Sepanjang jam pelajaran sampai waktunya pulang, Eleonara tak menunjukkan ponsel barunya pada Vivian. Dia tidak mau berbohong pada Vivian jika tahu ponsel barunya yang cukup mahal itu pemberian dari seseorang yang sangat rahasia. Jadi, dia memilih menyembunyikannya untuk saat ini.
"El, gimana? Mau maen gak ke rumah dulu?" tanya Vivian sambil memasukkan peralatan sekolahnya ke dalam tas.
"Duh, gimana, ya? Aku gak yakin Ibu ngebolehin," ucap Eleonara ragu.
"Kalau kamu gak bilang, pasti Mak Lampir itu gak bakal ngelarang. Ayolah, El, bentar doang. Paling sejam," bujuknya.
"Kalau gak bilang terus ketauan, hukuman aku bisa tambah parah, huh! Aku coba izin dulu sekalian mau ke toilet, kalau gak boleh jangan paksa aku, ya?" ucap Eleonara.
"Hmm ... iya deh. Susah banget bujuk orang penurut. Aku tunggu di pos, jangan lama-lama!" teriak Vivian sambil berlalu meninggalkannya.
Eleonara mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling kelas dengan tatapan waspada. Kelas sudah sepi, tidak ada siapapun selain dirinya. Eleonara mengeluarkan ponselnya sambil berjongkok di kursi paling belakang dan segera menghubungi Juna.
"Ada apa, Leona? Sudah selesai kelas? Minta saya jemput kamu, kah?" tanya Juna dengan nada menggoda.
"Ih, Pak Juna! Bukan, aku ... aku mau minta izin untuk main ke rumah teman, boleh tidak?" tanyanya berbisik sambil menyentuh kacamatanya yang melorot karena wajahnya menunduk.
"Main setelah selesai kelas? Apa itu sikap anak baik?"
"Hm, bukan, sih."
"Ya sudah, langsung pulang. Hubungi Syam, minta dia segera menjemput," tegas Juna.
"Tapi, aku sudah lama tidak main ke rumah temanku. Di rumah Pak Juna juga aku akan merasa bosan. Boleh, ya? Satu jam saja. Aku janji tidak akan lama, kok," bujuk Eleonara dengan nada sedikit merengek.
"Satu jam? Sekarang saja sudah lewat jam lima sore. Mau sampai di rumah jam berapa kamu?" protes Juna.
"Aih! Ya sudah iya, aku langsung pulang. Hum!"
"Huff ... tamam, tamam (baiklah). Tapi, hanya satu jam saja, ya? Saya sampai di rumah jam 7. Kamu harus sudah berada di rumah sebelum saya pulang," pesan Juna dengan suara lembut menyejukkan hati. Sepertinya merasa bersalah saat mendengar helaan napas Eleonara yang begitu berat ketika tak diizinkan main.
"Yey! Oke, aku akan pulang sebelum jam tujuh! Bye." Panggilan telepon di akhiri.
Saat Eleonara akan beranjak bangun. Dia melihat Risty beserta beberapa anak laki-laki sedang mengintip kelasnya dari celah jendela.
Deg!
Eleonara kembali jongkok untuk bersembunyi dengan wajah panik campur cemas. "Ngapain dia?" gumam Eleonara. Dia tahu kalau Risty selain songong juga usil. Pokoknya Eleonara sudah berprasangka buruk terhadapnya saat ini.
"Udah gak ada siapa-siapa, Ris!" ucap teman laki-lakinya sambil memasuki kelas 12 Mipa-1 diiringi Risty dan yang lainnya.
"Huff ... pasti si culun itu udah balik dari tadi," keluh Risty kesal sambil melipat kedua tangannya di atas perut.
"Kelas kita bubarnya kelamaan, sih. Pak Kamal tuh rese banget! Udah tugasnya banyak, ngasih kuis siapa cepat dia yang pulang segala," kata temannya yang lain sambil duduk di kursi yang dia ambil secara asal.
Eleonara berusaha keras agar tubuhnya bisa menempel dengan kursi karena dia tidak ingin Risty dan teman laki-lakinya menemukannya dalam kondisi seperti itu.
"Tadi aku kan, udah bilang sama kamu Ki, gak usah masuk kelas Pak Kamal. Jaga di pos aja, kalau si culun pulang duluan, langsung tarik ke gudang belakang terus tunggu sampe kita beres kelas!" gerutu Risty marah-marah pada temannya.
