"Nyonya, kenapa tidak naik lift saja?" tanya Laura seraya berjalan mengikuti Maria, menuruni tangga.
"Kenapa harus naik lift? Laura, kita hanya turun satu lantai, bukan lima lantai."
Laura mengerucut, diam-diam ia bergumam. "Satu lantai. Tapi tinggi setiap lantai di sini dua kali lipat dari tinggi rumah pada umumnya."
"Kamu mengatakan sesuatu?"
"Tidak."
"Iya. Kamu bilang sesuatu tadi. Katakan, apa itu?"
Alih-alih menjawab, Laura justru cepat-cepat mendekati Maria, mendekatkan wajahnya ke samping telinga sang nyonya. "Nyonya, ada Tuan," bisiknya.
Kontan langkah Maria terhenti, pun begitu dengan Laura. Maria mengikuti arah pandang pelayan itu yang mengarah ke bawah tangga.
Astaga, padahal ia sudah memilih tangga ketimbang menggunakan lift karena tidak ingin bertemu Gibran. Tapi mereka justru malah dipertemukan di sini.
Kenapa pula Gibran harus lewat tangga juga?
Tubuhnya seketika menegang seiring langkah Gibran yang kian mendekat. Sejenak matanya mengedar sembarang, menatap apa saja asal bukan Gibran. Lantas berdehem saat harum maskulin itu mulai memasuki indera penciuman. Apa boleh buat, ia harus menyapa, bukan?
"Ehm. Pa-Pagi, Ko ..."
Gibran tak membalas sapaannya. Pria itu melengos begitu saja melewati ia dan juga Laura yang menunduk hormat.
Ya Tuhan, Maria belum pernah bertemu orang sesombong Gibran.
Nick yang mengikuti di belakang pria itu, meringis kecil. Ia melempar senyum, menyapa Maria dengan sopan sebelum berlalu menyusul sang tuan.
Sabar, Maria. Positif thinking saja. Mungkin pria itu bisu dan tuli.
"Sialnya dia suamiku."
"Ya? Nyonya mengatakan sesuatu?" tanya Laura yang tidak begitu jelas mendengar perkataan Maria.
"Tidak," jawab Maria seraya melanjutkan langkah.
Laura memiringkan kepala, menggaruk pelipisnya tak yakin. Jelas-jelas ia mendengar Maria berbicara.
"Laura!"
"I-Iya, Nyonya!"
Laura sedikit berlari menuruni tangga, menyusul Maria yang berjalan sedikit menghentak seolah menahan kesal.
Sementara di atas sana, suara gemuruh terdengar cukup nyaring hingga menarik perhatian seluruh penghuni mansion. Termasuk Maria yang langsung menghentikan langkah dan mendongak dengan tatapan heran bercampur was-was, mencari-cari asal suara kendati yang didapati hanya langit-langit ruangan.
Lambat-laun suara itu semakin jelas, dan ia tahu itu berasal dari luar. Ia menoleh pada Laura dan melempar tatapan tanya. Bukannya memberi jawaban atas rasa penasarannya, Laura justru melempar balik raut heran itu padanya. Dengan kata lain gadis itu juga tak tahu.
Maria memutar matanya malas, ia memutuskan mengikuti beberapa pelayan yang dilihatnya berlarian ke arah bagian utara Mansion. Tentu saja Laura juga mengekori. Gadis itu sudah seperti perangko jika di siang hari.
Sesampainya di sana, angin kencang langsung menamparnya begitu salah satu pelayan menggeser pintu penghubung yang ternyata mengarah pada sebuah lapangan luas yang diperkirakan memiliki ukuran berhektar-hektar.
Astaga, apa Gibran berniat menampung seluruh warga Nusantara dengan hunian sebesar ini?
Sebuah helikopter mendarat di sana. Terlihat agak kecil karena jaraknya cukup jauh di tengah lapang. Namun, Maria merasa tidak asing dengan rupa kendaraan itu. Benar, ia mengenali desain, warna, maupun logo pada badannya yang mengkilap mewah.
Juga seseorang yang tak lama kemudian terlihat turun menginjakkan kakinya di rerumputan.
Maria berkedip, setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang itu membuka kacamata hitamnya untuk kemudian ia selipkan di sela kancing kemeja. Pandangannya mengedar sebentar. Hingga matanya berhenti ke arah para pelayan yang berbaris di koridor, tepat di mana Maria berdiri sekarang.
"Nyonya, sepertinya kita kedatangan tamu," bisik Laura yang sama sekali tak ia gubris.
