"Pipit dan prenjak riang berpesta, mencuri gabah gabah yang di jemur di atas hamparan oleh petani. mentari sembunyi kan kilaunya, di balik jubah sang mendung kelabu".
"Wahai sang mentari, sibaklah jubah kelabu itu lalu tersenyum lah, terangilah bumi nan hijau ini dengan kehangatan mu".
Mobil dodge milik keluarga Atmosiman melaju pelan bersama keluarga, Mahendra sebagai pengemudinya, menuju tempat tinggal Paini dan Sundirah berada.
Senyum ceria melengkung sempurna di bibir Mahendra, terlukis indah pahatan hati, dengan harapan yang akan terwujud di jelas di depan mata. Karmilah duduk dibelakang merasakan kelegaan, antara anak semata wayang dan suaminya, akhirnya membuahkan hasil kasih sayang yang senantiasa ia siram dan siramkan, dengan kesejukan dan kesabaran untuk membuka mata hati sang suami.
Berbeda dengan Atmosiman yang duduk bersebelahan kemudi Mahendra, perasaan antara penyesalan, malu dan kecewa atas sikap sahabat nya yang selama ini ia anggap baik, ternyata menusuk dari belakang.
Sangat ia sesalkan atas kematian Suyud dan Yatemi, tangan kanan Atmosiman tiba tiba, memegang pundak mahendra.
"Maafkan ayah le!, ini sebuah kebodohan, ayah tidak menduga Djaelani akan berbuat keji mengambil jalan pintas, dan sekejam itu".
"Bagaimana kalau Sundirah dan cucuku kelak akan membenci diriku?" Terpancar guratan penyesalan di wajah Atmosiman.
"Saya juga mohon maaf ayah, mungkin semua tidak akan terjadi begini, kalau sejak dari awal Mahendra jujur kepada ayah".
"Sudah mas..., semua sudah terjadi, ambil hikmahnya, jangan di sesali, mungkin kita masih harus belajar lagi untuk bersikap legowo, sabar dan kembali memperhatikan kekurangan kita, sebab yang berada di bawah tidak akan berada di bawah terus, ada kalanya mereka juga akan berada di atas" Karmila tersenyum mengomentari suami dan anak nya yang saling mengakui kesalahan masing-masing.
"Dek..., terimakasih dukungan mu selama ini sangat berarti. Tidak mungkin aku menjalani semua ini sendiri tanpamu" Atmosiman membalikkan badan, mengulurkan tangannya dan meremas lembut tangan Karmilah.
Lega, bahagia, bercampur membaur dalam perasaan masing-masing.
Seperti biasa, Sundari melakukan aktifitas menganyam perkakas dapur dari bambu. Namun kali ini mereka lengkap bersama, Paini di bantu Warti dan beberapa tetangga dekat, sedang mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara tingkepan, yang akan di selenggarakan esok hari.
Sedangkan Harjito mempersiapkan tempat untuk proses siraman, ketika acara tingkepan berlangsung beberapa ubo rampen telah di siapkan. Kelapa gading, kendi, gentong sudah tersedia dengan rapi.
# Tingkepan adalah prosesi kehamilan, Ada beberapa perlengkapan ritual tujuh bulanan yang perlu disiapkan dan semuanya berjumlah tujuh, seperti bubur tujuh warna, jadah atau ketan tujuh rupa, tujuh kain, tumpeng bonceng berukuran kecil, procotan atau hidangan yang ditutup menggunakan daun pisang, beragam jajanan pasar dan perlengkapan lainnya#.
Mobil yang di kendarai Mahendra dan kedua orang tuanya, menyita perhatian orang desa, sebab pada saat waktu itu sarana transportasi yang paling mudah di temui adalah cikar, dokar, sepeda onthel hanya orang tertentu yang memiliki.
Terpaku Sundirah, menatap siapa yang datang senang, ingin rasanya segera berlari mendekat dan memeluk Mahendra, dan bercerita tentang hari hari yang indah bersama anak dalam kandungannya.
Namun, niat ia urungkan Demi melihat Atmosiman yang juga berjalan mendekat, dan mengandeng tangan Karmilah.
Harjito dan Paini merasakan hal yang tidak diinginkan bakal terjadi. mereka berlari mendekati Sundirah, tangan Sundirah mengepal dan gemetar, matanya tertuju lurus ke arah Atmosiman dan karmilah.
"Ndhuk..., nyebut ndhuk....!" ucap Paini sambil menggandeng Sundirah. kaki Sundirah seakan membatu di tempat, semakin mendekat semakin memburu nafas Sundirah.
Mahendra segera merangkul, dan mengendong Sundirah lalu mendudukkan di amben, dan menggenggam tangan lemas Sundirah.
"Dirah, ayah telah merestui hubungan kita, kita akan menikah setelah anak kita lahir" Mahendra menitikkan air mata nya terharu dengan apa yang telah mereka lalui selama ini.
"Sundirah, kami mohon maaf, dan ikut berduka atas meninggalnya bapak dan emak, semua di luar nalar kami" Karmilah mendekat, sedang kan Atmosiman hanya terdiam duduk memandang haru ke arah Sundirah.
Sundirah diam, mengunci rapat-rapat mulutnya, lalu berdiri dan berjalan mendekat ke arah Atmosiman.
