Delapan_ Adam Hanafi

Hari demi hari, kedai milik bu Nilam semakin ramai dan itu karena semangat Melati dalam mempromosikan kedai bakso sang ibu. Tetapi masih ada satu keinginan Melati yang belum tercapai, yaitu memasarkan bakso sang ibu di kafe kekinian dan di resto tempat orang-orang berduit makan.

Calon ibu itu berpikir, jika bakso sang ibu bisa di jual di tempat-tempat bergengsi seperti itu, pastilah penghasilan mereka juga akan semakin bertambah.

Perjalanan yang Melati tempuh semakin jauh, tidak hanya di sekitar tempat wisata pantai Sanur, tetapi juga merambah tempat wisata yang lain di kota Denpasar. Namun hingga beberapa bulan menawarkan baksonya, usaha Melati belum juga mendapatkan hasil.

Kandungan Melati yang semakin besar, membuat sang ibu melarang putrinya tersebut untuk terus mencari kafe atau restoran yang mau diajak bekerjasama menjualkan bakso buatan bu Nilam.

"Sudah, Mel. Mulai hari ini dan seterusnya, kamu tidak perlu lagi berkeliling." larang bu Nilam sambil mengelus perut Melati yang semakin membuncit, "kita tekuni saja usaha yang sudah ada, InsyaAllah kalau kita berjualan dengan diniatkan mencari nafkah yang halal untuk bekal hidup dah beribadah kepada-Nya, rizqi kita akan dicukupkan, Nak," lanjut bu Nilam.

"Bu, tapi sebentar lagi kan Mela melahirkan? Pasti butuh uang yang banyak untuk biaya persalinan, bukan?" Melati terlihat sangat cemas.

Bu Nilam menggeleng, "tidak perlu risau dengan apa yang akan terjadi nanti, Nak. Selagi kita masih mau berusaha dan terus berdo'a, InsyaAllah akan ada rizqi untuk biaya persalinan kamu nanti," ucap bu Nilam dengan bijak, membuat hati Melati sedikit lebih tenang.

"Ayo, kita buka kedai," ajak bu Nilam, agar sang putri tidak larut dengan pikirannya yang kalut karena berpikir terlalu jauh.

Melati akhirnya menuruti keinginan sang ibu dan putri tunggal bu Nilam itu membantu sang ibu berjualan di kedai.

Kebetulan hari ini adalah hari libur, sepanjang jalan menuju pantai Sanur itu terlihat sangat ramai. Kedai milik bu Nilam pun mulai di datangi oleh beberapa pengunjung dan dengan sigap, Melati membantu sang ibu melayani para pembeli.

Gadis muda berwajah bersih dengan parasnya yang menawan itu, menjadi pusat perhatian bagi pengunjung yang datang ke kedai sang ibu. Tidak sedikit yang memuji kecantikan Melati, tetapi tidak sedikit pula yang menggunjingnya begitu melihat perut buncit putri pemilik kedai bakso tersebut.

Melati yang bisa mendengar cibiran dari para pengunjung, hanya bisa menarik nafas dalam-dalam seraya beristighfar memohon ampunan. Karena hanya itu yang bisa Melati lakukan saat ini, sebagaimana saran sang ibu agar dia memperbanyak beristighfar untuk memohon ampun atas kesalahan yang pernah Ia lakukan beberapa bulan silam.

Kesalahan yang hanya Melati lakukan sekali, namun akibatnya begitu besar. Melati harus putus sekolah dan melupakan impiannya untuk bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Megeri dengan beasiswa prestasi.

Melati juga harus menanggung malu dan beban hidup yang begitu lama, bahkan mungkin seumur hidup Melati harus menanggung rasa malu tersebut. Bukan hanya dirinya, tetapi sang ibu yang tidak tahu apa-apa juga terkena imbasnya.

Kini hanya penyesalan yang tersisa, dukungan dari sang ibu yang luar biasa sabar dan penuh perhatian yang membuat Melati sanggup menghadapi semua dan bersabar atas ujian hidup yang harus Ia jalani.

Ujian hidup yang akan membuat Melati naik tingkat jika Ia berhasil melewatinya, begitu selalu nasehat yang diberikan oleh bu Nilam kepada putrinya.

Sang ibu selalu meyakinkan pada Melati, jika Ia bersungguh-sungguh bertaubat dan menyesali perbuatannya di masa lalu dan kemudian menjalani hidup dengan lebih baik maka kehidupan Melati InsyaAllah akan lebih baik lagi kedepannya.

Melati harus menyingkirkan rasa malu mendapatkan cibiran dari beberapa orang pembeli di kedai sang ibu, calon ibu muda itu terus melayani pembeli dengan tersenyum ramah. Hingga membuat mereka yang mencibir, dengan sendirinya terdiam.

Menjelang sore, ketika kedai bu Nilam sudah mau ditutup. Datang dua orang pengunjung yang hendak makan bakso, "bu, baksonya masih?" tanya pengunjung laki-laki, yang berusia sekitar 27 tahun dengan sopan.

Sementara seorang wanita yang seusia dengan laki-laki tersebut, nampak cemberut dan wajahnya terlihat masam.

"Iya, Mas. Masih, silahkan duduk," balas bu Nilam dengan ramah dan mempersilahkan pada pembelinya untuk memilih tempat duduk.

Laki-laki muda tersebut memilih duduk lesehan, yang dengan sangat terpaksa diikuti oleh wanita yang bersamanya.

