Di Sekolah.
Eleonara menyeret kakinya masuk ke kelas 12 MIPA 1 tanpa semangat. Pembicaraan pagi ini mengenai pernikahan membuat semangatnya hancur berkeping-keping. Dia sudah bermimpi ingin mengejar kesuksesan setelah lulus Sekolah dan menghabiskan masa mudanya dengan banyak pengalaman, tapi apakah harus kandas begitu saja ketika dia menikah nanti? Dia juga belum tahu seperti apa karakter suami tuanya itu. Apakah baik atau tempramentalnya buruk? Duda atau sudah berkeluarga? Apakah dia benar-benar akan bahagia setelah ke luar dari rumahnya atau akan lebih menderita dari sebelumnya?
Eleonara yang sedang duduk di bangku hanya bisa menghela napas kasar saat pikirannya sedang berdebat dan berkecamuk tidak tenang. Dia membenamkan wajahnya ke meja.
"Woi!" seru seseorang sambil menggebrak meja sampai membuat Eleonara terlonjak kaget setengah mati.
"Argh, Viviaaaan...!" geram Eleonara sambil menggertakan giginya kesal. Dia terkejut sampai rasanya jantung di dalam dadanya hendak melompat keluar.
"Kenapa, sih? Lagi ada masalah, ya? Tadi di gerbang aku panggil-panggil, kamu malah jalan terus," gerutunya sambil duduk di sebelah Eleonara.
Vivian Djordan ini adalah sahabat satu-satunya di Sekolah yang mau berteman dengan Eleonara. Penampilannya bertolak belakang dengan Eleonara. Dia memiliki paras yang cantik, ceria, mudah bergaul, imut dengan tubuhnya yang mungil, tapi cukup bar-bar kalau bicara. Jika Eleonara pergi bermain ke rumahnya, dia akan menemukan kehangatan dari yang namanya keluarga. Orang tua Vivian memperlakukannya bak emas permata karena dia adalah anak perempuan satu-satunya diantara kedua kakak laki-lakinya. Sering kali Eleonara dibuat iri karenanya.
Eleonara hanya menganggukan kepalanya sambil mengerucutkan bibir. Dia terlihat sangat menyedihkan, membuat Vivian kesal dan turut sedih karena setiap hari Eleonara selalu saja dirundung masalah.
"Masalah apa lagi? Pasti gak jauh dari si Mak Lampir sama Kakak Lampir itu, kan?" duga Vivian dengan sorot mata tajamnya.
Eleonara terdiam sejenak. Dia tidak berniat menceritakan masalah sebenarnya pada Vivian, toh pernikahannya belum benar-benar terjadi. Bisa saja kan, pulang sekolah atau besok dia mendapat kabar baik kalau pernikahan itu dibatalkan. Eleonara hanya memilih untuk memendamnya sendiri saja. Dia menghela napas kasar sambil mengangguk memberi jawaban.
"Ck, mereka itu benar-benar! Aku sudah menyuruhmu berkali-kali untuk pindah ke rumahku dan jadi saudaraku. Ayah dan ibuku juga tidak mempermasalahkan jika membiayai satu anak lagi. Kenapa masih kuat bertahan di keluarga yang seperti itu?" ucapnya dengan emosi menggebu. Bibir Vivian sampai komat-kamit seperti baca mantra saat meluapkan kekesalannya.
"Vi, kamu mau semua orang tahu mengenai permasalahan keluargaku?! Kecilkan sedikit nada bicaramu," bisik Eleonara sambil menoleh ke sana kemari.
"Huh, habisnya aku kesal! Masalahmu dengan Mak Lampir dan si Kakak Lampir itu tidak pernah ada ujungnya. Setidaknya berilah kedamaian sehari saja untukmu."
Eleonara hanya memperlihatkan senyum pahitnya sambil membenarkan posisi kacamata minusnya.
Vivian, kehidupan setiap orang berbeda-beda. Beberapa terlahir di tengah keluarga yang harmonis dengan finansial yang kuat sepertimu dan beberapa terlahir sepertiku, hanya modal hati dan mental yang kuat. (Batin Eleonara)
Tiba-tiba saja seorang guru wanita berbadan gemuk datang dan berdiri di ambang pintu. Kacamatanya mengkilap dan wajahnya memperlihatkan ketegasan. Parasnya dan mimik wajahnya persis seperti Cikgu Besar di film Upin-Ipin.
"Kenapa kalian masih di sini?! Cepat kumpul di Aula. Seminar akan segera dimulai. Cepat, cepat, cepat!" serunya yang langsung membuat para siswa berhamburan keluar, termasuk Eleonara dan Vivian.
"Ah, iya, sekarang kan, ada seminar! Katanya pematerinya orang yang sukses dari muda, lho. Aku udah cari tahu tentang dia di internet. Orangnya ganteng banget, huhu, keturunan Timur Tengah lagi. Tapi, sayang umurnya udah di ujung 20an, Om-om," racau Vivian sambil menggandeng lengan Eleonara dan berjalan menuju Aula Sekolah. Tinggi Vivian hanya sebahu Eleonara saja, dia sering membuat tubuh Eleonara sebagai tameng untuknya.
Sesampainya di Aula yang sudah ramai dipadati siswa-siswi, Vivian mencari tempat yang paling depan karena dia ingin melihat pemateri seminar yang katanya tampan itu dengan jelas. Namun, semua kursi di depan sudah terisi penuh, hanya sisa di belakang saja.
"Hah, salah kita terlambat," keluh Vivian dengan bibir mengerucut sambil duduk bersama Eleonara di barisan paling akhir.
