...PESUGIHAN MAYAT PERAWAN...
...Penulis : David Khanz...
...Bagian 16...
...------- o0o -------...
Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut.
"Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "Wa'alaikumussalaam, Nak."
Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?"
"Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?"
"Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."
"O, ya, sudah. Kètèl sama gelasnya ada di dapur," balas Emak Sari seraya menunjuk ruangan belakang. "Kalo mau bikin kopi, airnya ada di termos. Baru pagi tadi naheur, Nak."
"Iya, Ambu," timpal Lastri. "Bapak mau ngopi?" tanyanya kemudian pada Basri yang sudah duduk di atas hamparan tikar pandan di ruang tengah. Laki-laki itu mengangguk, lantas menjawab, "Bikin saja, Bu. Sekalian juga buat Abah … eh, Abah ke mana, Mak? Sisinarieun gak kelihatan?"
Wanita tua itu menjawab usai Lastri pamit ke dapur, "Bapakmu lagi pergi ke luar, Nak. Biasalah, mungkin ke kebon nyari buah pisang buat caneut."
"Oohhh," gumam Basri sambil manggut-manggut. Dia melirik-lirik sebentar, melihat ibunya sedari masuk tadi tidak lepas memandanginya. "Ada apa, Mak?" tanya laki-laki kerempeng itu tiba-tiba merasa kurang enak hati. Sebelum menjawab, Emak Sari melongok dulu ke arah dapur. Lalu berucap, "Kamu ke mana saja selama seminggu ini, Nak? Gak ada kabar sama sekali, bikin istrimu itu bingung. Sampai-sampai anak-anakmu dititipin di sini."
Basri tidak berani menatap balik sorot mata ibunya. Dia menjawab sambil mengalihkan arah pandangan. "Abas nyari kerjaan, Mak, ke kota," katanya memberi alasan. "Tadinya, sih, paling sehari dua hari pergi, eh … tahunya malah seminggu baru balik lagi."
"Terus?" Mata tua itu seperti tengah menyelidik.
Jawab laki-laki kerempeng itu kembali, "Yaa … terus ... ketemu temen lama, diajak kerja selama seminggu itu. Begitu, Mak. Baru kemaren petang Abas pulang lagi."
Emak Sari menarik napas panjang. Beberapa saat kemudian menimpali penuturan anaknya tadi, "Yaa … minimal ngasih kabar atuh ke rumah. Karunya si Elas sampe nyari-nyari kamu ke sini, lho, Nak. Kasihan dia."
"Iya, Mak," balas Basri sambil menunduk. "Abas sudah jelasin, kok, sama Lastri dan minta maaf. Makanya kami datang ke sini juga, mau sekalian ngejemput Iyan dan Iyam pulang."
Sosok wanita tersebut terdiam beberapa saat. Menarik napas, memandangi anak laki-laki semata wayangnya, kemudian berkata, "Lagian, kenapa, sih, kalian itu gak tinggal di sini saja sama Emak dan bapakmu. Eh, ini … malah milih ngontrak jauh-jauh di Cijèngkol sana. Kalo kalian tinggal di sini, 'kan, gak usah repot-repot kayak kemaren-kemaren itu, lho, Nak. Ditinggal kamu pergi lama juga, Elas dan cucu-cucu Emak, ada yang ikut ngejagain."
Basri hanya diam mendengarkan.
Imbuh Emak Sari, "Padahal kalo mau mah, tuh itu … ikut ngurus kebon sama sawah yang ada di girang itu bareng bapakmu, Nak."
Percakapan langsung terhenti begitu Lastri muncul dari dapur membawakan segelas kopi dan beberapa gelas teh manis, bersama Aryan dan Maryam. Kedua bocah itu berseru riang waktu melihat sosok bapaknya terduduk di ruang tengah tersebut.
"Bapaaakkk!" teriak keduanya lantas menghambur peluk penuh kerinduan. "Bapak ke mana waè, sih? Kamari Iyan nunggu-nunggu Bapak gak pulang-pulang," ungkap Aryan si Anak Sulung berebut dekap manja bersama adik perempuannya. Ditimpali Maryam di antara gelayut manja, "Iya, Bapak mah perginya lama pisan, ih."
