...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 11...
...------- o0o -------...
"A-pa yang harus kita lakukan sekarang, Mbah?" tanya Sarkim sambil menutup hidung rapat-rapat. Beberapa kali dia menahan lonjakan rasa mual yang menyesakkan dada. Jawah Kepala Kampung tersebut di antara kecamuk pikirannya, "Kita tunggu sampai Juragan Juanda datang nanti, Kim." Laki-laki muda itu menunjuk ke dalam dasar makam, lantas berkata, "Tapi kondisi leher mayatnya seperti—"
"Saya tahu, Sarkim," tukas Mbah Jarwo, "makanya kita tidak boleh bertindak gegabah sebelum semuanya jelas. Paham kamu?"
"I-iya, Mbah. S-saya … hhoeeekkk!"
Sosok tua itu mendelik. "Sialan! Kamu malah muntah di dekat saya. Huh!" rutuknya dengan seringai jijik menghiasi raut wajahnya. Padahal dia sendiri dari tadi berusaha menahan hal yang sama, begitu aroma dari dalam kuburan mulai menyeruak.
"Maaf, Mbah, s-saya … sudah gak tahan … hooeekkk!" Sarkim kembali mengeluarkan stok isi lambungnya sampai terbatuk-batuk.
"Jauh-jauh kamu dari sini, Sarkim!" sentak Mbah Jarwo turut merasakan mual hebat seketika. "Hooeekkk! Aaahh!"
Mereka segera menjauh dari lubang makam dan mencari udara segar untuk sekadar melonggarkan pernapasan. Bau busuk itu masih juga samar-samar mengikuti terbawa embusan angin pagi.
Tidak berapa lama, seorang lelaki perlente tiba bersama sosok-sosok lain mengikuti dari belakang. Wajahnya tampak keruh disertai aroma murka yang terpancar dari kedua bola mata.
"Juragan! Syukurlah, akhirnya Anda datang juga!" seru Mbah Jarwo begitu mengenali sosok yang baru datang tersebut.
"Apa yang terjadi dengan kuburan anak saya, Mbah?" tanya Juragan Juanda sambil melihat-lihat seisi makam. Jawab Kepala Kampung Sirnagalih itu kemudian, "Saya belum bisa memastikan lebih jauh, Juragan. Sejak tadi hanya berjaga-jaga saja dari kemungkinan hal yang tidak diinginkan. Saya belum berani bertindak apa-apa."
Juragan Juanda mendeham, "Hhmmm." Tanya laki-laki itu kemudian, "Siapa yang pertama kali melihat kuburan anak saya ini?"
"Sarkim, Juragan," jawab Mbah Jarwo seraya menunjuk sosok muda di sampingnya. Sarkim mengacungkan jari telunjuk dan turut berkata dengan suara gemetar, "I-iya, saya sendiri, Juragan."
Sorot mata Juragan Juanda kian menajam. "Kapan kamu menemukan kondisi kuburan ini dalam keadaan seperti ini, Sarkim?"
Sarkim melirik sejenak pada Uyat yang berdiri di antara orang-orang bawaan Juragan Juanda, kemudian menjawab terpatah-patah ketakutan, "P-pagi tadi, Juragan. Persis sepagi tadi. S-saya langsung lari untuk memberitahu warga dan bertemu dengan Pak Uyat di tengah jalan. Lalu kami berdua melapor pada—"
Tukas Mbah Jarwo seketika, "Iya, Juragan. Mereka langsung datang melapor pada saya. Terus saya suruh Uyat memberitahu Anda saat itu juga. Sementara saya dan Sarkim bergegas ke sini untuk berjaga-jaga."
Juragan Juanda berpikir sejenak. "Berapa banyak orang yang tahu perihal pembongkaran makam anak saya ini?" tanyanya kembali pada Mbah Jarwo dan Sarkim.
Sosok tua Kepala Kampung itu menoleh pada Sarkim. "Siapa saja yang kamu beritahu, Kim?"
Jawab Sarkim ketakutan, "Hanya Pak Uyat dan Mbah saja."
"Kamu yakin?" Juragan Juanda ingin meyakinkan.
"I-iya, Juragan. Tentu saja saya yakin sekali," jawab Sarkim seraya melirik pada Uyat. "Benar, 'kan, Pak Uyat?" tanyanya meminta penegasan.
Juragan Juanda beserta yang hadir di sana, serentak menoleh ke arah sosok yang sama. Jawab Uyat disertai detak jantung berdebar-debar hebat, "Iya, Juragan. Saya pikir juga begitu."
Laki-laki perlente itu menarik napas lega, lantas berujar pelan, "Aahhh, syukurlah."
Semua yang ada di sana ikut turut merasa lega.
