"What? Tante?" Dena membelalakan matanya. Karena merasa kesal setelah mendengar Dirga memanggilnya demikian, Dena pun segera meraih kopi yang telah selesai dibuat oleh Dirga. "Ngga perlu diantar. Aku bisa bawa sendiri," ucapnya dengan ketus sambil membalikkan badan. Dia juga mengibaskan rambut panjangnya, membuat Dirga dan si penjaga mesin kasir hanya bisa melongo.
"Kenapa tuh tante-tante?" tanya rekan sebelah Dirga keheranan. Akan tetapi, pria dua puluh lima tahun itu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat kedua bahunya, lalu segera membersihkan mesin pembuat kopi dan area sekitar meja kerjanya. Setelah itu, Dirga kembali meracik pesanan untuk pelanggan yang baru datang ke sana.
"Menyebalkan! Menyebalkan! Menyebalkan!" Dena menggerutu sambil meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Lajang empat puluh lima tahun itu pun duduk sambil berkali-kali mendengus kesal.
"Ada apa, Den?" tanya Soraya yang segera mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Dia memperhatikan sahabatnya itu untuk beberapa saat. Soraya mencoba mencerna sikap Dena yang terlihat sangat jengkel.
"Nih!" Dengan kesal, Dena mengeluarkan ponselnya, lalu dia sodorkan kepada Soraya. "Duh, rasanya ingin kuunyel-unyel wajah manis calon menantumu itu, Ya," gerutu lajang bukan perawan tersebut seraya kembali mendengus.
Soraya yang masih merasa heran, segera meraih ponsel yang Dena sodorkan ke hadapannya. Setelah itu, dia memutar rekaman yang sudah dibuat oleh sang rekan. Soraya, mendengarkan semua yang ada dalam rekaman tersebut dengan sungguh-sungguh lewat sebuah headset. Setelah selesai, janda empat puluh lima tahun itu pun berdecak tak percaya. "Astaga, Dena. Pantas saja kamu ngga nikah sampai sekarang," ujar Soraya seraya menggeleng pelan. "Itu yang kamu sebut sebagai merayu laki-laki? Belajar di mana dan sama siapa sih kamu?" ledek ibunda Beatrice tersebut.
"Hey!" tunjuk Dena dengan nada protes terhadap Soraya. "Makanya sudah kubilang dari awal, untuk urusan goda menggoda aku bukan ahlinya. Harusnya misi ini kamu kasih ke si pelakor!" gerutu Dena sambil menyandarkan tubuhnya dengan kesal. Dia juga melipat kedua tangan di dada.
"Ah, iya. Aku rasa Rahma jauh lebih cocok untuk misi ini," pikir Soraya. Dia lalu terdiam sejenak.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" tanya Dena beberapa saat kemudian.
"Entahlah, aku sama sekali ngga ada ide. Hubunganku sama Bea juga lagi diterpa Badai Katrina. Hhh ... gadis itu makin hari semakin menjaga jarak dariku," keluh Soraya seraya menyibakkan rambut panjangnya ke belakang.
"Kenapa ngga kamu setujui saja sih, Ay? Lagian ya, daripada entar si Bea berbuat macam-macam tanpa sepengetahuan kamu kan jauh lebih bahaya," saran Dena seraya mencicipi kopi espressonya. "Menurutku ya, si Bea itu pasti pengen cepet-cepet kawin karena dorongan dahsyat dalam dirinya yang sudah bergejolak dan tidak tertahakan lagi," rasa kesal dalam diri lajang itu seketika menguap. Dena terlihat sangat antusias setelah meneguk kopinya. "Duh, beneran nih si Dirga peletnya kuat banget," celetuk wanita itu kemudian.
"Kenapa, Den?" Soraya kembali mengernyitkan keningnya dan tampak heran.
"Ini kopi hasil racikan dia sedap bener," Dena mengacungkan ibu jarinya dengan mata yang tampak berbinar.
"Ya, menurutku emang enak sih," sahut Soraya membenarkan pendapat Dena. "Sebenarnya aku ngga bisa lama-lama nemenin kamu di sini. Aku harus ke toko dulu. Kamu tahu 'kan bentar lagi ada acara peluncuran model terbaru perhiasan dari perusahaan aku," Soraya memasukkan ponselnya ke dalam hand bag yang dia letakkan tepat di sebelahnya.
