Hari berikutnya, bu Nilam mulai membuat bakso dalam jumlah yang banyak karena Adam akan mengambil bakso dari bu Nilam untuk disajikan di restoran-restoran miliknya.
Pagi ini, Adam datang lebih awal dari waktu yang telah disanggupi bu Nilam. Setelah memarkir mobilnya, Adam segera mengetuk pintu kios bu Nilam yang masih tertutup rapat tersebut.
Tok,,, tok,,, tok,,,
Terdengar suara langkah kaki dari dalam kios, sedetik kemudian pintu dibuka sedikit dan nampak lah wajah terkejut bu Nilam melihat siapa yang datang.
"Mas Adam?" sapa bu Nilam seraya mengernyitkan kening.
Adam tersenyum lebar, "assalamu'alaikum, Bu," ucap salam Adam dan kemudian menyalami bu Nilam, seraya mencium punggung tangan wanita itu dengan takdzim.
"Wa'alaikumsalam," balas bu Nilam, sambil membuka lebar pintunya.
"Maaf, Bu. Saya sengaja datang lebih awal," ucap Adam.
"Tidak apa-apa, Mas Adam. Hanya saja, Mas Adam harus menunggu agak lama, karena kami belum selesai membuat baksonya," balas bu Nilam, "ayo silahkan masuk, Mas Adam tunggu saja di dalam," ajak bu Nilam.
Adam mengekor langkah bu Nilam, masuk kedalam kios yang dijadikan kedai bakso sekaligus tempat tinggal tersebut.
"Silahkan duduk, Mas Adam." Bu Nilam mempersilahkan tamunya untuk duduk di kedai, karena di dalam tidak ada lagi tempat, hanya ada dua kamar dan dapur kecil di bagian belakang.
"Iya, Bu. Terimakasih," balas Adam dengan sopan. Pemilik restoran itu pun kemudian duduk dan memilih lesehan seperti kemarin ketika Adam makan bakso di kedai tersebut.
"Tunggu sebentar ya, Mas," pamit Bu Nilam sambil bergegas masuk kedalam, meninggalkan tamunya seorang diri.
Tidak berapa lama kemudian, Melati menghampiri Adam seraya membawakan secangkir kopi dan sepiring sukun goreng hangat. Kebetulan, ada tetangga yang memberikan sukun pada bu Nilam kemarin dan pagi ini Melati menggorengnya.
"Silahkan di minum kopinya, Mas," ucap Melati seraya tersenyum ramah.
"Iya, Dik. Terimakasih," balas Adam.
Setelah menyimpan kopi dan gorengan di atas meja di hadapan Adam, Melati kebingungan harus bersikap bagaimana? Tadi sang ibu menyuruhnya untuk menemani Adam, tetapi Melati masih merasa canggung dengan pemuda yang baru kemarin dikenalnya itu.
Apalagi Melati juga masih mengingat kejadian kemarin, dimana dirinya dituduh oleh wanita yang bersama Adam bahwa Ia telah menganggu pemuda yang saat ini sedang duduk sambil terus memperhatikan dirinya.
Melati menjadi salah tingkah, "emm, maaf, Mas Adam. Mela tinggal dulu, tidak apa-apa, 'kan?" pamit Melati.
Adam mengangguk, pemuda itu pun bisa memahami apa yang Melati rasakan. Sejujurnya, Adam pun masih canggung, tetapi pemuda itu telah bertekad dalam hati untuk menjaga Melati dan ibunya setelah mengetahui cerita dari bu Nilam kemarin.
Terselip rasa iba di hati pemuda berwajah blasteran tersebut, mendengar kisah Melati yang masih belia tetapi sudah harus menanggung semua ini seorang diri karena kesalahan dimasa lalunya bersama sang kekasih.
Adam juga mengecam perilaku orang tua kekasih Melati yang tidak mau nama sang putra di sangkut-pautkan dengan kehamilan Melati, bahkan mereka malah tega mengusir Melati dan ibunya dari kota kelahirannya sendiri.
"Tunggu sebentar, Dik," cegah Adam, ketika Melati sudah hampir masuk ke ruangan dalam.
Melati menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Adam yang ternyata sudah berjalan mendekat kearah putri tunggal bu Nilam tersebut. "Ada apa, Mas?" tanya Melati.
"Saya ikut ke dapur, mau lihat bagaimana ibu membuat bakso," pinta Adam.
Melati tertegun, Ia bingung harus menjawab bagaimana? Dapur di kiosnya ini sangat kecil, pasti akan semakin sempit jika ada mereka bertiga.
"Maaf, Mas. Dapur kami sempit, pasti mas Adam tidak akan nyaman berada di sana," tolak Melati dengan halus.
"Tidak apa-apa, Dik. Dapur di tempat kos saya yang dulu juga sempit dan saya nyaman-nyaman saja beraktifitas di sana," balas Adam yang langsung ngeloyor masuk kedalam, sambil tersenyum penuh arti.
Melati hanya bisa menghela nafas panjang, putri bu Nilam tersebut kemudian segera menyusul langkah Adam yang berjalan dengan cepat.
"Bu, saya boleh ikut membantu, 'kan?" Suara bariton Adam, mengejutkan bu Nilam yang sedang membuat bulatan bakso untuk dimasukkan kedalam air mendidih.
"Mas Adam, kenapa jadi menyusul kemari? Disini kotor, Mas? Tempatnya juga sempit?" protes bu Nilam seraya menatap Adam yang masih mengulas senyum.
"Tidak mengapa, Bu. Dapurnya bersih kok dan saya juga sudah terbiasa berada di tempat seperti ini, Bu. Jadi, ibu tidak perlu khawatir," balas Adam.
