Acara resepsi berlangsung tanpa hambatan. Azri dengan sangat terpaksa mengenalkan Widya pada teman-temannya. Mereka menyambut Widya dengan tangan terbuka seolah dia adalah sang dewi penyelamat.
Widya takjub bertemu kembali wajah-wajah yang dilihatnya di klub malam waktu itu. Mereka tampak berbeda, mereka juga ramah dan menyenangkan. Tidak seperti kesan pertama yang dilihatnya waktu itu. Memang terlalu jahat jika Widya menilai teman-teman Azri sama buruknya dengan pria itu.
Tiba saatnya Widya berkenalan dengan Marleen. Azri sebenarnya tidak berniat memperkenalkan mereka, tetapi Marleen sendiri yang menghampirinya saat resepsi. Akhirnya ia tidak memiliki pilihan selain mempertemukan keduanya.
"Dia Marleen, Marleen ini Widya," ucap Azri datar. Keduanya bersalaman dengan ekspresi saling menyelidiki.
"Semoga kalian bahagia." Marleen tersenyum cerah.
Widya tidak mudah tertipu dengan keramahan Marleen. Ia tahu yang mana senyum pura-pura dan yang mana senyum tulus. Dia pikir Widya tidak tahu bahwa dirinya dan Azri memiliki hubungan lebih dari sekedar teman? Namun, ia mencoba mengabaikannya dengan balas tersenyum.
"Terima kasih. Kamu temannya, bukan? Kulihat kalian bersama tempo hari."
Marleen menunjukkan raut terkejut yang dilebih-lebihkan. "Oh ya? Begitulah, aku memang temannya. Bahkan, mungkin lebih dari sekedar teman."
Jadi kamu tidak mencoba menyembunyikan affair kalian?
Widya menjaga nada suaranya agar tidak terdengar kesal. "Bisa terlihat jelas. Kalian tampak akrab."
Marleen kembali tersenyum dan dia beralih menatap Azri. Setelahnya Widya harus menahan tangannya untuk tidak mencakar kedua orang itu karena mereka berani sekali berbicara akrab, nyaris mesra secara terang-terangan di depannya. Widya hampir tertawa geli. Baik Marleen maupun Azri sepertinya kompak ingin membuatnya cemburu.
Maaf sekali, tetapi usaha itu tidak berhasil. la memang kesal, tapi cemburu? Tidak masuk akal. Lagipula kenapa ia harus cemburu? Widya menarik napas lalu membuangnya.
Perang baru saja dimulai. Serangan balasan darinya akan datang nanti.
***
"Akhirnya acara membosankan itu berakhir juga!"
Azri menghempaskan tubuhnya ke sofa nyaman yang terletak di dalam kamar pengantin yang khusus disiapkan di resort mewah itu. Tubuhnya terasa pegal, padahal ia hanya berdiri dan tersenyum sepanjang acara. Namun, rasanya seperti baru saja mengikuti maraton.
Sementara itu Widya duduk di sofa di hadapan Azri dengan wajah tak kalah lega. Ia melepaskan high heels yang dikenakannya sepanjang hari ini. Azri melirik ke arahnya. Pria itu menunjukkan senyum mencurigakan. Tampak sekali ingin mengajaknya berdebat.
"Kamu gembira karena sekarang sudah menyandang marga baru di belakang namamu?" sindir Azri sambil melepaskan dasi dan jasnya.
Lihat, dugaannya tepat!
"Jangan besar kepala. Aku lebih suka marga Lovarza dibandingkan Pradipta," jawab Widya cepat, tegas, dan tanpa memandang Azri.
"Yang benar?" Azri menyeringai. "Kukira semua gadis akan senang menyandang gelar sebagai menantu tunggal keluarga Pradipta."
Widya ingin sekali rasanya membungkam mulut Azri yang superpedas itu. la mendelik sebal. "Kukira setelah menikah kamu akan berubah. Sekali-kali jujur saja pada perasaanmu, kamu juga sebenarnya bahagia dengan pernikahan ini, bukan?"
Azri terperanjat. Apa ia tidak salah dengar? "Bahagia dengan pernikahan ini? Omong kosong."
"Lalu kenapa wajahmu terlihat bahagia?“
"Aku seperti ini karena tidak sabar ingin membalaskan dendamku padamu."
Azri bangkit dari tempat duduknya. Widya merasakan aura berbahaya ketika Azri melangkah mendekat lalu duduk di sampingnya. Ia sebisa mungkin tampak biasa saja dan berpura-pura tidak mengerti maksud Azri.
"Dendam?"
"Iya, dendam." Azri mendekatkan posisi duduknya. Ia kira Widya akan gugup atau paling tidak tersipu malu, tetapi anggapannya salah. Gadis itu justru duduk tegak, tidak gentar menghadapi serangannya.