Duduk bersimpuh dan menundukkan kepala nya, Mahendra mengikuti dari belakang menuntun dan memegang pundak Sundirah.
"Ndoro Atmosiman yang terhormat...! apakah juga ingin membunuh saya?, silahkan! saya tidak akan meronta, ataupun mengiba, saya sudah siap menerima! saya sudah siap merasakan sakit seperti yang emak dan bapak alami" Sundirah bersujud dan menangis sejadi-jadinya. semua yang melihat mendekat dan mencoba meraih tubuh Sundirah.
Mahendra membopong tubuh kurus itu, Sundirah menggenggam erat tangan Mahendra, seperti orang kesurupan dia memandang Atmosiman.
"Bapak saya tidak bersalah apapun ndoro! mereka berhak hidup, mereka tidak seharusnya berpulang dengan kondisi yang sangat mengenaskan".
"Mas Hendra! katakan pada mereka! ini kesalahan kita, saya pantas mendapatkan hukuman itu" tangis Sundirah menyayat hati.
Suwarti mendekat, merangkul Sundirah dan saling menumpahkan duka yang mereka harus pikul.
"Yu.... sudah yu!, jangan lukai hati sampean seperti ini, ingat perut mu yu!"
"Kita sama sama kehilangan yu, kita akan tetap bersama dan saling menguatkan" Warti memeluk Sundirah bersebalahan dengan Mahendra.
Mahendra meletakkan kepala dan punggung Dirah untuk bersandar di dadanya, sedangkan Warti memegang tangan dan mengusap air mata Sundirah.
"Ndoro, nyonya Atmosiman, Monggo silahkan duduk dulu" Paini menengahi situasi.
"Mungkin saya lancang, akan tetapi! setelah kepergian Suyud dan Yatemi, Sundirah dan Warti adalah tanggung jawab kami, dan Slamet berhak menjadi wali sebagai saudara tua Suyud".
"Apa maksud kedatangan ndoro sekalian ketempat tinggal kami?".
"Saya mohon maaf, atas semua kejadian yang telah menimpa kedua orang tua Sundirah dan warti, semua kejadian tanpa sepengetahuan kami" suara Atmosiman tegas.
"Dan untuk saat ini, pihak yang berwajib telah mencari keberadaan lurah Djaelani, untuk menangkap dan memberikan sanksi atas semua perbuatannya".
"Sundirah...! menjadi lah satu dengan Mahendra dalam bentuk ikatan pernikahan yang sah, setelah lahirnya anak yang kamu kandung" Atmosiman memandang karmilah dan paini lalu tertuju pada Sundirah dan Mahendra.
"Maaf, ndoro Siman! kenapa restu datang ketika orang tua kami sudah menjadi korban keganasan kalian sebagai orang-orang yang terpandang" suara Suwarti di sela isak yang tidak bisa di tahan dari tadi.
"Ndhuk! setiap manusia wajar terjadi kekhilafan, akan tetapi menghilangkan nyawa seseorang sebetulnya bukan wewenang kita" Karmilah yang selalu dengan hati tenang dan penuh welas asih mendekat, lalu merebahkan kepala Warti di pelukan nya.
"Menangis lah ndhuk, lepas kan kemarahan mu, akan tetapi buang jauh jauh dendam itu".
"Sundirah, maafkan semua yang telah terjadi" Mahendra mengusap perut Dirah, dan mengusap pipi yang masih basah.
"Paini, dengan penuh rasa menyesal atas semua peristiwa yang terjadi dan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan anak ku Mahendra, aku meminta mereka untuk segera menikah setelah lahirnya si jabang bayi yang Sundirah kandung" Atmosiman mengarah langsung pada pembicaraan inti.
Harjito yang dari tadi hanya menyimak perkataan mereka, ikut tersenyum lega. Akhirnya semua akan menjadi indah dengan buah kesabaran, walaupun duka tidak pernah lepas dari perjalanan kehidupan.
Di desa Wates Blitar Selatan, dimana kamituwo Sardi berada, hampir 1 bulan masa pengobatan dan sudah berangsur membaik. Walaupun masih dalam proses penyembuhan akan tetapi berubahan kesehatan kamituwo sangat signifikan.
Di ketahui luka sabetan celurit mengenai lambung kiri, dan kepala belakang terdapat luka memar karena sewaktu pingsan terbentur batu batu kali yang besar.
"Djaelani....! tunggu kehadiran ku, akan aku porak-poranda semua mimpi mu, Sulastri...! kau harus menjadi istriku, hhmmmm".
"haa..ha..haaaa" tawa licik kamituwo.
"Aku akan menciptakan neraka bagimu juragan Atmosiman, kita lihat saja"
**** ****
waduh 😳😳😳 apalagi ini 🤧
netizen terkasih yukkk komen ahh Sulastri mau di nikahin lho sama kamituwo, Liye Iki?🤭
lalu apa yang terjadi dengan Sundirah?
ikuti pada chapter berikutnya
selalu like, komen, rate ⭐🖐️
and love you all 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
P 417 0
kebncian dan dendam hanya akn menghabisimu/Proud/
2024-09-21
0
P 417 0
sekarang adat ini udah hilang.pling acara tingkeban di bikinkn kendurian .bubur merah plus rujakan/Hey/
2024-09-21
0
P 417 0
penyesaln emng selalu datang di akhir/Sleep/
2024-09-21
0