"Maaf, Bu. Tadi Mela juga sudah melarang Mas Adam untuk kesini," ucap Melati dengan tidak enak hati.
"Ya sudah, tidak apa-apa," balas bu Nilam.
"Alhamdulillah, terimakasih, Bu," ucap Adam dengan senang hati, "apa yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Adam dengan tulus.
Bu Nilam menatap Adam dengan tatapan tidak percaya, "benar, Mas Adam mau bantu? Nanti baju Mas Adan kotor dan bau lho, Mas?" tanya Bu Nilam ingin memastikan.
Adam mengangguk pasti.
"Baiklah, jika Mas Adam memaksa. Bisa tolong bungkus bakso yang sudah adem itu ya, Mas? Itu sudah ada contohnya," titah bu Nilam seraya menunjuk meja dimana terdapat tampah yang penuh dengan bakso, di sebelahnya ada beberapa bungkus bakso dalam plastik tebal yang sudah di press.
Tampah atau di Bali disebut tempeh bentuknya menyerupai nampan atau baki bulat, yang terbuat dari anyaman bambu. Di bali, kerajinan dari bambu tersebut banyak dihasilkan oleh pengrajin dari Desa Sidatapa.
Desa Sidatapa merupakan salah satu desa kuno atau biasa disebut Baliaga yang masih bertahan hingga kini, selain menyimpan sejuta tradisi menarik seperti tari-tarian dan upacara agama yang khas dan berbeda dengan desa lainnya di bali, Desa Sidatapa juga memiliki banyak keunggulan diberbagai bidang, salah satunya adalah di bidang sentra industri kreatif kerajinan dari bambu bambu. _source : Wikipedia_
Di Jawa sendiri, tampah bukan hanya sekedar nama biasa untuk alat dapur tradisional tersebut. Tampah nyatanya memiliki makna dan filosofi tersendiri dalam budaya Jawa, diyakini berasal dari kata '𝘵𝘢𝘮𝘱𝘢' yang artinya '𝘮𝘦𝘯𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢', sehingga dimaknai sebagai menerima segala sesuatu pemberian dari Yang Maha Kuasa, yang didapat dalam hidup.
"Siap Bu, ini mudah bagi saya," balas Adam antusias.
Pemuda berahang kokoh dengan bulu-bulu kasar menghiasi wajahnya itu, kemudian mulai memasukkan bakso kedalam plastik. Setelah dirasa plastiknya cukup penuh, Adam kemudian mengisi lagi plastik yang lain.
Sementara Melati membantu sang ibu mengangkat bakso yang sudah matang dari panci menggunakan serok untuk kemudian ditiriskan di atas tampah yang lain, agar baksonya kesat dan cepat dingin sebelum kemudian dimasukkan kedalam plastik.
Adam yang sesekali melirik kearah Melati, kemudian mendekati putri bu Nilam tersebut. "Biar saya saja, Dik. Ini panas dan berat, tidak cocok jika kamu yang mengerjakannya." Tanpa menunggu persetujuan Melati, Adam mengambil serok dari tangan ibu hami itu.
"Jangan, Mas," tolak Melati.
"Dik Mela yang bungkus bakso saja," titah Adam, sambil menunjuk tempatnya tadi dengan dagu.
Melati yang berdiri tepat di samping sang ibu yang sedang duduk di depan kompor, menatap ibunya. Di saat yang sama, bu Nilam juga tengah menatap putri tunggalnya. Cukup lama ibu dan anak itu saling pandang, bu Nilam kemudian tersenyum sedangkan Melati mengedikkan bahu.
Putri bu Nilam mau tak mau mengikuti keinginan Adam dan menggantikan posisi pemuda tersebut, Melati berdiri di tempat Adam tadi sambil membungkus bakso yang sudah dingin.
Dapur yang sempit, semakin sempit dengan adanya tiga orang dewasa di sana hingga jarak mereka pun saling berdekatan. Sesekali, bahkan Adam dan Melati saling bersenggolan ketika pemuda pemilik restoran tersebut hendak menyimpan bakso dalam tampah yang sudah penuh ke atas meja.
Adam yang menggantikan pekerjaan Melati, terlihat mulai berkeringat. Kompor yang menyala dan uap dari panci yang mengepul karena airnya memang dibiarkan agar terus mendidih serta ruangan yang sempit, membuat suhu udara di dapur bu Nilam terasa panas.
Ketika Adam menyimpan bakso di tampah yang kedua, Melati menyodorkan serbet bersih kepada Adam. "Lap dulu keringat Mas Adam."
Adam mengernyitkan kening, "mas 'kan lagi pegang ini, Dik. Tolong, Dik Mela saja ya?" pinta Adam yang tiba-tiba saja menyebutkan dirinya mas, bukan lagi saya.
Kembali Melati menatap ibunya, sementara bu Nilam hanya tersenyum sama seperti tadi.
Melati kemudian mengelap keringat yang bercucuran di kening Adam, tanpa berani menatap mata kebiruan milik laki-laki yang sudah memiliki tunangan tersebut.
Sementara Adam tersenyum tipis, "Melati lebih cantik kalau dilihat dari jarak sedekat ini," gumam Adam yang mengagumi Melati.
TBC,,,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Iges Satria
Mas Adam bikin Adem deh, meleleh mak /Heart/
2024-09-22
1
Cah Dangsambuh
aiiih mas adam gitu ya udah langsung mas aja ah hehe
2024-07-19
1
Windarti08
haish, makin tersepona ya mas Adam...🤭
biasa liat muka dempulan, ini ada yg bening ayu alami masih ranum pula😍😍
makin gembrobyos aja itu kringetnya Mas Adam😂😂
2023-06-12
1