Wangi kue yang baru dipanggang menyebar di apartement Marleen pagi itu. Harumnya berasal dari pie yang baru saja matang dan kini diletakkan gadis cantik bertubuh tinggi itu di atas meja makan. Ia menuangkan kopi ke atas cangkir lalu menoleh pada sesosok pria yang duduk dengan wajah serius di ruang tengah apartementnya.
"Kamu mengerjakan proyek itu lagi?" tanya Marleen sambil merangkul bahu Azri dari belakang.
Azri menjawab santai tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop yang ada di hadapannya.
"Ada seorang pengusaha yang menginginkan software buatanku. Hanya dengan satu penjualan saja, aku tidak perlu bekerja lagi selama enam bulan ke depan."
Orang selalu beranggapan bahwa Azri seorang good for nothing yang hanya bisa menghamburkan uang tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Mereka semua salah besar. Orang kerap berasumsi bahwa bekerja adalah datang ke kantor dengan pakaian rapi dan mengerjakan tugas-tugas di balik meja dan komputer. Itu adalah pola pikir yang sudah ketinggalan jaman.
Azri yang lulusan jurusan IT, dia adalah seorang pembuat software untuk menunjang proses produksi perusahaan-perusahaan besar. Ia hanya membutuhkan satu komputer dan otaknya, tak butuh jas bagus dan sebuah kantor untuk membuat satu software yang bisa memenuhi rekening banknya hanya sekali jual saja. Azri tetap bisa melakukan hal lainnya di waktu senggangnya yang banyak.
"Kamu tahu, terkadang kamu menjadi sangat membosankan jika sudah berkutat di depan komputer."
Marleen memang tidak suka Azri yang berwajah serius ketika bekerja. Ia lebih suka Azri yang romantis dan selalu membuatnya hangat.
Azri menarik Marleen mendekat untuk mengecup bibir gadis itu dengan lembut.
"Hanya satu jam, biarkan aku bekerja selama satu jam setelah itu aku milikmu kembali."
"Kamu yakin?"
"Yup."
"Baiklah kalau begitu."
Marleen ******* bibir Azri sebelum beranjak ke dapur. Dia lalu sibuk membuat sarapan untuk mereka berdua.
Suara dering ponsel memotong konsentrasi Azri. Ia meraba-raba sofa di sampingnya mencari benda nyaring tersebut. Tanpa melihat siapa yang menelepon, dia langsung menekan tombol hijau.
"Iya?"
"Azri." Suara Bibi Swari terdengar nyaring. "Kamu ada di mana sekarang? Bibi mencarimu ke apartemen dan kamu tidak ada di sana."
"Aku ada di rumah teman. Ada apa?" tanyanya tenang. Biasanya Bibi Swari selalu meneleponnya hanya untuk memintanya menjemput putranya dari sekolah.
"Bagaimana ini? Kamu lupa bahwa hari ini kamu akan fitting baju pengantin?"
Azri hampir saja menjatuhkan ponselnya saat mendengar kata 'fitting baju pengantin'. Hari ini ia harus apa? Siapa pula yang membuat rencana itu tanpa memberitahunya? Namun, ia memang tidak peduli sama sekali. Toh mereka mempersiapkan segala keperluan pernikahannya tanpa meminta pendapatnya dahulu.
"Aku tidak harus pergi, bukan? Aku sudah sempurna sampai baju apa pun akan cocok kupakai. Jadi, pilihlah sesuka kalian. Aku tidak ingin terlibat. Sama sekali."
"Kamu tidak boleh begitu. Baju yang akan dipakai olehmu nanti adalah baju custom yang dipesan hanya untukmu, karena itu kamu harus datang untuk melakukan pengukuran."
"Astaga, merepotkan sekali." Azri mengerang kesal. "Aku tidak bisa, aku sibuk."
"Kakekmu akan kecewa jika kamu tidak datang. Beliau ingin melihatmu dan calon istrimu memakai baju itu."
"Kakek bisa melihatnya saat pernikahan nanti."
"Azri El Pradipta." Bibi Swari mengingatkan dengan sabar. "Ayah ingin melihatmu memakai baju itu sekarang."
Nadanya memang tenang, tetapi sarat akan ancaman. Azri memaki dalam hati.
"Baiklah! Aku akan segera tiba di sana satu jam lagi. Sebutkan saja di mana tempatnya!"
