"Tuan. Gawat!" Nick berlari memasuki ruang rapat yang saat itu tengah ramai.
Mengetahui dirinya jadi pusat perhatian, Nick pun berusaha sedikit lebih tenang menghampiri tuannya. Ia berdehem, mengangguk kecil kepada para pe-meeting untuk meminta maaf. Kakinya lantas mendekati Gibran yang duduk di ujung meja, menatapnya tanpa ekspresi.
Ia mencondongkan tubuh untuk berbisik, "Tuan, Nyonya menghilang."
Hening. Nick menjauh, mencoba mengamati reaksi Gibran yang rupanya tak ada perubahan. Pria itu masih tetap tenang bersandar di kursinya.
Namun sejurus kemudian Gibran berdiri, menjeda rapatnya sebentar lalu mengajak Nick keluar.
"Apa maksudmu?" tanya Gibran saat mereka sedikit menjauh dari pintu ruang rapat.
"Saya mendapat telpon dari Marta. Kabarnya Nyonya menghilang, tepat setelah mengantar kepulangan Tuan Tjandra."
"Beliau meminta jalan-jalan sebentar tanpa ditemani."
Gibran terdiam. Memasukkan tangannya ke dalam saku. Matanya mengarah pada jendela raksasa, menatap ke luar.
"Sudah cek CCTV?"
Nick menjawab, "Sudah. Terakhir Nyonya terlihat di koridor bagian barat. Selebihnya saya tidak tahu karena beberapa CCTV di sana rusak dan belum diperbaiki."
Gibran menoleh. "Belum diperbaiki?" Keningnya berkerut, pun suaranya mengandung ketidakpuasan.
Nick menunduk, "Benar, Tuan. Maafkan saya."
Ia benar-benar telah lalai menjalankan tugas. Seharusnya, setelah mengetahui CCTV itu rusak tepat kemarin hari, ia langsung menggantinya dengan yang baru.
"Lantas apa yang kamu lakukan? Tunggu apa lagi? Kerahkan semua penjaga untuk menyisir seluruh bagian rumah." Gibran menatap tajam Nick.
"A-Ada masalah lain, Tuan." Nick berujar gugup.
"Apa lagi?"
"Moru lepas dari kandang," cicitnya.
***
Di tempat lain, suasana mansion Gibran tampak sangat sibuk. Para pelayan dan penjaga hilir mudik mencari Maria. Mereka berlarian dengan waspada karena peliharaan buas milik Gibran kabarnya lepas dari kandang. Petugas yang bersangkutan sedang berupaya menemukannya.
"Sudah kubilang, ide membiarkan Nyonya berjalan-jalan sendiri bukanlah hal yang baik. Terakhir kali Nyonya hampir mati karena tenggelam. Dan kamu lihat sekarang, Nyonya tidak bisa ditemukan." Marta tampak menggusari Laura yang hanya bisa diam membatu.
Tidak ada yang tahu jantung gadis itu bertalu berat. Ia sangat khawatir dan merasa bersalah. Apa yang dikatakan Kepala Pelayan benar. Seharusnya ia tetap mendampingi Maria karena sang nyonya belum tahu betul seluk beluk kediaman.
Belum lagi, kabar harimau putih kesayangan tuannya yang lepas semakin menambah keresahan. Mereka tidak bisa totalitas melakukan pencarian karena takut bertemu hewan buas satu itu.
Laura tak bisa menahan air matanya kala pikiran-pikiran buruk merasuki otak serta pikirannya. Bagaimana kalau ternyata Maria bertemu harimau? Bagaimana kalau sang nyonya terluka? Bagaimana kalau ...
Tidak. Laura menggeleng. Ia tidak berani dan tidak sanggup memikirkan kemungkinan lain yang lebih dari itu. Ia berharap besar pada Tuhan, semoga Maria mendapat lindungan di mana pun dan dalam kondisi apa pun.
"Siapkan semua drone yang kita punya. Kita akan pantau dari atas."
Suara berat nan dingin yang familiar itu membuat Laura, Marta, serta beberapa pelayan lain menoleh. Gibran berjalan dari pintu masuk bersama Nick dan lima orang pengawal yang mengikutinya di belakang.
Seketika semuanya menunduk. Tak ada yang berani mengangkat kepala saat pria itu lewat di depan mereka. Apalagi mereka sadar mata Gibran sempat menyipit tajam.
Marta menoleh, melirik semua pelayan yang bekerja di bawah bimbingannya. Gibran dan rombongannya sudah berlalu, kemungkinan besar menyasar ruang CCTV yang ada di ujung timur.