"Ingat janji kamu, Ay," Dena kembali mengingatkan janji Soraya yang akan memberikan masing-masing sahabatnya, sebuah perhiasan model terbaru yang sebentar lagi dia luncurkan. Itu semua sebagai imbalan atas bantuan mereka dalam menjalankan misi pengintaian terhadap Dirga.
"Oh, tenang saja. Jangan risaukan hal itu, Sayang. Soraya ngga pernah ingkar janji," tegas janda Francesco Rojas itu. "Setelah ini aku mau calling si Rahma dulu deh. Mau minta dia buat lanjutin misi," ujar wanita cantik itu kemudian.
"Okelah, terserah kamu. Aku sih pasti bantuin, tapi ingat! Jangan lagi-lagi dalam hal goda menggoda," tegas Dena. Dia kembali meneguk kopinya.
"Iya, iya," sahut Soraya. Setelah mengenakan kaca mata hitam lagi, janda empat puluh lima tahun itu kemudian beranjak dari duduknya. "Aku pergi dulu, ya. Nanti kukabari lagi kalau ada apa-apa," pamitnya. Setelah cipika-cipiki dengan Dena, Soraya pun melangkah keluar dari dalam cafè tersebut. Dia bergegas menuju mobilnya terpakir. Setelah berada di dalam kendaraan mewah itu, Soraya lalu mengeluarkan ponsel. Dia mencari kontak Rahma dan mulai mengetik pesan untuk wanita simpanan pejabat tersebut. Tak berselang lama, pesan darinya berbalas sebuah voice note dari Rahma.
"Gimana, mbak Ay? Aku udah siap nih menjalankan tugas," suara lembut penuh desa•han dari Rahma, terdengar sangat menggoda. Soraya pun segera membalasnya dengan sebuah pesan singkat.
Nanti kita ketemuan langsung deh. Aku mau minta wejangan dulu sama mbak Astrid.
"Oke, mbak say. Aku tunggu," balas Rahma lagi via voice note seperti tadi.
Setelah itu, Soraya kemudian menghubungi Astrid. Dia merasa jika sang senior jauh lebih berpengalaman. Astrid pun memberinya sedikit pengarahan, tentang misi selanjutnya. Soraya pun mengerti dengan apa yang harus dia lakukan. Namun, untuk hari itu penyelidikan dirasa cukup. Setidaknya dia tahu bahwa Dirga menolak Dena yang menawarkan iming-iming kesenangan terhadapnya. Dirga juga mengakui bahwa dia telah memiliki seorang kekasih dan akan segera menikah. Dua poin plus untuk pria dua puluh lima tahun tersebut. Soraya hanya berharap, semoga ke depannya Dirga selalu istikomah dalam keshalihannya.
Ya, meskipun kehidupan Soraya jauh dari agama dan terkesan memuja hura-hura, tapi naluri sebagai seorang ibu tetap ada jauh di dalam lubuk hatinya. Tentu saja dia berharap yang terbaik untuk putri semata wayangnya tersebut. Soraya ingin agar Beatrice bisa mendapatkan jodoh yang bisa membimbing gadis itu menjadi pribadi yang jauh lebih dewasa dan memberi pengaruh positif dalam kehidupan gadis itu.
"Semoga saja pria itu bisa membuatmu bahagia, Bea." Soraya bergumam lirih setelah menyimpan ponselnya, "eh, apaan sih! Gak ah! Semoga bukan dia menantuku nanti," sergah Soraya setelah sadar dengan kalimat yang baru saja diucapkan.
Selama dalam perjalanan menuju toko perhiasan miliknya, Soraya terus memikirkan Beatrice. Sebagai seorang ibu, dia tidak nyaman jika ada jarak yang membentang di antara dirinya dan juga Beatrice. Meski Soraya sendiri jarang menemani Beatrice di rumah, tetapi dia masih bertemu di saat sarapan dan akhir-akhir ini, kegiatan rutin itu tidak terjadi.
"Aku berharap setelah ini keadaan kembali membaik. Bea bisa mengerti apa yang aku khawatirkan," gumam Soraya dengan helaian napas yang berat.
...🌹Terima kasih sudah membaca karya ini, semoga suka 😍🌹...
...🌷🌷🌷🌷🌷...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Bunda dinna
Soraya ibu yg aneh..Bea di tinggal terus giliran mau nikah malah ribet sendiri
2022-11-15
0
Elisabeth Ratna Susanti
mantul 👍
2022-10-25
0
Dwisya12Aurizra
memang sih, setiap orang tua menginginkan yg ter baik buat anak nya, jadi so... begitulah
2022-10-16
0