...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 5...
...------- o0o -------...
Perempuan itu mengangguk pelan, lalu menjawab lirih, "Ya, Pak. Beberapa hari selama ditinggal kamu, di rumah gak ada yang bisa dimakan, Pak. Terpaksa anak-anak aku ungsikan ke rumah orang tuamu."
"Ya, Tuhan!" desah Basri sedih. "Ya, sudah. Besok siang kita jemput anak-anak di sana."
Lastri kembali mengangguk seraya melihat-lihat uang pemberian suaminya tadi. Ada sepuluh lembar berwarna merah dan beberapa sudah tampak kusam. Begitu Basri masuk kamar, dia mencoba menerawang lembar demi lembar untuk memastikan keasliannya. 'Semua tampak asli,' gumam perempuan tersebut masih diliputi tanda tanya. 'Sebenarnya suamiku itu bisnis apaan, sih? Masa kerja cuma seminggu dapetnya segede ini? Tadi dia bilang hasil pinjem. Mungkin gak, sih, kalo ….'
Lastri cepat-cepat membuang prasangkanya. 'Ah, semoga saja bener adanya, dia bener-bener dapet kerjaan, dan … uang ini pun halal.'
Satu hal yang ada dalam pikiran Lastri, dia ingin segera melunasi utang ke warung terdekat, bekas menutupi kebutuhan dapur keluarganya selama ditinggal Basri serta pinjaman-pinjaman lain.
"Maaf, Mbak Las, saya gak bisa ngasih utangan lagi sama Mbak," kata tukang warung beberapa waktu yang lalu, "soalnya utang-utang yang dulu aja belum dibayar. Sekarang mau ngambil lagi. Ya, kalo mau, Mbak Las bayar setengahnya dulu. Saya juga, 'kan, butuh modal buat usaha saya."
Sebenarnya Lastri sendiri merasa sangat malu harus memohon-mohon seperti itu. Namun mau bagaimana lagi, Basri belum kunjung pulang hampir seminggu ini. Ditambah di rumah sudah tidak punya perbekalan apa-apa lagi.
"Iya, saya paham, kok, Bu," ujar Lastri sedih dan menahan rasa malu. "Tapi saya janji, sepulang suami saya nanti, akan saya bayar, kok."
Pemilik warung yang ternyata seorang wanita tua itu, malah terbengong-bengong heran. "Lho, ke mana emangnya Mas Basri, Mbak?" tanyanya tiba-tiba ingin tahu. Lastri tertunduk sedih. Dengan suara terbata-bata, perempuan itu menjawab juga, "Entahlah, Bu Bariah. Saya sendiri gak tahu ke mana suami saya itu pergi."
"Lho, kenapa bisa begitu?" Bariah makin penasaran, sekaligus iba melihat tetangganya yang satu ini.
Jawab Lastri sembari menyeka linangan air mata, "Pokoknya saya gak tahu, Bu, bapaknya anak-anak pergi begitu saja tanpa pamit sama sekali. Saya jadi bingung."
Wanita tua itu terenyuh. Maka tanpa dipikir panjang lagi dia segera menawarkan dagangannya. "Ya, sudah, Mbak Las. Ambil saja seperlunya Mbak. Tapi inget, ya, kalo suamimu pulang, langsung lunasin."
"Iya, Bu. Saya janji." Lastri merasa semringah, akhirnya Bariah memenuhi juga permohonan kasbonnya. Perempuan tersebut hanya mengambil sedikit. Tidak seperti biasanya. "Ini saja, deh, Bu. Tolong dicatetin, ya."
"Lho, sedikit banget, Mbak. Apa cukup buat Mbak Las dan anak-anak Mbak nanti?" Bariah mengernyit heran. Jawab Lastri lirih, "Cukup, kok, Bu. Ini cuma buat saya sendiri. Anak-anak buat sementara saya ungsikan dulu ke rumah mertua."
"Ya, Allah," ujar wanita tua itu seraya mengusap dada. Dia merasa miris sekali dengan kehidupan keluarga Lastri tersebut. Bagaimana tidak, di antara warga Cijengkol yang miskin, mereka adalah salah satunya. "Mudah-mudahan saja Mas Basri cepetan pulang, ya, Mbak."
"Iya, Bu, semoga saja."
Sebelum Lastri pergi, Bariah kembali mengingatkan, "Tapi mohon maaf, nih, Mbak. Kalo suami Mbak itu sudah pulang, cepetan dilunasin, ya, utang-utangnya. Soalnya saya butuh buat modal dagang. He-he.."
