...🍁🍁🍁...
"Bagaimana kesepakatannya?"
Suara derap langkah mengisi kesunyian koridor yang saat itu tengah lengang. Gibran berjalan tegap dengan ekspresi tegas seperti biasa. Sementara di belakangnya, Nick mengikuti dengan setia.
"Belum ada kepastian, Tuan. Para petinggi kita mengalami sedikit kesulitan. Hans Corporation cukup sulit untuk ditaklukkan. Mereka kerap terkesan bermain-main dengan proyek ini. Mungkin ... hanya Anda yang bisa mengatasinya. Maaf."
"Bukan masalah. Aku pastikan mereka tak akan bisa berkutik melawanku," ucap Gibran tajam.
Sementara di ujung koridor sana, Maria mengamati keduanya penasaran. Matanya menyipit melihat Nick maupun Gibran. Gara-gara perkataan Laura kemarin, ia jadi senewen sendiri setiap kali bertemu Gibran.
Bukan lagi soal telanjang, tapi apa benar Gibran seperti yang dikatakan Laura.
Terlebih keberadaan Nick yang selalu mengikuti Gibran kemana pun. Bukan hal mustahil jika mereka terlibat hubungan yang lebih dari pekerjaan. Lagi-lagi kata Laura.
Astaga, kenapa ia jadi kepo seperti ini? Sadarlah, ini bukan urusanmu, Maria!
Kedua lelaki itu semakin mendekat. Maria yang larut dalam asumsi sendiri kontan kalang kabut mendapati tatapan Gibran mengarah padanya.
"Emm ... Mbak!" seru Maria pada seorang pelayan yang kebetulan tengah bebersih tak jauh dari sana.
Pelayan itu gegas mendekat. Ia menunduk hormat pada Maria. "Saya, Nyonya. Anda perlu sesuatu?"
Maria berkedip. Mulutnya membuka dan menutup dengan kaku. "A-Ah ... itu ..."
Astaga, apa yang harus ia katakan?
Maria berpikir. Kemudian ia menempatkan tangannya, mengusap meja konsol di sampingnya. "Ini. Meja ini masih berdebu. Tolong dibersihkan, ya."
Pelayan itu sedikit mematung. Ia menatap meja yang disentuh Maria. "Benarkah? Padahal saya baru menyekanya tadi."
Maria mengangguk gelisah. "Benar, Mbak. Tuh, tangan saya jadi kasar karena bersentuhan dengan debu."
"Begitu? Astaga, maafkan saya, Nyonya. Baik, akan saya bersihkan lagi. Sekali lagi maafkan saya, Nyonya." Pelayan itu menunduk berkali-kali. Meminta maaf atas kesalahannya . Ia berpikir telah melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugasnya.
Rautnya terlihat sangat ketakutan ketika menyadari kehadiran Gibran. Sontak ia membungkuk menghormati tuannya. Melihat itu, Maria meringis dalam hati. Ada setitik rasa bersalah karena melibatkan pelayan itu untuk melarikan diri.
Maria melempar senyum kaku. "Pa-Pagi," sapanya pada Gibran.
Jangankan si pelayan. Ia yang statusnya istri sah Gibran saja kerap kebingungan menghadapinya.
"Pagi, Nyonya." Nick melempar senyum dan anggukan sopan. Maria membalasnya dengan hal serupa.
Diam-diam Maria mencibir Gibran yang sama sekali tak membalas sapaannya. Suasana mendadak canggung. Bisa ia lihat si pelayan yang mulai gelisah. Astaga, apa Maria baru saja menempatkan seseorang dalam kesulitan?
"Biar saya yang bersihkan, Mbak," ucapnya, lantas meraup waslap dari tangan si pelayan.
Ia terlalu gugup dan bingung ingin melakukan apa. Tidak etis jika ia tiba-tiba lari padahal Gibran baru saja berdiri di hadapannya.
"Nyonya, apa yang Anda lakukan? Biar saya saja—"
"Sudahlah ... ini pekerjaan mudah. Biar saya yang lap ini. Kamu pasti lelah."
Dengan tangan gemetar Maria mulai menyeka sisian meja. Membelakangi Gibran, Nick, dan juga si pelayan yang menatapnya keheranan. Berbanding terbalik dengan kedua bawahannya, Gibran justru tak mengalirkan ekspresi apa pun. Rautnya tetap datar kendati matanya memerhatikan Maria.
Maria sendiri merasakan panas di punggungnya. Tatapan Gibran bagai laser yang membakarnya hingga lemas. Aura pria itu memang tidak main-main. Ketegangannya bahkan sudah bisa dirasakan dari beberapa meter jauhnya.
Tiba-tiba gerakannya terhenti saat sebuah tangan mencekal lengannya. Ia menoleh, mendadak ludahnya tersendat di tengah kerongkongan tatkala mendapati Gibran berdiri di sampingnya.
Pria itu tak menatapnya, melainkan kain yang saat ini dipegang Maria.
