Cuaca malam yang sejuk tak membantu memperbaiki suasana hati Azri. Dengan perasaan keruh ia mengemudikan Ferarri-nya membelah jalanan padat. Ia masih terngiang dengan pertemuannya dengan gadis aneh yang menjatuhkan modul Pradipta Group. la meraba bibirnya sendiri dengan sebelah tangannya, tanpa sadar geraman halus keluar dari celah bibirnya setiap ingat hal itu.
"Gadis itu harusnya senang, mengapa dia malah menamparku? Dia pasti tidak pernah berkencan seumur hidupnya. Yah, itu sudah sewajarnya jika mengingat sikapnya yang buruk. Tapi lihat, dia bahkan berani mengancamku," gerutunya.
Omong kosong, menjebloskanku ke penjara? Gadis bernama Widya Lovarza Anindita itu pasti tidak akan berani jika dia memang masih memiliki akal sehat.
Mendadak saja Azri penasaran dengan alasan gadis itu mencarinya. Ditambah ditemukannya buku dengan logo Pradipta Group. Apa mungkin ayahnya benar-benar ingin ia diawasi?
"Tidak mungkin." Azri berdecak tajam, "Awas saja jika pria tua itu mulai ikut campur urusanku lagi."
Tiba-tiba ponselnya berdering. Azri memasangkan airpod ke telinganya lalu mulai berbicara. Ia khawatir jika yang menghubunginya adalah bibinya. Dugaannya benar, suara adik perempuan ayahnya itu terdengar di ujung telepon.
"Azri, kamu ada di mana sekarang? Kenapa tidak datang untuk makan malam? Ada yang ingin dibicarakan oleh ayahmu."
"Aku tidak perlu repot-repot datang ke sana hanya untuk mendengarkan khutbah pria tua itu, kan? Bibi katakan saja sekarang. Paling tidak aku membiarkan telingaku mendengarnya."
"Anak ini masih belum berubah juga," suara Bibinya terdengar pasrah. “Tidak mungkin aku mengatakannya lewat telepon. Sekarang datanglah, kakekmu juga ada di sini.“
"Kakek? Sial!" umpat Azri refleks.
Apabila kakeknya sudah ada di sana, bisa mati ia jika tidak datang. Ia mungkin menghindari ayahnya, tetapi tidak dengan sang kakek yang memegang kuasa penuh atas seluruh aset keluarga Pradipta. Walaupun sekarang status kepala keluarga dipegang Mahendra El Pradipta, kata-kata sang kakek masih dianggap sakral sampai Azri pun tidak mau sampai bermusuhan dengannya.
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan ke sana.” la membatalkan niatnya kembali ke apartemen dan memutar setirnya menuju ke rumah utama keluarga Pradipta.
***
Rumah megah dengan taman bergaya tradisional itu tidak terlihat berubah sejak Azri meninggalkannya tiga tahun yang lalu. Setelah kembali dari luar negeri pasca mengambil pendidikan master, ia menolak untuk tinggal di bawah atap bersama Ayahnya lagi dengan dalih dirinya sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri.
Alasan sebenarnya Azri hanya tidak mau diatur oleh Ayahnya yang konservatif itu. Ibunya sudah meninggal sebelum Azri pergi ke luar negeri untuk kuliah. Sejak itu pula baginya tinggal di rumah sudah tidak ada artinya lagi. Ia lebih suka tinggal sendiri di apartement mewah seperti yang teman-temannya lakukan.
"Akhirnya kau tiba juga." Maheswari, bibinya yang merupakan adik perempuan Ayahnya datang menyongsong ketika ia tiba.
Sebenarnya Azri merasa kurang nyaman, tetapi ia membiarkan saja ketika Bibi Swari memeluknya lalu menarik tangannya duduk bersama anggota keluarga lain di balik meja makan.
"Selamat malam. Kakek, Ayah." Azri menyapa kakek dan Ayahnya.
"Paman tidak menyapaku?"
"Zavir, bicara yang sopan pada Kakakmu."
Perhatian Azri teralih pada sosok anak kecil berusia delapan tahun yang duduk di kursi samping Bibi Swari. Anak laki-laki bibinya itu memang kerap kali bersikap usil dan Azri masih tidak suka dengan cara bocah itu memanggilnya 'Paman'.
"Bocah, aku bukan pamanmu. Jadi panggil aku kakak!" tegas Azri sambil membelalakkan mata.
"Tidak mau." Zavir memeletkan lidahnya. Azri hanya mendengkus jengkel lalu memutuskan duduk di kursi yang bersebrangan dengan ayahnya.
"Bagaimana harimu?" tanya pria tua yang duduk di kepala meja dengan rambut yang sudah memutih, dialah kakek Azri.
"Sama seperti biasanya." Azri tersenyum kecut karena harus berakting di depan kakeknya. Di hadapannya, Azri harus terlihat seperti cucu yang berbakti.
"Ayahmu berkata kau sangat senang dengan posisimu sebagai General Manager di perusahaan."
Azri terkejut dengan pernyataan yang datang entah dari mana itu. Ia lantas mendelik tajam pada Ayahnya yang pura-pura tidak peduli.
Dalam hati ia mendesis jengkel, "Pria tua ini, sejak kapan aku setuju bekerja di perusahaanya?" Azri menoleh kembali pada kakeknya dan memperlihatkan senyum yang dibuat-buat.
"Tentu saja. Kakek tahu, berbisnis adalah duniaku."
Jelas-jelas Azri berbohong, tetapi kakek yang terlanjur senang hanya mengangguk bangga. Azri mendengkus. Sejak kapan ia suka berbisnis? Ia mengingatkan diri setelah makan malam ini ia akan melayangkan protes pada pria tua yang ia sebut Ayah.
Ayah tahu kelemahan terbesar dirinya adalah kakeknya dan sengaja memanfaatkannya. Azri sangat takut dan menghormati tetua keluarga Pradipta itu. Sungguh tidak bisa dipercaya Ayahnya akan menggunakan kakek untuk mengendalikan dirinya.
"Itu awal yang bagus untukmu. Ayahmu tidak mungkin selamanya memimpin perusahaan. Harus ada pengganti dan kau bisa belajar memimpin dari posisi General Manager."
Azri tidak suka berkecimpung dalam bisnis keluarga, baginya bekerja di balik meja kantor sama membosankanya seperti pelajaran kimia. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk bekerja mandiri. Namun, lihat yang dilakukan pria tua itu, batin Azri geram. Dia tak pernah menyerah menarikku masuk ke Pradipta Group.
"Baik, Kakek." Azri mengangguk. Diam-diam ia merutuk tanpa suara.
Mahendra berdeham, membuat semua orang mengalihkan perhatian padanya.
"Aku ingin mengumumkan sesuatu."
Azri penasaran hal apa yang akan dikatakan pria itu. Ia bersiap mencibir apa pun yang akan dikemukakannya nanti. Ayahnya itu memandangi semua orang yang duduk di meja makan satu persatu dengan wajah serius. Entah mengapa ia memiliki firasat ayah akan menjatuhkan bom.
"Tak lama lagi, Azri akan menikah."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
susi 2020
🥰🥰😍😍😘
2023-04-06
0
susi 2020
🙄🙄🙄
2023-04-06
0