"I-iya, Bu, tentu saja. Pasti akan saya bayarin semua, kok," ucap Lastri berjanji. Padahal sebenarnya dia sendiri masih ragu, apakah sepulang nanti Basri akan membawa uang atau tidak. Itu pun jika benar-benar pulang. Sebagai seorang buruh serabutan, tidak jarang suaminya itu memberikan sejumlah uang alakadarnya. Sisa makan dan pemenuhan semua kebutuhan dia sendiri selama ikut bekerja di luaran.
Namun petang ini terasa lain bagi seorang Lastri. Berbekal lembaran uang pemberian dari suaminya tadi, perempuan itu bergegas menuju warung Bariah.
"Suamimu sudah pulang, Mbak?" tanya wanita tua tersebut begitu menerima pelunasan utang-utang tetangganya itu. Jawab Lastri semringah, "Sudah, Bu. Barusan saja nyampe di rumah. Itu saya lunasin semua bon-bon saya, ya. Sekalian mau belanja buat keperluan makan malam nanti dan besok pagi."
Bariah melirik sejenak pada Lastri sebelum melayani pesanan tetangganya tersebut. Ujar wanita tua itu dengan nada penasaran, "Suami Mbak itu sudah punya kerjaan baru, ya?" Bukan hal wajar jika baru kali ini dia membawa uang sebanyak itu berbelanja di warungnya.
"Gak tahu, Bu," jawab Lastri agak merasa risi ditanya perihal itu. Bahkan sampai saat ini pun, dia sendiri belum mengetahuinya secara jelas. "Katanya, sih, ada temen lama yang ngajak bisnis-bisnis begitulah, Bu. Entahlah, saya sendiri gak paham."
"Bisnis apaan, Mbak?" Bariah mengernyit heran. Sebagai tipe tetangga yang sering kepo dan warungnya kerap dijadikan ajang gibah, tentu saja perihal barunya ini sangat mengusik jiwa keingintahuannya.
"Ya, saya sendiri gak tahu, Bu," jawab Lastri mulai terpancing membocorkan hal tentang keluarganya. "Pokoknya diajak kerja bareng temennya itulah. Saya belum tahu banyak, soalnya Bang Basri keburu mau tidur. Capek katanya."
"Oohhh," desis Bariah dengan bibir membulat keriput. "Maksudnya, kalo Mas Basri punya kerjaan enak, ajak-ajaklah itu si Supri anak saya. Sudah hampir dua bulan ini, kerjaannya cuma 'hardolin' doang. Kesel saya jadinya."
"Hardolin?"
Bariah mendelik kesal, lantas menjawab, "Iya, itu … dahar, modol, dan ulin, Mbak."
"Oohhh."
"Padahal anak laki-laki seusia dia, pantesnya sudah kawin, momong anak, punya kerjaan tetap tapi jangan jadi buruh serabutan …." Tiba-tiba Bariah menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Eh, maksud saya tadi itu seenggaknya punya kerjaan tetaplah. 'Kan, jadi sebel sayanya. Masa segede dia makan saja masih ngikut sama orang tua."
Lastri tidak mau menanggapi ucapan tetangganya yang satu itu. Dia pura-pura membantu mengemas belanjaan ke dalam kantong plastik besar. Bukan hal baru pula jika kondisi suaminya, Basri, selama ini kerap kali dijadikan bahan gunjingan. Maka demi menjaga kerukunan antar warga dan kelancaran utang piutang, perempuan itu memilih untuk diam serta bersabar.
"Totalnya jadi berapa, Bu?" tanya Lastri ingin segera menyudahi obrolan mereka tersebut.
Bariah mengambil kalkulator dan mulai menghitung satu per satu. "Tujuh puluh rebu, Mbak," jawabnya tampak kikuk seraya menyodorkan layar alat penghitung tersebut ke hadapan Lastri.
Tanpa menunggu lama, istri Basri ini segera menyerahkan selembar uang berwana merah sisa pelunasan utangnya tadi. Mata tua Bariah sempat terkesiap begitu Lastri memberikan uang sebesar itu.
'Banyak juga duit si Lastri ini,' membatin wanita tua tersebut. 'Emang kerjaan si Basri apaan, sih? Hhmmm, jadi penasaran. Jangan-jangan dia habis ngepet. Secara, 'kan, seminggu gak pulang, eh … tahu-tahunya bawa duit banyak. Wah, ini kudu diwaspadai. Jangan sampe modal dagang saya ikut hilang mendadak nanti.'
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
jangan asal nuduh bu Bariah
Basri bukan nya ngepet ..tapi kepet..
2023-01-12
0
Yurnita Yurnita
emak emak tu ya emang kepo banget 😀
2022-11-22
1
Ai Emy Ningrum
ngepet 🐷🐽 jg kerja bu..usaha..krja jagain lilin biar ga mati...
2022-10-21
2