Maria merasa matanya memburam. Ia tak bisa mencegah rasa haru yang muncul ke permukaan. Sapaan hormat para pelayan yang baru menyadari keberadaannya ia abaikan. Fokusnya hanya satu. Yaitu seseorang yang kini tampak berjalan di kejauhan sana, melebarkan senyum melambai padanya.
Maria terseguk kecil, sebelum kemudian ia berteriak, berlari menghampiri seseorang itu.
"PAPAAA ...!!"
Maria tak peduli suaranya terdengar parau. Yang ia tahu, ia ingin memeluk lelaki yang saat ini tengah merentangkan tangan menyambutnya.
Ia terus berlari ke tengah lapangan. Rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Disaksikan para pekerja Mansion, Maria melemparkan dirinya ke pelukan pria itu. Rayan Adibrata Tjandra, sang ayah yang balas memeluk sama eratnya. Menciumi rambutnya dan memberi kecupan bertubi-tubi di atas kepala.
"Hello, Sweetheart," ucap Rayan.
Pertahanan Maria semakin runtuh kala mendengar suara yang sangat ia rindukan. Ia menangis di hadapan Rayan. Rayan pun hanya tersenyum kecil. Sebagai seorang ayah ia mengerti perasaan putrinya.
"Maaf, baru mengunjungimu sekarang. Kamu tidak mengalami kesulitan kan selama di sini?"
Maria tak menjawab, tangannya mengerat di pinggang Rayan. Meski sudah berumur, tubuh Rayan masih bugar dan tanpa lemak. Terang saja, ayahnya itu sangat gemar berolahraga dan makan makanan sehat. Sangat berbeda dengan Maria yang pemalas dan kerap mengeluh jika berkeringat sedikit saja. Ia juga sering makan junk food. Beruntung ia tidak gendut, tubuhnya masih kurus meski suka jajan.
"Berhentilah menangis. Papa jadi merasa kembali ke masa di mana kamu masih berumur 5 tahun."
Maria tak peduli dengan perkataan ayahnya yang mengandung ejekan. Ia tetap larut dalam tangisan, menumpahkan segala sesak yang mengganjal selama ia tinggal berjauhan dengan pria itu.
Maria terbiasa hidup berdua dengan sang ayah. Sejak ibunya meninggal, hanya Rayan yang ia punya.
"Kangen ..." rengek Maria dengan suara parau yang terbenam oleh himpitan dada bidang Rayan.
"Papa lebih kangen, Sayang. Kamu tahu itu."
Keduanya larut dalam suasana haru. Tak peduli suara bising helikopter juga angin yang ditimbulkannya. Mereka saling melepas rindu setelah beberapa lama tak bertemu.
Rupanya hal itu juga mengalir pada para pekerja dan pelayan yang melihat, terutama Laura yang memang sejak awal lebih dekat dengan Maria.
Sementara di balkon lantai atas, Gibran menyaksikan semua itu dengan datar. Tak ada riak setitik pun yang ia tunjukkan di wajahnya. Di belakangnya, Nick setia berdiri menemani. Matanya sama menatap ke bawah.
"Tuan tidak ingin menyambutnya?" tanya Nick sedikit melirik Gibran.
Bukan tanpa alasan ia bertanya seperti itu. Bisa dikatakan status Rayan Adibrata sekarang adalah mertua Gibran.
Gibran tak menjawab. Mulutnya bungkam seperti biasa. Tangannya menyusup di dalam saku. Pembawaannya yang tenang dan tanpa ekspresi meski berhadapan dengan hal mengesalkan sekali pun, seringkali membuat Nick mengira bahwa pria itu sudah kehilangan perasaannya.
"Tidak perlu. Siapkan saja mobil. Kita berangkat sekarang," ujarnya sebelum berbalik dan melangkah melewati Nick. Meninggalkan segala kegaduhan yang terjadi di belakang rumahnya.
Nick tak ada pilihan lain selain patuh. Ia bergegas mengikuti tuannya sambil mengirim pesan pada sopir mereka di bawah.
Selepas itu, keduanya pergi tanpa menghiraukan tamu yang merupakan Ayah Maria, Nyonya Baru di kediaman Gibran Wiranata.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Inyhhlstryyy
Papa Rayan aku siap kok jadi ibu tirinya Maria😌🤭
2024-03-27
1
Alea
songong banget lu jd mantu,Gibran.
gantengan juga Rayan padahal
2023-09-25
0
DeeDE
menantu durhaka...
2023-09-21
0