Mata itu mengerjap pelan. Keningnya berkerut samar saat seberkas cahaya menyusup menimpa pelupuknya. Pandangan yang semula buram perlahan mulai jelas. Maria berkedip menatap langit-langit kamar di atasnya.
Apa ini Surga? Kenapa rasanya familiar?
Semua pertanyaan itu terjawab saat sesosok wajah tiba-tiba muncul menghalangi atensinya. Maria terhenyak, tentu ia mengenali raut beku yang selalu mengintimidasi itu.
Lamat-lamat ia berkedip berusaha memperjelas penglihatan. Ternyata ini kamarnya di rumah Gibran. Rupanya ia masih hidup.
"Kamu berharap berada di Surga setelah dengan konyolnya berusaha menghilangkan nyawa?" ucap sosok itu, dingin.
Benar. Dia adalah Gibran, suami dadakan yang hampir dua hari ini tak ia lihat batang hidungnya.
Pria itu berdiri bersidekap di samping ranjang. Matanya menghunus tajam pada Maria yang baru tersadar.
Maria menelan ludah. Tak ayal ia gugup bukan main. Ini kali kedua mereka saling bertatapan setelah di altar pernikahan.
"Ko-Koko ..." lirih Maria serak.
Gibran melengos memalingkan muka. Ia melirik ke sebelahnya, memberi isyarat pada Marta melalui lirikan mata.
Marta yang mengerti dengan sigap mendekati Maria. Ia mengulurkan tangan, meraih bahunya dengan maksud membantunya untuk duduk. Lantas ia mengambil gelas berisi air putih di nakas.
"Minum dulu, Nyonya," ucapnya lembut.
Maria menerima gelas itu dan meneguk isinya hingga tersisa setengah. Sesekali keningnya berkerut saat rasa perih menyerang hidung serta tenggorokan.
Sungguh tidak nyaman. Terlebih kepalanya pening dan berat, seolah ada batu besar yang menindihnya dengan berat berton-ton.
Gibran yang melihat itu kontan mendengus samar. Sementara di tempatnya, Maria menunduk tak berani menatap Gibran. Tangannya saling meremas gugup. Baru beberapa hari tinggal, ia sudah membuat kekacauan.
Tapi sungguh, kejadian kemarin bukan atas keinginannya. Ia pun tak menyangka akan jatuh ke dasar kolam dari lantai dua.
"A-Aku ..."
"Panggil dokter untuk memeriksanya lagi," sela Gibran memotong perkataannya.
Marta mengangguk patuh. "Baik, Tuan." Lantas ia pergi keluar kamar. Meninggalkan Maria yang kewalahan di bawah tatapan Gibran.
Pria itu menatapnya datar, tanpa ekspresi seperti biasa. Keduanya sama-sama bungkam. Gibran yang tak kunjung membuka suara, sementara Maria tak berani berbicara.
Dengan canggung Maria melarikan kepalanya ke arah jendela. Menatap langit jingga dengan warna kemerah-merahan yang cerah.
Indah sekali. Maria sampai dibuat terkagum dan lupa akan keberadaan Gibran untuk sementara.
Tanpa ia ketahui lelaki itu menatapnya lekat. Sorotnya yang tajam seolah hendak menembus kepala Maria dengan peluru khusus bernama ancaman.
Hingga tak lama Marta kembali bersama seorang wanita paruh baya berpakaian kasual. Namun, Maria bisa menebak bahwa wanita itu adalah dokter yang tadi dimaksud Gibran. Ia membawa stetoskop di lehernya.
Maria diam membiarkan dokter itu memeriksanya. Rautnya yang keibuan mampu meluruhkan sedikit rasa tegang dalam diri Maria yang disebabkan oleh Gibran.
Bagaimana tidak, keberadaan Gibran seorang mampu membekukan seluruh isi ruangan.
"Bagaimana, Dokter?" tanya Marta.
Dokter itu tersenyum. "Nyonya baik-baik saja. Ia hanya syok karena jatuh dari ketinggian. Tak lama juga akan pulih kembali."
Marta mengangguk, tersenyum lega. "Syukurlah."
"Untung beliau langsung diselamatkan begitu memasuki air. Jika tidak, kemungkinannya akan jauh lebih buruk dari ini."
"Benar. Tuan menyelamatkan Nyonya tepat waktu," ucap Marta.
Sontak Maria menoleh pada wanita itu. Apa maksud dari perkataanya barusan? Tuan? Siapa Tuan yang dimaksud? Gibran? Masa iya Gibran yang menyelamatkannya.
"Kalau begitu, saya sudah bisa pulang, 'kan?"
"Oh, tentu tentu. Anda sampai menginap di sini karena kekhawatiran kami. Maaf jika pelayanan kami kurang berkenan bagi Anda."