Bibi Swari menyebutkan sebuah tempat yang terdengar tidak asing di telinga Azri. Kepalanya berputar ke arah Marleen sejenak lalu kembali melanjutkan obrolan dengan Bibi Swari. Begitu pembicaraan berakhir ia melempar ponselnya dan sibuk mengerjakan tugasnya. Begitu pekerjaannya rampung, ia bergegas merapikan laptopnya lalu bangkit.
"Buru-buru sekali," ucap Marleen ketika mengamati Azri yang terburu-buru mengenakan jasnya. Dari gelagatnya sudah dipastikan pria itu tidak akan sempat menikmati sarapan.
"Bibi menelepon dan menyuruhku pergi ke suatu tempat." Azri mendekati Marleen untuk memberinya ciuman sekali lagi sebelum pergi. "Terima kasih untuk semalam." Azri mengedipkan mata.
Marleen tersipu malu. Bisikan manis itu membuatnya lupa pada protes yang ingin dikatakannya bahwa Azri tidak boleh pergi sebelum menikmati sarapan dengannya. Namun, hatinya luluh. Dengan mudah. la lalu melambaikan tangan saat Azri meninggalkan apartementnya.
***
Widya duduk di sebuah lounge indah di dalam butik gaun pengantin yang paling besar yang pernah ia masuki. Dilihat dari betapa mewahnya tempat yang ia singgahi sekarang, pastilah gaun-gaun di sini berharga mahal. Tentu saja, kemewahan semacam ini merupakan nilai standar bagi kaum jetset seperti keluarga Pradipta.
"Kak, kamu ingin cokelat?" tawar Zavir, anak dari Swari, wanita anggun yang menemaninya mencoba gaun pengantin hari ini.
Mereka berkenalan pagi tadi. Widya cukup terkejut ketika seorang wanita yang mengaku sebagai bibi Azri tiba-tiba saja menemuinya dan mengajaknya pergi untuk mencoba baju. Setelah mereka bercakap-cakap, Swari langsung menyukainya seperti halnya Mahendra.
"Terima kasih, ini sangat membantu, kudengar cokelat bisa mengobati rasa gugup."
Widya menerima cokelat yang diulurkan Zavir dengan senang hati lalu memakannya perlahan. Ia memang merasa sangat gugup karena tak lama lagi ia akan berhadapan kembali dengan Si Pangeran Arogan dari keluarga Pradipta.
Dalam hati ia bertanya-tanya seperti apa gaun yang akan dikenakannya nanti dan bagaimana penampilannya. Yang lebih membuatnya gugup adalah, ia tidak bisa membayangkan betapa mempesonanya Azri saat mengenakan jas pengantinnya.
Hush! Berhenti terpesona pada pria itu! Azri hanya bagus visualnya saja. Widya menggelengkan kepala. Ia mendengar ponselnya berdenting.
Sejak tadi Bella tak henti-hentinya mengirimkan pesan singkat untuk menyemangatinya. Sahabatnya itu sangat antusias dengan segala persiapan pernikahannya.
[Jangan lupa kirimkan fotomu saat mengenakan gaun pengantin itu dan calon suamimu!]
Widya mengeraskan rahangnya begitu membaca pesan Bella. Ia mengetik cepat balasannya sambil menggerutu pelan.
[Calon suami apanya? Pria berwajah kesemek masam itu hanya bisa mendengkus dan mencibir setiap kali menatapku]
Pesan itu pun terkirim dan ia menunggu jawaban dari Bella dengan tidak sabar.
[Kesemek masam? Hahahah ... hati-hati Widya, jangan pernah balas mencibir sesuatu jika kamu tidak yakin tidak akan jatuh cinta pada hal itu]
[Apa maksudnya? Aku tidak akan jatuh cinta pada Azri!]
Satu menit kemudian balasan dari Bella tiba.
[Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, bukan? Siapa tahu setelah menikah kamu akan mengubah pendapatmu soal Azri]
Itulah pesan terakhir yang Widya terima dari Bella karena setelahnya, ia tidak bisa membalas pesan singkat Bella lagi. Bibi Swari masuk bersama seorang pria tampan yang ia tahu adalah Azri El Pradipta.
Widya refleks berdiri dari duduknya dan jantungnya berdebar kencang. Pria itu tetap memberikan pandangan dinginnya, tetapi bagaimanapun tetap mempesona. Ekspresi yang sangat ia benci.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
susi 2020
😍😍😘🥰
2023-04-06
0
susi 2020
😍😘🥰🙄
2023-04-06
0