"Heh, kamu kayak yang gak tau Pak Kamal aja. Aku udah tiga kali bolos pelajaran dia. Terakhir tuh, dapet peringatan katanya kalau sekali lagi bolos udah deh, gak bakal mau ngasih nilai kelulusan dia. Rese emang!"
Saat sedang begitu tiba-tiba saja terdengar suara ponsel bergetar. Dalam keadaan hening suara kecil pun bisa terdengar jelas. Hal itu membuat Eleonara panik setengah mati karena yang bergetar adalah ponselnya yang tak sengaja menempel dengan kursi.
Mati aku! (Batin Eleonara setelah memeriksa ternyata Juna menelepon balik)
Risty dan teman laki-lakinya langsung terdiam sambil saling pandang. Mereka menajamkan indera pendengarannya.
"Gak salah denger kan, aku? Tadi denger suara drrt, drrt. Kayak getaran HP gitu," duga Risty.
Melihat adanya kesempatan di depan mata dan tanpa perhitungan yang matang, Eleonara langsung mengambil langkah seribu ke luar dari kelasnya. Melewati Risty dan teman laki-lakinya yang sedang lengah. Detak jantungnya berdetak kencang karena takut.
"Woy!"
"Sial!" umpat Risty sambil menggeram. "Kejar b*go! Cepet!" teriaknya kesal sampai urat-urat di lehernya menonjol menjalar seperti akar.
Eleonara berhasil sampai di pos sambil terengah-engah, lalu buru-buru menyeret Vivian ke tepi jalan. Vivian yang tiba-tiba ditarik tangannya, tentu saja panik.
"Ada apa, El?!" tanyanya cemas.
"Nanti aku ceritain," kata Eleonara sambil menoleh ke belakang terus dengan perasaan was-was. Dia segera menghentikan taksi dan masuk ke dalamnya bersama Vivian.
Risty yang sedang berlari mengejar dari belakang melihat kepergiannya dengan taksi langsung naik pitam. "Sial, sial, sial! Kalian ngejar satu perempuan aja gak becus, dasar t*lol!" ucapnya kasar sambil tak segan-segan memukul lengan teman-temannya dengan kuat.
...
Sesampainya di rumah Vivian, mereka masuk ke pekarangan dengan menggendong tas ransel masing-masing. Sepanjang perjalanan dari Sekolah, Vivian menggerutu terus setelah Eleonara menceritakan apa yang terjadi padanya di kelas, bahkan sampai sekarang bibirnya tak berhenti komat-kamit.
"Pokoknya besok aku bakal laporin si biang kerok itu ke kepala sekolah, biar dia di keluarin. Sering banget cari ulah, heran aku! Gak ke kamu, ke yang lain. Orang-orang kayak gitu cuma cari sensasi doang, meresahkan! Untung kamu bisa lolos barusan, kalau enggak gimana coba? Gak ada yang tau apa yang bakal mereka lakuin," cecar Vivian.
Eleonara menyenggol lengan Vivian dengan sikunya sambil memutar bola mata ke arah pintu yang sudah berada di depan mata. "Udah sampai rumah. Jangan dibahas lagi. Kalau Ibu kamu denger, panjang lagi ceritanya," bisiknya.
"Ck, iya!" Vivian melepaskan sepatunya dan meletakannya di rak sepatu. Begitu pun dengan Eleonara.
Ketika pintu dibuka, Eleonara langsung menangkap sosok Midas Djordan-kakak pertama Vivian yang sedang duduk di sofa ruang tamu mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang. Midas merupakan seorang manager di salah satu perusahaan multinasional. Tampan, tinggi, ramah, baik hati, bersih dan tidak playboy seperti Arga. Namun, tampaknya dia sedang banyak pikiran karena wajahnya murung.
"Eh, Kak Midas sudah pulang?" tanya Vivian heran.
Midas hanya mengangguk sambil menghela napas hampa, lalu berusaha tersenyum pada tamu yaitu Eleonara. "Halo, Nara," sapanya dengan nama panggilan yang biasa dia sebutkan untuk Eleonara.
...
BERSAMBUNG!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Mimi Yoh
hampiiirrr ajaaa,untung masih selamat dari si biang kerok
2023-02-06
0
Catharina GaniRosa
bagus kalo dipanggil Nara..
2023-01-29
0
Salma
jadi mles baca klu udah ada dari masa lalu kasihaan istrinya juga plinplan
2022-10-27
0