"Kenapa sih, kita tidak makan di tempat lain saja? Disini jorok tahu, Dam?" kesal wanita berkulit putih bersih itu, dengan mengerucutkan bibirnya yang bergincu merah merona.

"Jorok bagaimana, maksudmu? Bersih gini kok?" bantah laki-laki yang bernama Adam, "tempatnya juga nyaman, meskipun sederhana," lanjut Adam mengagumi kedai sederhana milik bu Nilam, yang di desain oleh Melati.

Kedai milik bu Nilam tesebut memang sangat sederhana, tetapi nyaman dan mengedepankan suasana kekeluargaan.

"Kita kan bisa makan di restoran depan, Dam? Atau, kita makan saja nanti, kalau sudah sampai di restoran kamu?" kekeuh teman wanita Adam.

"Aku laparnya sekarang dan pengin makan makanan yang berkuah," balas Adam yang tidak mau mengalah, "kamu kalau mau makan nanti, ya terserah. Biar nanti baksonya, aku yang makan semua," lanjut Adam dengan ekspresi dingin.

"Kamu ini kenapa sih, Dam. Kok jadi aneh gini? Ketus lagi sama aku?" protes sang wanita.

"Aneh? Bukannya kamu yang selama ini aneh ya, Sis?" Adam menatap tidak suka pada teman wanitanya yang bernama Sisca, "kamu selalu ngatur-atur hidupku, seolah-olah aku ini adalah milikmu!" Kesal Adam.

"Memang benar kamu milikku kan, Dam! Kita sudah dijodohkan, ingat itu!" ketus Sisca sembari menuding Adam dengan ibu jarinya.

Adam menghela nafas berat, "tapi aku tidak pernah menyetujuinya, Sisca. Kamu sepupuku, jangan rusak tali persaudaraan kita dengan ambisi mu yang ingin memiliki aku, Sis!" geram Adam.

"Tapi kedua orang tua kita sudah setuju, Dam!" seru Sisca, tidak mau kalah.

"Silahkan om, tante, baksonya," ucap Melati dengan ramah.

"Tante, tante! Sejak kapan aku nikah sama om kamu!" ketus Sisca.

Melati merasa tidak enak hati. "Maaf mbak," sesal Melati.

Sementara Adam malah terkekeh, "sudah, ayo makan. Jangan marah-marah terus, nanti semakin terlihat tua," ledek Adam, yang membuat Sisca bersungut-sungut.

"Makasih ya, Dik," balas Adam seraya tersenyum pada Melati.

Tatapan Adam terpaku saat melihat gadis belia dihadapannya dengan perut yang besar bahkan hingga Melati berlalu, Adam masih mengamati Melati. "Masih sangat muda tapi sudah menikah?" gumam Adam dalam hati.

Tiba-tiba Sisca beranjak dan langsung menghampiri Melati, "kalau jualan, jangan sambil godain calon suami orang!" hardik Sisca sambil mendorong tubuh Melati kesamping, yang membuat Melati sangat terkejut dan hampir saja terjatuh karena mendapatkan serangan yang tiba-tiba.

Melihat kejadian yang secepat kilat tersebut, Adam pun sangat terkejut dan langsung beranjak. Laki-laki muda itu menghampiri Melati, yang sudah ditolong oleh sang ibu.

"Maafkan saudara saya, Dik, Bu," ucap Adam dengan tulus.

Bu Nilam menggeleng, "tidak apa-apa, Mas. Untung putri saya tidak terjatuh," balas bu Nilam.

"Ngapain sih, minta maaf segala!" protes Sisca.

"Ini yang aku enggak suka dari kamu, Sisca! Kamu bersalah, bukannya minta maaf malah marah-marah terus!" hardik Adam.

"Pulang duluan sana, aku mau makan. Aku lapar," lanjut Adam yang terlihat sangat kesal, pada wanita yang datang ke kedai bersamanya tadi.

Tanpa berkata-kata lagi, Sisca langsung berlalu dengan mendengus kesal dan berjalan cepat sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Bu, sekali lagi, saya minta maaf atas kejadian barusan," ucap Adam seraya menangkup kedua tangannya di depan dada dan mengangguk sopan.

Bu Nilam kembali menggeleng, begitu pun dengan Melati.

"Tidak apa-apa, Om. Eh, Mas. Bukan salahnya, Mas," balas Melati yang bingung harus memanggil bagaimana sebab tadi sewaktu memanggil om dan tante, di protes oleh wanita yang baru saja berlalu dari kedainya.

"Panggil mas saja, Dik. Lebih enak di dengar," balas Adam, "perkenalkan, saya Adam Hanafi. Biasa dipanggil, Adam," lanjut laki-laki berwajah blasteran itu memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangan kepada Melati.

"Saya Melati," putri bu Nilam itu menyambut uluran tangan Adam, "dan ini ibu saya, bu Nilam," Melati juga memperkenalkan sang ibu.

Tanpa bu Nilam duga, Adam menyalami bu Nilam dan mencium punggung tangan wanita kurus itu dengan takdzim.

Terpopuler

Comments

Iges Satria

Iges Satria

calon suami kayaknya nih

2024-09-22

1

Arwondo Arni

Arwondo Arni

semoga melati sukses dan hidup bahagia kasihan

2023-11-05

1

ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ

ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ

Mas Adam ini ciri² suami idaman yah,sudah ganteng dan sopan santunnya juga 👍🏻👍🏻

2023-05-11

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 37 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!