"Lalu, apa yang akan Anda lakukan dengan kuburan almarhumah Sukaesih ini, Juragan?" Bertanya Mbah Jarwo. "Apakah enggak kita laporkan saja dulu ke pihak berwajib?"
"Tidak usah, Mbah," jawab Juragan Juanda. "Sebaiknya jangan sampai ada yang tahu mengenai ini."
"Lho, kenapa, Juragan? Bukannya ini termasuk tindak kriminal? Kita harus mengusut kejadian ini dan mencari pelaku—"
"Jangan ceramahi saya, Mbah!" seru Juragan Juanda menyentak. "Saya tahu itu! Tapi saya tidak ingin kasus ini sampai merebak ke luar kampung!"
"Maafkan saya kalau begitu, Juragan," ucap Mbah Jarwo sambil menundukkan kepala. "Saya hanya mencoba—"
"Keluarga saya masih berduka, Mbah," tukas laki-laki perlente itu dingin. "Saya tidak ingin istri saya ikut terbebani kembali nanti. Cukuplah kisah anak kami, Sukaesih, berhenti sampai di sini. Biarkan dia tertidur nyenyak sepanjang waktu."
"Saya paham, Juragan," ucap Kepala Kampung tersebut memilih untuk mengalah, walau sebenarnya dia ingin sekali mengetahui pelaku pembongkaran kuburan warganya ini.
Kemudian Juragan Juanda Wiratadiredja memerintahkan orang-orang yang dia bawa tadi untuk segera menimbun kembali lubang makam Sukaesih. "Lakukan secepatnya sebelum ada yang melihat keberadaan kita di sini!"
"Baik, Juragan!" jawab mereka serempak. Kemudian semuanya segera turun ke dalam makam dengan cangkul tergenggam erat di tangan. Satu dari orang-orang tersebut dibisiki oleh Juragan Juanda sebelum melakukan tugas. Sosok itu kemudian mengangguk-angguk, lantas ikut bergabung dengan yang lain. Sisanya berdiri mengelilingi tepian kuburan termasuk Mbah Jarwo, Uyat, dan Sarkim.
"Setelah pekerjaan ini selesai, kita berkumpul di saung di kebun saya. Semuanya, tanpa terkecuali," ujar Juragan Juanda seraya melirik pada Mbah Jarwo dan kedua lelaki di sampingnya, Uyat serta Sarkim. "Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan kalian semua," imbuhnya diikuti anggukan sosok-sosok tersebut.
Sarkim dan Uyat saling berpandangan. Bisik salah satunya sambil memperhatikan proses pengurukan kembali kuburan Sukaesih, "Juragan mau ngomong apa, ya, Pak? Apa dia akan menuntut saya?"
"Menuntut apa? Memangnya kamu salah apa, Kim?"
"Saya sendiri gak tahu," ujar Sarkim diliputi berbagai pertanyaan dan rasa khawatir. "Tapi saya takut, mungkin saja dia mencurigai saya yang melakukan pembongkaran kuburan anaknya ini."
"Hhmmm, kamu melakukannya?"
"Tentu saja enggaklah, Pak," tandas Sarkim. "Bagaimana mungkin saya melakukan hal sebodoh ini. Lagipula, buat apa? Sukaesih mati secara tidak wajar, Pak. Bunuh diri. Saya malah takut arwahnya dia bakal gentayangan."
"Ssttt, jaga ucapanmu, Kim," ujar Uyat mengingatkan. "Nanti kalau kedengeran sama Juragan Juanda, dia akan tersinggung, lho."
Cepat-cepat Sarkim menutup mulut dengan telapak tangannya. Dia melirik sejenak pada sosok terkaya di Kampung Sirnagalih tersebut. Tampak Juragan Juanda tengah fokus memperhatikan pesuruhnya yang sedang merapikan kembali kuburan Sukaesih.
"Aku masih heran, Pak," imbuh lelaki muda tersebut beberapa saat kemudian. Uyat menoleh dan bertanya, "Heran apalagi, Kim?"
"Juragan Juanda …."
Uyat ikut menoleh sejenak ke arah laki-laki perlente tadi. "Kenapa dengan dia, Kim?"
Sarkim berpikir sesaat sebelum menjawab. "Kenapa dia gak ingin kejadian ini dilaporkan pada polisi? Apa dia gak ingin tahu juga siapa pelakunya, ditangkap, atau—"
"Ssttt, bukannya tadi dia sudah memberikan alasannya? Kamu juga dengar, 'kan?"
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
knp juragan kok diem ja
lapor dong k polisi
2023-01-12
0
Yurnita Yurnita
wah jadi teka teki silang Thor
2022-11-22
1
Anksu Namum
jangan2 si kesih gk bunuh diri tpi di bunuh mknya gk di laporin ke pk pulis
2022-10-22
2