"Sementara ini kita bisa bebas, tidak ada yang tahu hukuman apa yang nanti akan Tuan berikan. Kalian bersiaplah." Marta menatap anak buahnya, terutama Laura yang menurutnya memiliki andil besar dalam hal ini. Betapa tidak, Laura yang tadi bersikeras membiarkan Maria pergi sendirian.
Di samping kesibukan penghuni mansion, Maria justru meringkuk di balik salah satu pagar hidup yang melekuk, berusaha menyembunyikan tubuhnya dengan memeluk lutut.
Tubuhnya bergetar dan menggigil. Tangannya membekap mulut, takut mengeluarkan suara meskipun kecil. Sebuah keajaiban ia bisa selamat dari kejaran harimau. Maria mengalihkan perhatian hewan itu dengan melempar sandal yang dipakainya ke arah lain, lalu pergi menjauh dengan pelan tanpa suara.
Dan sekarang, ia hanya bisa diam membeku, tak tahu harus melakukan apa. Rasanya mustahil ia bisa keluar dari labirin ini. Terlebih nafasnya sudah mulai sesak.
Terang saja, entah berapa jam Maria meringkuk di sana dan menahan nafas. Ia bernafas dengan sangat hati-hati. Pendengaran harimau sangat sensitif, mereka bahkan bisa mendengar suara gesekan kain yang kita kenakan.
Maria frustasi, ia menyerah. Untuk saat ini ia hanya bisa mempertahankan hidupnya dengan cara seperti itu. Entah sampai kapan ia bisa bertahan. Udara semakin dingin di samping langit yang mulai gelap. Maria tidak tahu apakah itu kumulus berupa air hujan atau hari memang sudah sore. Maria sudah sangat lelah untuk sekedar berpikir.
Perlahan matanya memejam. Kantuk mulai terasa berat untuk ia tahan. Pendengarannya pun mulai kabur. Kulitnya seakan mati rasa, persendiannya pun terasa kaku. Dadanya semakin engap dengan nafas terengah.
Maria sudah tidak peduli dengan kemungkinan harimau itu datang lalu menerkamnya. Ia benar-benar kesulitan mengambil oksigen. Tubuhnya menggigil kedinginan. Mendadak Maria menyesal hanya mengenakan dress tanpa mantel sebelumnya. Siapa yang akan menyangka keadaannya akan jadi seperti sekarang.
Seiring lambat laun kesadarannya yang menipis, samar-samar Maria mendengar suara langkah mendekatinya. Apakah itu harimau? Tuhan, jika ajalnya memang sudah dekat, tolong sampaikan salam pada Rayan, katakan bahwa Maria sangat mencintainya.
Sesuatu mulai menyentuhnya. Refleks tubuhnya sedikit terlonjak dan mengkerut. Maria mendongak dan bersiap menjerit sekeras-kerasnya saat kemudian yang ia lihat justru wajah kaku dan beku serta mata sipit yang tajam.
Gibran mengangkat jari telunjuknya ke depan bibir sebagai isyarat agar Maria tetap diam. Pria itu bergerak hati-hati mengikis jarak. Sejenak rautnya terpaku saat kulit mereka bersentuhan. Ternyata Gibran merasakan tubuh Maria yang sedingin es.
Ia segera melepas mantel dan menyelimuti wanita itu. Maria yang lemas dan kurang responsif hanya menurut. Termasuk saat pria itu merangkulnya ke dalam pelukan.
Suara auman yang kemudian perlahan menghilang membuat Gibran berpikir orangnya sudah berhasil mengamankan Moru— harimau putih peliharaannya.
Ia lantas menunduk menatap Maria yang terkulai lemas dalam pelukannya. Tubuh wanita itu sangat kaku. Kulitnya pun terasa dingin menusuk Gibran. Mata itu berkedip pelan, perlahan membuka hingga membuat mereka bertemu pandang.
Nafas Maria melemah, tatapannya pun terlihat sayu. Ia sudah tak memiliki tenaga saat tiba-tiba saja wajah Gibran mendekat.
Maria tidak tahu apa yang hendak pria itu lakukan. Yang ia ingat, sejurus kemudian bibirnya dilingkupi kehangatan yang mengalir ke seluruh saraf hingga persendiannya yang terasa beku.
Pagutan itu terasa nyata. Namun, keadaannya yang setengah sadar membuat Maria berpikir ia sedang bermimpi. Mungkin sebentar lagi ia akan mati, makanya ia bisa melihat dan merasakan hal yang mustahil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
ohhh si moru Namina harimau itu....
Ghibbbb gaskeun pulang gihhh istrimu yang slalu penasaran dalam bahaya.....
2023-09-04
0
Ntris Trisnawati
selamat dari terkaman Moru, berakhir di pelukan Gibran 😍
Maria menang banyak .
2023-07-19
2
Bzaa
wow.... mulai ada yg bucin romannya
2023-07-13
3