogoh kantong, mengambil sejumlah uang yang tidak seberapa banyak. Hanya cukup untuk sekali makan dan ongkos pulang naik angkutan umum. 'Bagaimana kalo aku pakai buat masang saja. Sekalian membuktikan keampuhan jimat pemberian Ki Jarok ini. Tapi … kalo gagal tembus, terpaksa aku harus jalan kaki dengan rasa lapar ini. Huh! Bagaimana ini?'
Entah mengapa, Basri seperti mendengar bisikan seseorang. Tidak jelas dari mana berasal, tapi suara itu begitu membekas kuat di dalam benaknya. Deretan angka-angka yang harus dipasang untuk mengadu peruntungan. Walau sedikit ragu, dia pun nekat memasang empat angka sekaligus sebanyak empat lembar.
"Yakin beli sebanyak itu, Bang?" tanya sesosok laki-laki kumal seraya tersenyum mengejek. Basri menjawab dingin, "Namanya juga usaha, Bang. Kalah-menang, ya, biasalah."
"Tapi boleh juga, sih, angkanya, Bang," puji sosok itu seraya mencatatkan deretan angka yang dibeli Basri. "Dapet dari mana? Mimpi semalem, ya? Ha-ha."
Lelaki cungkring itu ikut tertawa hambar. "He-he, cuman tebak-tebakan aja, Bang."
"Tebak-tebakan?" tanya yang lain di antara kerumunan tersebut. "Gua aja yang sering ngoret-ngoret pake primbon roda panah, jarang tembus, Bang. Ha-ha. Lah, elu yakin banget menang?"
"Gak apa-apa. 'Kan, yang rugi saya, bukan situ atau bandar," balas Basri sengit.
"Maaf, Bang. Becanda doangan. Gak usah diambil hati ngapa, sih." Mereka tiba-tiba seperti ketakutan begitu Basri menatap tajam-tajam.
Sambil menunggu pengumuman angka yang keluar sore nanti, Basri memilih duduk-duduk di tempat kosong bersama gerombolan sosok-sosok pemuja dunia perjudian tersebut. Rasa perih karena lapar tidak dia hiraukan hingga tidak sadar beberapa saat kemudian jatuh tertidur kelelahan.
Beberapa jam berlalu, Basri dibangunkan seseorang. "Bang, bangun, Bang!" Dia membuka mata dan mengucek-ngucek sebentar. "Ada apa?"
"Abang yang pasang nomor ini tadi, 'kan?"
Jawab laki-laki kerempeng itu sambil menguap, "Iya. Kenapa?"
"Abang menang tiga angka, Bang!" seru sosok itu seraya melempar senyum.
"Hah, yang bener?"
"Iya, Bang. Ini lihat sendiri!"
"Alhamdu … eh, syukurlah maksud saya," ucap Basri tidak sadar sekaligus senang tiada tara. Dia cepat-cepat bangkit dari rebahannya. Lantas diantar oleh sosok kumal tadi menuju rumah bandar utama menggunakan sepeda motor.
"Lumayan gede, lho, Bang, dapetnya."
"Iya, saya tahu."
"Wah, dapet komisi, dong, saya juga."
Jawab Basri enteng, "Tenang saja. Sekalian kamu antar saya pulang sampe rumah. Saya bayar sekalian ongkosnya, deh."
"Serius, Bang?"
"Iyalah. Kamu pikir saya maen-maen?"
"Wah, asyik. Makasih, nih, Bang."
Sore itu, begitu usai mengambil uang, Basri dan sosok kumal tadi makan-makan dulu di sebuah rumah makan besar. Terpenuhi sudah kini rasa lapar yang sedari tadi menyiksanya. Tinggal pulang dan berpikir mencari alasan jika Lastri bertanya-tanya di rumah nanti.
'Ah, alasan bisa dibikin-bikin,' membatin Basri sepanjang perjalanan. 'Aku bilang saja baru dapet kerjaan di luar kota, bisnis sama temen lama, terus ngasih duit banyak buat istri. Hhmmm, Lastri pasti langsung luluh. He-he.'
"Pulang ke mana, Bang?"
Jawab Basri berseri-seri, "Cijèngkol."
"Oh, lumayan jauh juga, ya?"
"Jalan saja, deh. Pokoknya kamu saya bayar penuh."
"Ashiaaappp!"
Beberapa waktu kemudian, Basri sampai di rumah menjelang petang. Disambut tangisan lirih Lastri. Untunglah semua dapat dikendalikan dengan mudah. Perempuan itu langsung luluh begitu disodori setengah dari jumlah uang yang masih banyak tersisa di tas kecil laki-laki tersebut.
'Ini baru langkah awal kehidupanku sekarang,' gumam Basri begitu tergolek sendirian di kamar tidur. Sementara Lastri sedang pergi ke warung Bariah untuk melunasi utang dan berbelanja buat bekal makan malam nanti. 'Selanjutnya aku harus mendatangi tempat-tempat perjudian lainnya dan menang dengan mudah. He-he. Selamat datang kekayaan.'
Tadinya Basri bernaksud untuk beristirahat sejenak selagi ada waktu sebelum tiba waktu Magrib nanti. Namun sesaat setelah mencoba memejamkan mata, dia seperti mendengar rintihan seseorang di dekatnya. Semula dikira itu adalah Lastri.
"Bang, kembalikan milik saya …."
Laki-laki itu terperanjat bangun. "Bu!" panggilnya sambil menyapu pandangan ke empat penjuru kamar. Tidak ada siapa-siapa kecuali dirinya. "Siapa tadi?" tanya Basri mulai ketakutan. Tetap hening sebagaimana semula.
'Ah, mungkin cuman halusinasiku belaka,' pikir Basri lantas kembali merebahkan diri dan memejamkan mata.
"Jangan, Bang! Jangan lakukan itu! Kembalikan milik saya, Bang, saya mohon …."
"Astaga! Siapa, sih, itu?" seru Basri kembali seraya bangkit duduk di atas tempat tidur. "Huh, otakku mulai gak waras rupanya. Gara-gara mayat perempuan sialan itu, hidupku jadi gak bisa tenang sekarang!"
Sepi dan kosong.
"Sialan! Aku jadi gak bisa tidur! Berengsek!" gerutu laki-laki itu, lantas duduk sambil mengingat rentetan kejadian saat bersama Ki Jarok di rumah gubuknya itu.
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
oh jadi untuk berjudi toh..
jimat tali pocong nya ...heum tak kira buat melet tante tante yg duit nya segudang
2023-01-12
0
O Z
Dasar basreng....
2022-10-15
2