Azri menyentuh helaian rambut Widya yang jatuh di sisi wajahnya sambil bergumam, "Kamu tahu, aku sangat dendam padamu karena berani menarikku ke pelaminan dan mengucap janji sehidup semati bersamamu." Dengan gerakan lembut Azri menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
Widya menelan ludah, sejujurnya ia sangat gugup. Namun, ia harus bertahan. "Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
Azri tersanjung dengan keberanian gadis ini. "Kamu penasaran dengan balas dendamku?" tanyanya dengan senyum licik tersungging di bibir.
Widya mendadak ingat perkataan Ryan sebelum pernikahan dimulai. Sial, ia baru paham maksudnya sekarang. Jangan-jangan ini salah satu bentuk 'penyiksaan' Azri padanya.
Tangan Azri dengan nakal bergerak ke belakang tubuhnya dan Widya merasakan sengatan listrik statis ketika kulit tangan Azri menyentuh punggungnya, menurunkan resleting gaun pengantinnya dengan sangat perlahan.
"Ini balas dendamku," bisik Azri lagi.
Tak bisa dipungkiri tubuh Widya menjadi kaku seperti patung saat Azri berbicara dalam jarak yang sangat dekat dengannya. la bahkan nyaris terbaring jatuh jika tidak tertahan oleh bantalan sofa. Apa yang ingin dilakukan pria ini?!
"Aku akan membuatmu terperangkap dalam pernikahan ini sampai kamu nyaris menangis karena tidak sanggup meninggalkanku.“
Widya memejamkan mata sekilas ketika bibir Azri turun menyentuh bahunya yang terbuka. Hatinya bergetar. Tentu saja. Sekarang adalah malam pertama mereka. Apakah malam ini ia akan tidur bersama Azri? Apa pria ini akan memaksanya walaupun ia belum siap secara fisik dan mental?
Azri hampir saja menyeringai karena Widya tidak menolak sama sekali ketika ia mencium perlahan sepanjang garis bahunya. Ketika ciuman itu merambah naik ke pipi dan mata mereka berhadapan, ia membelalakkan mata menyadari Widya menatapnya tajam.
"Apa yang kamu lakukan setelah ini? Kamu ingin meniduriku?" tanya Widya sinis.
Kali ini Azri yang merasakan tubuhnya membeku. Ia tidak pernah ditanyai begitu dingin oleh seorang wanita ketika ia sudah melancarkan aksinya. Widya Lovarza Anindita seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan tindakan romantisnya barusan. Biasanya wanita yang sudah ia perlakukan seperti itu tidak akan pernah menatapnya setajam ini, malah mungkin dengan sukarela menyerahkan dirinya pada Azri.
"Kenapa tidak menjawab?" tanya Widya lagi karena kini Azri justru terdiam, kehilangan kata-katanya.
Memanfaatkan kebisuan Azri, ia kembali berkata, "Kamu pikir dengan begitu kamu akan bahagia? Apa kamu pikir balas dendam bisa mendamaikan hatimu?"
Azri mengeraskan rahangnya dan tangannya yang berada di balik punggung Widya mengepal erat. Apa yang gadis ini katakan? Ia tidak bahagia? Siapa bilang? Justru kehidupannya sangat bahagia karena bisa terbebas dari jerat ayahnya dan tentu saja, hatinya akan damai jika ia berhasil membalaskan dendamnya, yaitu menyiksa gadis ini.
"Kamu salah. Kebahagiaan adalah ketika kamu bisa berbagi kegembiraan dengan orang-orang di sekitarmu, membuat senyuman terbit di wajah mereka. Apa kamu merasa senang akhir-akhir ini? Kurasa tidak, kamu hanya tertekan. Karena itu kamu melampiaskan kemarahanmu pada Ayahmu. Jika kamu bersedia sekali saja jujur pada dirimu bahwa kamu tidak bahagia dan mencoba mencari kebahagiaanmu, aku yakin jawabannya terletak pada keluargamu. Mereka adalah orang-orang yang menyayangimu dengan tulus."
Gadis ini!
Azri geram. Beraninya dia menceramahi bagaimana seharusnya aku hidup! Dia tidak tahu apa pun tentangku. Azri membalas ucapan menyebalkan Widya dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir basah gadis itu sementara seringaian sinis terukir di bibirnya.
"Kamu mencoba berkompromi denganku? Apa ini cara yang diperintahkan pria tua itu untuk mengekangku? Kamu mencoba mengubah jalan pikiranku agar searah dengan jalan pikirannya? Sungguh gadis bermulut manis."
Widya terkejut ketika tiba-tiba saja Azri ******* bibirnya. Ia ingin mendorong tubuh Azri, tetapi kedua tangannya dicekal dengan genggaman yang begitu erat. Ia ingin menjerit, tetapi yang keluar dari mulutnya justru des ahan halus. Ia tidak memahami jalan kerja tubuhnya sendiri. Bagaimana mungkin otaknya menginginkan penolakan, tetapi justru tubuhnya menerima dengan sukarela?
