Soraya mengetikkan sesuatu pada layar ponsel. Setelah itu, dia mengirimkannya ke grup privat yang hanya diisi oleh dirinya dan juga ketiga sahabat karib sesama kaum sosialita. Tak berselang lama, pesan yang dia kirimkan pun segera mendapat tanggapan dari semua penghuni grup Warung Remang-remang. Pada akhirnya, tercapai satu kesepakatan, bahwa mereka akan bertemu nanti malam di club tempat biasa keempatnya melepas penat.
Niat Soraya yang tadinya hendak mampir ke toko perhiasan, harus dia urungkan karena lebih memilih untuk mengikuti Dirga dan berakhir pada perselisihan ringan dengan Beatrice. "Oh, luar biasanya hidupku," keluh janda cantik dan awet muda itu. Tanpa terasa, kantuk pun datang menyerang, hingga Soraya tak kuasa untuk mempertahankan kesadarannya. Dia pun akhirnya tertidur.
"Mi Amor (Cintaku)," suara berat Francesco terdengar jelas di telinga Soraya, membuatnya seketika terjaga.
"Francesco? Apakah itu kau, Sayang?" Soraya berbalik sehingga dia mendapati seraut paras rupawan nan gagah, Francesco Rojas. Dengan segera, wanita berusia empat puluh lima tahun tersebut menghambur ke dalam pelukan sang suami. "Realmente te extraño (Aku sangat merindukanmu)," ujarnya seraya menangkup wajah tampan berhiaskan janggut yang sedikit tebal, tapi masih terlihat rapi serta terawat. Sentuhan tangan Soraya, kemudian berpindah pada rambut ikal sang suami yang berwarna cokelat. Dibelainya rambut itu dengan lembut dan penuh kasih.
"Te extraño mucho más (Aku jauh lebih merindukanmu)," balas Francesco dengan senyumannya yang menawan. Usia pria itu memang tidak muda lagi. Akan tetapi, dia masih terlihat sangat gagah dan tentu saja tiada duanya di mata Soraya. "Bagaimana kabar Bea?" tanya pria itu lagi.
Soraya hanya mengempaskan napas berat saat mendengar pertanyaan itu. Betapa hatinya bimbang untuk memberikan penjelasan kepada suami yang selama ini menjadi penghuni di hatinya.
"Aku harap kau menjadi ibu yang baik untuk putri kita," ucap Francesco lagi tanpa melepas pandangannya dari sosok cantik sang istri. "Ternyata, kecantikanmu tidak pernah berubah. Kau masih tetap terlihat menggoda, Mi Amor," sanjungnya setengah menggoda, membuat Soraya tersipu malu bagaikan gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. "Jadi, bagaimana?" tanya Francesco lagi.
"Apanya?" Soraya balik bertanya.
"Itu, yang tadi kutanyakan padamu. Bagaimana keadaan Bea?" Francesco mengulangi pertanyaannya.
"Itulah yang menjadi pikiranku saat ini. Bea meminta untuk segera dinikahkan. Sementara kau tahu sendiri bahwa usianya masih sangat muda," keluh Soraya sambil bergelayut manja di dalam dekapan sang suami.
"Berapa usia anak kita saat ini?" Francesco yang saat itu merengkuh tubuh sintal istrinya, menoleh sejenak kepada wanita cantik tersebut.
"Usianya dua puluh dua tahun bulan Juni mendatang," jawab Soraya seraya memainkan janggut sang suami dengan manja.
"Hmmmm ...." Francesco menanggapi jawaban yang diberikan oleh Soraya.
"Apanya yang 'hmmmm?'. Tidak adakah kata-kata yang lain?" protes Soraya mencubit mesra pipi sang suami.
"Berapa usiamu saat menikah denganku waktu itu? Sebentar, akan kuingat-ingat terlebih dulu," Francesco menautkan alisnya, berlagak seakan-akan tengah memikirkan sesuatu.
"Ayolah. Kuakui jika dulu saat menikah denganmu usiaku baru dua puluh tiga tahun. Setidaknya aku satu tahun lebih tua dari Bea," ujar Soraya yang sepertinya telah memahami makna dari sikap sang suami.
"Baiklah. Apa bedanya usia dua puluh dua dengan usia dua puluh tiga?" tanyanya setengah bergumam. "Apakah dalam jangka waktu satu tahun, kedewasaan dan watak seseorang akan bisa berubah secara drastis? Kau bahkan begitu manja padaku, Mi Amor," ujar Francesco lagi.