Basri memeluk mereka serta menghujaninya dengan ciuman hangat, lalu menjawab lirih, "Iya, maafin Bapak, ya, Anak-anak. Bapak gak ngasih kabar sama kalian berdua."
Emak Sari dan Lastri terenyuh melihat mereka bertiga saling berpelukan. Teringat akan beberapa waktu berlalu, datang ke rumah itu bersama anak-anak dengan perasaan tidak menentu menanyakan keberadaan Basri. "Memangnya ke mana suamimu itu, Nak?" tanya sosok wanita tua tersebut miris seraya memperhatikan raut wajah menantunya, terlihat murung dan gelisah.
"Entahlah, Ambu. Elas sendiri gak tahu," jawab Lastri. Sejujurnya dia merasa malu harus menitipkan Aryan dan Maryam di sana karena sudah tidak bisa memberi mereka makan. Uang tidak punya, setok beras sudah habis, ditambah lagi utang ke warung Bariah kian menumpuk.
"Tinggal saja di sini sampai Basri nanti pulang, Nak," pinta Emak Sari memahami bahwa kondisi perekonomian rumah tangga anak-menantunya ini sedang tidak baik. Namu Lastri menolak walaupun digelayuti perasaan malu terhadap mertuanya tersebut. "Terima kasih, Ambu. Elas sendiri pun gak tahu, bakal berapa lama bapaknya anak-anak itu pergi. Enggak biasanya, sih, begini. Tapi khawatir kalo nanti Bapak ngedadak pulang, rumah dalam keadaan kosong."
Tawaran Emak Sari untuk membawa perbekalan bahan makanan pun, juga terpaksa Lastri tolak. Perempuan itu paham bahwa kondisi hidup mertuanya itu pun tidak lebih baik dari mereka.
"Elas ngerti dan sebenarnya gak mau ngerepotin Abah dan Ambu dengan kehadiran anak-anak di sini, tapi …." Raut wajah Lastri kian muram. " … Elas bingung harus bagaimana lagi, Ambu."
Dengan berat hati, terpaksa Aryan dan Maryam ditinggal untuk sementara waktu di kediaman kakek-neneknya. Lastri kembali pulang ke rumah kontrakan, menaiki angkutan ojek dengan sisa terakhir uang yang ada, sendirian.
"Kalian belum pada ngawadang, 'kan?" tanya Emak Sari beberapa saat usai bercakap-cakap ringan dengan anak-menantunya tadi. Basri menjawab seraya melirik pada Lastri, "Kami sudah makan pagi tadi, kok, Mak."
Timpal wanita tua tersebut, "Itu, 'kan, tadi pagi, Nak. Mumuluk. Sekarang sudah hampir tengah hari. Kita makan bareng, ya? Kebetulan, kemarin si Abah meuncit manila kolot."
Demi menjaga hati orang tua tersebut tidak merasa kecewa, Basri dan Lastri mengiakan saja ajakannya. Kemudian bersama-sama, semuanya berkumpul menghadapi hidangan yang menggugah selera itu.
"Huueekkk!"
Semua mata menoleh ke arah Basri penuh keheranan. "Kenapa, Pak?" tanya Lastri lebih awal mempertanyakan. "Bapak masuk angin lagi?"
"Kamu sakit, Nak?" Emak Sari turut bertanya.
Basri menggeleng pelan dengan mata terpejam. "Enggak. Aku baik-baik saja, kok," jawabnya seraya meletakan potongan lauk yang tadi sudah siap dia santap ke dalam piringnya. "K-kayaknya … daging ini masih bau amis, Mak."
...BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
kasihan amat Bastus..
kaga bisa makan yg enak enak..
2023-01-12
0
Anksu Namum
thor bisa gak itu bahasa daerahnya di translate ke bahasa indonesia
saya gak paham thro🙏
2022-10-23
2
O Z
Beneran gak bisa makan enak si Basreng,rasaknoo.....
2022-10-15
2