Dokter itu tersenyum teduh. "Sama sekali tidak. Saya tidur dengan nyaman di sini."
Marta mengangguk, balas tersenyum. "Mari, Dokter. Saya antar ke depan."
Mereka pun keluar setelah dokter itu memastikan keadaan Maria sekali lagi. Tentu hal tersebut membuat Maria kembali canggung. Gibran tak ubahnya patung yang hanya berdiri tanpa mengeluarkan suara.
"Kenapa? Kamu kecewa?" tanya pria itu tiba-tiba.
Maria tersentak. Refleks ia mendongak. "Kenapa?"
Hening sesaat. Keduanya saling melempar tatap dalam arti masing-masing. Maria mengernyit saat melihat Gibran berbalik hendak meninggalkannya.
Dasar aneh.
"Jangan pernah berpikir untuk bunuh diri di sini. Kalau kau ingin mati, setidaknya cari tempat lain," ucapnya lantas pergi begitu saja.
Apa?
Maria terbengong, menatap punggung Gibran yang menghilang ditelan pintu.
"A-Aku tidak berniat bunuh diri. Memangnya siapa yang ingin jatuh seperti itu?"
Maria kesal. Bisa-bisanya Gibran berpikir sempit dan menuduhnya sepihak. Ternyata pria itu memang jauh lebih menyebalkan dari yang ia kira.
***
"Nyonya, saya bawakan makan siang."
Laura masuk dengan satu troli penuh hidangan. Maria memutar mata. Berapa kali ia bilang jangan memasak berlebihan. Ujung-ujungnya tidak termakan dan malah dibuang.
"Nyonya, ini perintah Tuan. Siapa kami yang bisa menentang?" ucap Laura saat ia melemparkan protes.
Ya sudah lah. Lagi pula ini bukan urusan Maria. Yang rugi juga bukan dirinya, melainkan Gibran.
Selepas makan siang Maria meminum obat. Keadaannya sudah lebih baik ketimbang saat baru membuka mata tadi. Rasa peningnya mulai berkurang. Maria bersyukur tidak ada tanda-tanda ia akan demam. Bisa repot kalau sampai ia tumbang.
"Laura."
"Iya, Nyonya." Laura menyahut sembari membereskan piring bekas ia makan.
Laura juga ikut makan karena Maria yang memaksa.
"Ko Gibran kapan pulang? Bukannya Bu Marta bilang masih dua hari lagi?"
"Kemarin pagi agak siangan, Nyonya. Memangnya Nyonya tidak mendengar suara helikopter? Tepat beberapa saat beliau memasuki mansion, beliau tiba-tiba muncul membawa Anda yang sudah basah kuyup."
"Anda pingsan saat itu. Tuan bilang Anda tenggelam di kolam. Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Ini semua gara-gara saya. Andai saya tidak meninggalkan Nyonya sendirian, kejadiannya pasti tidak akan seperti ini. Saya benar-benar minta maaf, Nyonya." Laura terisak dengan kepala menunduk.
Maria menggeleng tak habis pikir. Kenapa jadi gadis itu yang malah menangis.
"Laura. Hey ..."
"Berhenti menangis. Ini semua bukan kesalahanmu. Ini murni kesalahan saya. Kamu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian itu. Saya yang salah. Lagian, kan saya sendiri yang menyuruh kamu ke dapur mengambil camilan."
"Tapi tetap saja saya bersalah. Saya terlalu lama meninggalkan Nyonya. Kalau saja saya cepat-cepat kembali, Nyonya pasti tidak akan nekat seperti kemarin."
Laura mengatakan itu dengan tanpa beban. Ia tak menyadari raut Maria sudah berubah datar.
"Laura. Apa kamu juga mengira saya melakukan percobaan bunuh diri?"
Ia benar-benar tak habis pikir. Rupanya bukan hanya Gibran, tapi Laura juga. Jangan-jangan, semua penghuni mansion ini berasumsi bahwa Maria memang berniat menghilangkan nyawanya sendiri kemarin.
Laura mendongak dengan wajah sembab. "Memangnya bukan?"
"Kalau saya bilang bukan, apa kamu akan percaya?"
Laura berkedip. "Sulit untuk percaya. Karena selama di sini Nyonya kelihatan tidak bahagia."
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Erfiana ana
sudahlah irit bicara itu si Koko Koko, mikirnya pun kejauhan😅
2025-01-22
1
𝐋α◦𝐒єησяιтꙷαᷜ 🇵🇸🇮🇩
terlihat tidak bahagia, blom pasti kan?
2023-09-01
0
epifania rendo
semua orang pasti salah paham 😄😄
2023-08-09
1