Jika terus seperti ini Widya bisa benar-benar disiksa oleh Azri.
"Kuberitahu," ancam Azri memperingatkan. "Jika kamu sekali lagi menasihatiku harus seperti apa, aku akan menidurimu detik itu juga." la bangkit dari posisinya, berdiri dan berjalan menjauhi Widya.
Widya yang masih merasakan kerja tubuhnya kacau balau memaksa bangkit lalu berteriak, membuat langkah Azri berhenti tepat beberapa langkah di depannya.
"Mengancamku tidak akan mengubah apa pun. Akuilah, hatimu terasa sakit setiap kali kamu mengingkari suara hatimu yang terdalam, bukan? Kamu sebenarnya ingin tahu rasanya menjadi bahagia. Persepsimu tentang kebahagiaan yang sekarang kamu rasakan, tidaklah sama dengan kebahagiaan yang dimaksud isi hatimu sebenarnya!"
Widya tidak peduli jika Azri akan berbalik lalu melepaskan seluruh bajunya dan mereka bermalam bersama di atas ranjang. la tidak tahan lagi menghadapi pria yang terus berpura-pura seperti Azri. Ia tahu sebenarnya, Azri tidak bahagia dengan hidupnya. Semuanya terbaca dari sorot mata setiap kali pria itu melamun.
Azri mengepalkan tangan erat. Ia berbalik dengan wajah yang tenang, bertentangan dengan hatinya yang bergemuruh hebat. la tidak habis pikir dengan gadis yang satu ini. Bagaimana bisa Widya berani membangkitkan seluruh amarah dalam dirinya di saat ia memutuskan untuk melepaskannya?
"Lalu, apa kamu bahagia?" Azri bertanya balik. "Apakah kamu bahagia sudah menukarkan harga dirimu dengan menerima tawaran Ayahku?"
Widya membelalakkan mata. Tiba-tiba saja semua rasa bersalah dan perdebatan tentang tawaran Mahendra, Surat Pernyataan Pindah-Tangan Asset, serta hidupnya yang sebatang kara terngiang jelas di otaknya. Sekujur tubuhnya merinding. Pandangannya pun mengabur. Azri benar, ia memang tidak bahagia dengan menyerahkan harga dirinya sendiri demi sebuah aset Pradipta Group.
"Kamu pikir aku tidak tahu tentang pria tua itu yang menyerahkan satu harta warisan yang seharusnya menjadi milikku padamu?" ucap Azri tajam, memandang Widya dengan penuh kecaman. "Aku sudah menyelidikinya dan aku sadar, satu dari warisan yang seharusnya menjadi milikku sudah berpindah menjadi asset milik orang lain."
Widya merasa kepalanya berat ketika ia memandang Azri. Pria itu pun terluka. Mereka sama-sama terluka karena pernikahan ini.
"Bukankah sudah kukatakan, bagi ayahku pernikahan ini hanyalah bisnis. Dan kamu ...." Azri menunjuk Widya. "Tidak lebih dari lembaran saham baginya."
Widya menatap nanar Azri. Kata-katanya menohok tenggorokannya dengan telak. Ia tidak boleh menangis. Bagaimanapun ia tidak boleh menampakkan sisi lemahnya pada Azri. Pria itu tidak boleh tahu bahwa ucapannya sudah membuat hatinya sakit.
"Kamu sudah membeli saham yang ditawarkan oleh ayahku. Dan jika pria tua itu sudah tidak membutuhkanmu ...." Azri tersenyum sinis. "Kamu akan didepak olehnya jauh-jauh. Aku penasaran apakah kamu masih merasa bahagia setelah tahu sifat egois Ayahku."
Setelah mengatakannya, Azri benar-benar meninggalkan Widya sendirian di ruangan itu. Widya tidak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ia jatuh lemas di lantai dengan air mata meleleh. Ia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit dan sesak.
Tanpa perlu diberitahu pun, Widya memang tidak bahagia dengan semua ini. Tidak, ia merasa tersiksa dengan semua ini. Terlepas apakah Azri benar-benar menyiksanya atau tidak, ia sudah tersiksa dengan fakta bahwa pernikahannya dilandasi oleh perjanjian. la sudah menukar harga dirinya sendiri dengan sebuah asset mewah milik keluarga Azri.
Apakah rencana mengubah pria itu setimpal dengan kebencian yang diterimanya?
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Ririn Nursisminingsih
ayo widya jg lemah kmu
2022-12-17
0
Juno
semangat Widya.. kamu pasti bisa buat Azri bucin jd terwidya-widya
2022-09-23
0