"Halo, Kak Midas," sapa balik Eleonara sambil mengulum senyum.
"Duduk, El. Mau minum apa?" tanya Vivian sambil meletakkan tas ranselnya di sofa.
"Apa aja," jawabnya setelah duduk bersebrangan dengan Midas.
"Okey. Buuu...! Ibuuu...! Ada Eleonara, nih!" teriak Vivian. Seperti itulah dia di rumah. Teriak-teriak seperti tarzan, Eleonara sudah tidak heran. "Kak Midas tumben pulang jam segini? Mabal kerja, ya?" sindirnya sambil tersenyum konyol bagai keledai.
"Mana ada mabal kerja? Lagi kepengen santai di rumah. Bentar lagi juga berangkat lagi," jawab Midas dengan wajah datar.
"Dih, kenapa mukanya begitu?" ucap Vivian sambil mengendus-edus sekeliling tubuh Midas. "Bau-bau patah hati, nih. Hihiy!"
Midas langsung berdecak sambil menatapnya sebal.
"Ih, bener. Putus sama Kak Selin, ya? Ciee ... bagus deh, aku emang gak setuju Kakak sama Kak Selin. Baik sih, tapi gimana ya, sering caper kayak bermuka dua gitu. Upsy ... tapi aku jujur lho ini, liat dari sudut pandang aku sendiri," jelasnya sambil memeluk lengan Midas dengan perasaan kasihan.
"Vi," bisik Eleonara sambil mengisyaratkan sesuatu melalui tatapannya karena dia merasa tidak enak pada Midas. Ada baiknya jika membahas hal tersebut setelah Eleonara pulang nanti.
"Kenapa, El? Jomblo nih, Kak Midas. Senggol dong, hahahaa ...."
"Viviaaann! Apa, sih?!" Eleonara langsung kelimpungan panik. Matanya melotot, memberikan tatapan mengintimidasi pada Vivian.
"Kenapa? Aku udah lama lho, mau comblangin kalian. Kalau kamu sama Kak Midas aku setuju banget, kalau sama Kak Arga sih, No Way!"
"Ngaco kamu!" bantah Eleonara dengan wajah yang sudah tidak tahu mau taruh di mana karena sangat malu pada Midas.
"Jujur ya Kak, sebenernya udah lama tau Ele suka sama Kakak," bisik Vivian yang terdengar dengan jelas sekali di telinga Eleonara.
"Astaga, fitnah! Bohong, Kak! Jangan dengerin dia!" bantah Eleonara lagi dengan tegas sampai berdiri membela diri.
Midas malah tersenyum melihat ekspresi panik Eleonara yang sangat menggemaskan. Padahal Midas tahu kalau adiknya yang usil ini hanya sedang menggoda sahabatnya saja, tapi Eleonara malah begitu serius menanggapi.
"Gak, aku gak bohong. Inget gak taun kemarin pas lagi camping, kita main truth or dare? Kamu milih kejujuran. Waktu aku tanya ada cowok yang kamu suka atau enggak. Kamu bilang ada, terus aku tanya siapa. Kamu ngaku kalau kamu suka Kak Midas, hahaha! Udah gak bisa ngelak lagi kamu, El! Jujur aja jujur," ucap Vivian sambil cekikikan sampai air matanya keluar.
Eleonara semakin panik dan tertekan. Wajahnya pun merah total. "Sumpah, bukan kayak gitu. Aku gak bilang aku suka Kak Midas, aku cuma mengaguminya, doang. Please-lah, Vi, jangan ngada-ngada kamu," rengeknya sambil mengerucutkan bibir karena harus menanggung malu.
"Sama aja. Dari kagum, lama-lama jadi suka, terus mendem perasaan. Cuma waktu itu posisi Kak Midas lagi pacaran sama Kak Selin, jadi kamu pendem perasaan kamu, akhirnya jadi pengagum rahasia deh sampai sekarang, iya kan?" goda Vivian diikuti tawanya yang pecah.
"Aduh, aduh, seru sekali ngobrolnya. Lagi ngetawain apa, sih?" tanya Bu Maya tiba-tiba sambil membawa nampan berisi minuman dan beberapa kue kering.
Eleonara langsung bersembunyi di belakang tubuh Bu Maya sambil mengadukan perbuatan usil Vivian. Bu Maya yang mendengarnya malah tersenyum lembut dengan tatapan teduh saat mendengar laporan Eleonara.