"Ke-Kenapa?" ucapnya tergagap.
Lama Gibran tak menjawab. Maria merasa aliran darahnya mengarus cepat, dari pangkal lengan, naik ke atas hingga sampai di jantungnya.
Ia menelan ludah. Harum Gibran mengingatkannya pada kejadian di ruang spa kemarin.
Sebentar. Jika Gibran memang tak tertarik dengan wanita seperti kata Laura. Bukankah itu suatu keuntungan baginya? Maria tak perlu repot-repot merasa malu dan gila saat bertemu Gibran. Toh, Gibran juga tak akan bereaksi sekali pun ia telanjang.
Benar. Santai saja, Maria.
"Ko-Koko ..."
"Kamu akan merusak seluruh hiasan jika bergerak seperti itu," ucap Gibran, datar.
"A-Apa?"
Mata Gibran bergulir menunjuk meja. "Aku tidak tahu kamu memiliki sifat sembrono. Angkat dulu guci-gucinya. Baru dilap."
Gibran melepaksan tangan Maria. "Jika tidak bisa jangan memaksa melakukannya. Apalagi hanya untuk mengalihkan perhatian."
Setelah mengatakan itu Gibran lekas berlalu meninggalkan Maria mau pun si pelayan yang mematung di tempat. Nick mengangguk sopan pada Maria sebelum kemudian mengikuti Gibran yang telah lebih dulu memasuki lift.
Apa maksudnya? Pria itu bisa menebak apa yang Maria pikirkan? Ya Tuhan, Maria jadi parno dan tidak berani berpikir yang macam-macam di hadapan Gibran. Kalau begini ceritanya, apa pria itu juga tahu Maria sempat terpesona dengan ketampanannya yang durjana?
Astaga, asumsi macam apa itu? Mana ada orang yang bisa membaca isi hati. Psikolog sekali pun hanya menebaknya dari ekspresi. Sudahlah, berhenti berpikir yang macam-macam. Anggap saja Gibran terlalu pintar.
Maria mendengus, ia bergumam tanpa sadar. "Tidakkah dia terlalu keren untuk menjadi penyuka sesama jenis?"
"Nyonya? Anda mengatakan sesuatu?" tanya si pelayan yang kebingungan.
"Ah ... tidak. Saya hanya berpikir lukisan di sini terlalu seram." Maria terkekeh garing mendengar ucapannya sendiri.
Memang. Tidak lukisan tidak Gibran, keduanya sama-sama menyeramkan.
Menjelang siang, Maria disibukkan dengan kedatangan desainer interior yang merancang kamarnya. Mereka telah selesai dengan rencana penataan juga perabotan apa saja yang harus diganti untuk menyesuaikan. Maria sendiri tidak banyak mengatur. Toh, ia suka dengan rancangan yang mereka kerjakan.
Untuk sementara kamarnya direnovasi, Maria tinggal di kamar tamu lantai dua. Laura dan pelayan lain bergegas memindahkan barang-barang Maria ke sana. Karena besok para desainer itu sudah mulai akan bekerja.
Ia membuka pintu balkon yang terhubung ke beranda. Selasar rumah Gibran sangat luas. Tiang-tiangnya pun besar dan kokoh. Seolah menggambarkan keagungan si pemilik yang kuat tak tergoyahkan.
Jika dipikir kembali, eksistensi Gibran hampir mengalahi ayahnya sendiri. Abhimanyu Wiranata. Papa mertuanya memang memiliki aset tak terhingga, tapi kediamannya jelas tak semegah ini.
Ia baru sadar, Gibran lebih terkesan seperti penguasa alih-alih pewaris tahta. Maria yakin seratus persen, tanpa sokongan ayahnya pun Gibran tetap bisa mengepakkan sayap menuju angkasa. Sederhananya pria itu bisa hidup tanpa nama besar sang ayah.
Gibran memang sangat misterius. Maria bahkan tak bisa menebak apa pun dari wajah datar itu. Yang Maria rasakan hanya pancaran pesona tak biasa yang menyala-nyala. Mungkin Gibran tidak sadar, tapi karakternya yang seperti itu justru banyak menghanyutkan para kaum hawa.
Jika saja ia bertemu lebih dulu dengan Gibran, bukan Gabriel. Mungkin hatinya sudah tenggelam dalam pusaran elusif yang pria itu ciptakan.
Gibran sukar difahami. Pria itu sulit diidentifikasi. Penuh rahasia dan memiliki sifat intimidasi yang kuat. Hanya dengan satu lirikan pria itu bisa menaklukkan seisi makhluk bumi.
Terdengar berlebihan. Tapi itu bukanlah hal mustahil. Presensi Gibran memang sebesar itu baginya, mungkin juga bagi orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Defi
membatin saja ketahuan ya sama Koko Gibran 😅
2024-04-14
0
epifania rendo
suka karakter maria sama gibran
2023-08-09
0
Hesti Ariani
si koko nih dingin tapi bikin hati meleleh😁
2023-07-20
0