"Oh, iya, El, aku bawa biskuit enak lho, dari rumah," kata Vivian sambil merogoh isi tasnya dan diam-diam memperlihatkannya pada Eleonara.
Sontak mata Eleonara langsung terbelalak besar saat membaca nama biskuit yang tertera dalam bungkus berwarna silver itu. "Vi, kamu ... hamil?" bisik Eleonara dengan wajah panik.
"Hamil? Ngaco, kamu! Mana ada aku hamil? Pacar bahkan suami saja belum punya, bagaimana bisa hamil?" bantah Vivian.
"Terus ini apa? Baca deh, ini biskuit ibu hamil!" seru Eleonara yang langsung membuat Vivian terkejut setengah mati. Ternyata biskuit yang dia bawa dari rumah adalah biskuit ibu hamil.
"Astaga...!" Vivian langsung termenung memikirkan sesuatu.
"Kalau bukan kamu yang hamil, berarti Bu Maya?" duga Eleonara. Bu Maya adalah Ibu Vivian.
"Bukan, bukan! Ini ... beberapa hari yang lalu ibuku dipaksa jadi Kader Posyandu sama tetangga. Terus kemarin saat Posyandu bulanan, di rumah numpuk biskuit kayak gini. Aku kira Ibu emang sengaja nyetok buat camilan. Aku coba aja makan satu, tapi gak liat dulu nama biskuitnya apa. Rasanya enak banget ada krim strawberry kesukaanku, aku sampai ngabisin satu dus. Aku benar-benar gak tau kalau biskuit ini biskuit untuk ibu hamil. Terus gimana dong, El?! Apa aku bisa hamil kalau makan ini, huhu ...," rengek Vivian sambil mengguncang tubuh Eleonara dengan mimik ketakutan.
"Ck, dasar. Mana ada orang makan biskuit langsung hamil? Ini cuma makanan tambahan buat memenuhi kebutuhan ibu hamil doang. Nih, baca di belakang bungkusnya ada keterangannya. Sini, aku mau coba satu."
Begitu Eleonara memakan satu gigitan biskuit dengan krim strawberry di dalamnya, matanya langsung membulat dengan binar yang berkilauan. "Emh ... iya, ternyata enak!" ucapnya dengan mulut penuh biskuit.
"Kan, enak!" tutur Vivian yang merasa puas melihat raut wajah sahabatnya.
"Masih ada gak? Aku mau lagi."
"Haha, dasar. Ada, aku bawa banyak di tas. Tapi, jangan sampai ketahuan orang. Bisa lain ceritanya." Vivian memberikan beberapa bungkus biskuit ibu hamil pada Eleonara secara diam-diam. Eleonara langsung menyembunyikannya ke dalam saku rok sekolahnya.
"Duh, Vi, berapa menit lagi seminarnya di mulai? Lama banget. Aku keburu kebelet pipis, nih," bisik Eleonara sambil mengedarkan pandangan matanya. Para guru dan pengurus seminar masih sibuk mempersiapkan acara.
Vivian tampak memeriksa jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Harusnya sepuluh menit lagi mulai. Masih sempet kalau mau ke toilet."
"Ya udah, aku titip tas dulu, ya. Jagain juga kursinya, jangan ada yang nempatin."
"Oke!"
Eleonara segera lari terbirit-birit menuju toilet terdekat. Namun, saat dia akan masuk ke dalam toilet, seorang siswi yang baru ke luar dari toilet memberitahunya kalau air di dalam mati dan tidak ada air yang tersisa. Dia berlari lagi mencari toilet di dekat perpustakaan dan ternyata masalahnya sama, airnya habis.
Tiba-tiba saja seorang siswi menghampirinya sambil menepuk pundaknya. "Kebelet banget, ya? Semua toilet airnya mati, katanya lagi ada masalah sama air PAM-nya. Tapi, aku baru aja dari toilet pinggir gudang. Di sana masih ada air, coba aja ke sana sebelum berebutan," ucapnya memberitahu dan langsung pergi.
"Apa? Toilet pinggir gudang? Itu kan, ada di ujung. Tempatnya juga serem," gumam Eleonara. Namun, dia tidak bisa membiarkannya menahan terus, entah sampai kapan airnya mati. Perutnya akan semakin sakit bila terus menahannya.
Eleonara pun kembali berlari sampai ke ujung sekolah. Penampilannya sudah berantakan, kacamatanya pun sampai miring. Auranya mencekam saat dia tiba di toilet satu pintu. Dia tidak melihat ada siapapun di sekitar. Dia segera menepis rasa takutnya dan segera membuang air kecil. Untunglah airnya benar-benar masih ada dan sekarang tersisa sedikit karena sudah setengahnya terpakai.
"Huff ...." Eleonara terlihat lega. Dia merapikan rambut bergelombangnya serta seragam sekolahnya dan tak lupa membenarkan posisi kacamatanya.
Begitu Eleonara membuka pintu, tiba-tiba saja seorang pria bertubuh tinggi semampai dengan otot lengan yang padat di balik kemeja putih yang dikenakannya masuk menerobos ke dalam, membuat Eleonara terdorong lagi ke dalam sampai punggungnya menghantam tembok.
...
BERSAMBUNG!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
🌈Yulianti🌈
Ceu itu baba Juna bukan.....
2023-01-29
0
Murni Agani
siapa ini. juna kah😁
2023-01-27
0
Murni Agani
cerdas bgt mikirny vivian. ini emakny azka y si vivian. ternyata mereka udh besti dr SMA ya😁
2023-01-27
0