"Lalu apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin menyetujui permintaan Bea begitu saja, terlebih karena pria yang dipilihnya pun terlihat tidak meyakinkan sama sekali," jelas Soraya ragu.
"Pria seperti apa yang bisa membuatmu merasa yakin?" tanya Francesco.
"Tentu saja pria sepertimu," jawab Soraya dengan segera.
"Ya, dan usiaku terpaut tiga belas tahun lebih tua saat menikah denganmu. Lihatlah sekarang. Aku membuat dirimu menjadi janda. Kau bahkan harus merawat Bea seorang diri," ujar Francesco seolah mengingatkan istrinya.
"Setidaknya kau jauh lebih mapan," sanggah Soraya tak mau kalah.
"Hey, apa kau lupa bahwa aku bukan siapa-siapa saat pertama kali menikahimu, Mi Amor?" Francesco kembali membantah ucapan Soraya. "Eres mi diosa de la suerte (Kaulah dewi keberuntunganku). Kita mendapatkan segalanya bersama-sama," tegas pria berambut cokelat itu.
Soraya terdiam untuk beberapa saat. Tampaknya dia mulai memikirkan kata-kata dari suaminya. Kembali hadir dalam ingatan wanita cantik itu, ketika dia berusia dua puluh tiga tahun. Soraya yang kebetulan mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di kota Madrid, Spanyol. Saat itu, dia tanpa sengaja berkenalan dengan sosok Francesco Rojas. Pria penyuka fotography yang selalu membawa kamera ke manapun dia pergi, bahkan hingga ke tempat kerjanya.
Francesco yang sudah sering melihat Soraya, kerap mengambil fotonya dengan diam-diam. Pada suatu hari, pria itu akhirnya memberanikan diri untuk menyapa si gadis. Dari sanalah mereka mulai dekat hingga menumbuhkan rasa cinta yang berakhir di pelaminan.
Nada dering ponsel yang berbunyi cukup keras, seketika menyadarkan Soraya. Baru dia sadari bahwa ternyata ponsel itu ada di atas wajahnya. Rupanya, Soraya tertidur saat tengah berbalas pesan dengan para penghuni warung.
"Hanya mimpi?" Soraya bergumam setelah mengedarkan pandangan dan tidak menemukan siapapun di kamarnya, "Frans, kenapa hanya sebentar!" keluh Soraya karena janda cantik itu masih merindukan pria kelahiran Madrid yang menjadi belahan jiwanya selama ini.
Suara dering ponsel kembali terdengar hingga membuat semua lamunan tentang Francesco hilang begitu saja. Nama 'Dena' terlihat jelas di layar ponsel canggih milik Soraya, dengan segera dia menerima telfon dari gadis bukan perawan itu.
"Ya, ada apa?" Ya, pertanyaan itulah yang pertama kali diucapkan Soraya setelah menerim telfon dari sahabat karibnya.
"Hmmm. Nanti aku mampir ke tempatmu," ucap Soraya setelah mendengar permintaan Dena dan setelah itu, dia memutuskan sambungan telfonnya.
Setelah meletakkan ponselnya di atas nakas, Janda cantik itu beranjak dari tempatnya. Soraya membuka pintu yang terhubung ke balkon kamarnya. Dia keluar dari kamar dan menghentikan langkah di dekat pagar pembatas balkon. Kedua tangannya mencengkram erat pagar besi bewarna gold itu.
"Apa yang harus aku lakukan, Frans? Aku sangat menyayangi putri semata wayang kita. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Bea," gumam Soraya setelah teringat mimpi indah yang hanya datang dalam sekejap.
Senja terlihat indah di cakrawala. Siluet jingga terbentang di sana saat sang mentari bergerak ke peraduan. Soraya masih betah di sana, termenung dengan segala pikiran tentang Beatrice. Pesan yang disampaikan suaminya lewat mimpi membuatnya merasa bimbang. Dari semua angan tersebut Soraya menyadari satu hal dalam hidupnya, "aku sudah tidak muda lagi. Sudah waktunya aku menata masa depan putriku," gumamnya dengan suara yang lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Bunda dinna
Nah itu btul..harus lbh menata diri demi Bea
2022-11-14
0
Elisabeth Ratna Susanti
top markotop 🎉
2022-10-12
0
🎤ImaEdg🎧
setuju aja lah
2022-10-07
0