"Jangan usil dong, Vi. Kalau Ele gak terima gimana? Kamu jangan bikin dia merasa gak nyaman. Nanti di Sekolah dia gak mau temenan sama kamu lagi, baru tahu rasa, lho," terang Bu Maya menengahi.
"Hehe, iya, Bu. Bercanda, kok." Vivian mengambil segelas jus jeruk dan langsung meneguknya karena sudah puas menertawai Eleonara, membuat tenggorokannya jadi kering.
Eleonara hanya melempar tatapan penuh dendam pada Vivian sambil mengipasi wajahnya yang merah total dengan buku tulis. Dia merasa dimenangkan jika Bu Maya sudah angkat bicara.
"Lagipula kenapa memangnya kalau kamu beneran suka sama Midas, El?" tanya Bu Maya yang langsung memecah perasaan Eleonara, padahal sudah mulai membaik.
"Ehem!" Midas hanya berdehem sambil melepas satu kancing atas kemejanya. Dia mengambil segelas jus untuk menyegarkan pikirannya.
"Ah, itu ... gak apa-apa, Bu. Cuma rasanya aku gak berani atau yah, bisa dibilang gak mungkin juga," jawab Eleonara sambil menundukkan pandangan matanya dengan senyum pahit yang mengembang.
Midas langsung melempar tatapan ke arah Eleonara dengan kening mengernyit. "Kenapa? Apa hanya karena pekerjaan saya yang sebagai manager saja?" tutur Midas mulai bicara.
"Bukan, bukan itu. Kak Midas tahu sendiri aku ini cuma anak angkat atau kasarnya anak pungut yang gak jelas asal-usulnya. Aku juga pernah berpikir, kok bisa keluarga kalian nerima aku yang 'kayak gini' dengan baik. Padahal di keluarga aku sendiri gak seperti ini. Berteman sama Vivian aja udah syukur banget. Jadi, udahlah aku gak bakal berani berharap yang lain-lain lagi apalagi sampai melampaui batas, misalnya suka sama Kak Midas atau Kak Arga, hehe," jelas Eleonara dengan mata berkaca-kaca. Begitu hangatnya perlakuan keluarga Vivian padanya, membuat batinnya tersiksa ketika membandingkan dengan perlakuan keluarganya sendiri.
Bu Maya sampai terenyuh hatinya mendengar perkataan Eleonara. Dia mengusap punggung tangan Eleonara sambil memberikan senyuman iba.
"Selalu saja merendahkan diri. Semua manusia itu sama, El. Yang membedakan hanya hati, karena hati adalah muara kebaikan dan keburukan," tunjuknya pada dada Eleonara. "Ada yang dari lahir tidak tahu siapa ayah ibunya. Ada yang dari lahir tahu ayah ibunya, tapi setelah besar sedikit malah dibuang ke panti. Ada yang sudah dirawat sampai besar, tapi ayah dan ibunya berpisah. Ada juga yang dari kecil hidup tanpa siapa-siapa di lingkungan yang tidak sehat demi menyambung hidup. Sejatinya kita semua mendaki jalan terjal yang sama, hanya kerikil dan sandungannya yang berbeda-beda," jelas Bu Maya.
Penjelasannya sukses membuat Eleonara menangis tersedu-sedu. Masa bodoh dilihat Midas dan Vivian dengan bulat, karena air matanya tak bisa dibendung lagi jika sudah membicarakan sosok ayah dan ibu yang memang sejak dia lahir dan masih merah, bahkan tali pusar dan plasentanya masih menempel sudah dibuang di talang air dengan kondisi mulut diplester. Sampai diketemukan oleh warga dengan sekujur tubuh pucat pasi.
Setiap mengingat saat Ibu Panti menceritakan kemalangan nasibnya itu, membuatnya tersiksa sedemikian rupa. Tak jarang Eleonara merasa minder dan sedih saat berada di tengah anak-anak seusianya yang masih memiliki keluarga lengkap dan harmonis.
...
BERSAMBUNG!!
Ikuti terus ceritanya ya, jangan lupa like, komen & vote-nya ( ˘ ³˘)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Mimi Yoh
Adem dengernya,nasehat mama Maya sangat bijak, masih ada yg perduli dan sayang ma El,
2023-02-06
0
Asiah Erap
Leona kamu berhak bahagia
2022-09-22
1
Tasya Rezalia
up dong kak
2022-09-21
0