chap 20

"Maaf, maafkan kami." Ucap Hanin.

"Apa?" Henri merasa tak terima Hanin justru meminta maaf."Dengar! Kami tidak akan menjualnya pada kalian. Tega sekali kalian pada petani. Kau menghargai barang sebagus ini sama dengan kentang berkualitas rendah."

"Apa? Pergi kalian! Jangan jual barang pada kami! Tidak tau di untung! Nasib baik kami mau membelinya. Jika bukan karena pengaruh dari Adam yang membawa petani kecil seperti mu, aku tak Sudi membelinya."

Hanin yang sudah merasa tak enak karena sudah menjadi pusat perhatian mencoba menahan Henri yang sama emosinya dengan pemborong barang mereka. Melihat seberapa marahnya pemborong itu, sudah pasti Hanin tak akan bisa lagi menjualnya pada mereka.

"Hahaha, kami akan menjualnya pada pembeli yang bisa lebih menghargai barang berkualitas bagus seperti ini. Kau akan menyesal!" Ucap Henri dengan meletup-letup. Hanin masih mencoba menariknya menjauh agar tidak terjadi keributan yang lebih besar.

"Kau yang akan menyesal!" Ujar pemborong yang sitegang dengan Henri tak mau kalah, terus berteriak memaki Henri di kejauhan.

Hanin dan Henri membawa hasil panen mereka ke tempat lain, namun mereka juga memberi harga yang tak jauh beda dengan pemborong sebelumnya.

Henri geram sendiri di buatnya. Kali ini dialah yang menyetir. Dia memandang Hanin yang hanya diam.

"Kenapa diam? Kenapa diam mereka bersikap menyebalkan seperti itu? Apa Adam yang mengajari mu begitu? Kau terus berlagak di depanku, tapi diam saja di injak oleh pemborong yang sembarangan ngasih harga." Jengkel Henri menatap Hanin yang masih diam.

"Kenapa kamu bersikap seperti ini. Mereka pasti sedih jika kita kembali dengan membawa barang yang masih utuh." Lontar Hanin dengan mata berair.

"Haahh, kau hanya berpura-pura memikirkan mereka. Jika kau benar-benar memikirkan mereka, kau tidak akan menjual nya semurah itu."

"Itu adalah harga yang wajar Henri!"

"Tidak."

"Henri! Kita bahkan belum menjual satu kilogram pun karena kamu terus menawarkan harga yang tinggi." Ungkap Hanin sedikit frustasi."Kamu apa nggak berfikir, mereka juga masih di potong beberapa biaya lain, ya transportasi ya jasa, wajar jika mereka membeli harga segitu."

"Lalu bagaimana dengan kita? Kita petani juga banyak mengeluarkan biaya, membeli pupuk, tenaga, transportasi, semua. Dan mereka menghargainya dengan nominal yang sangat sedikit. Aku nggak rela."

"Henri! Kau tidak mengerti!"

"Kau yang tidak mengerti!"

Dada Hanin naik turun sebab emosi nya juga sudah memuncak, sudah pergi begitu lama dan juga masih belum bisa menjual hasil panen sangatlah menyakitkan. Ia sangat takut jika barang mereka membusuk dan kualitas barang yang memburuk karena terlalu lama menyimpannya. Alhasil mereka akan menjual rugi pada akhirnya.

Hanin mendessaah berat. Ia tak tau lagi harus bagaimana. Hanin memalingkan wajahnya dari Henri. Ia mengusap pelan pipinya yang mulai basah oleh lelehan kristal bening dari matanya.

Henri melirik kecil tanpa mengalihkan pandangan matanya pada jalanan kota.

"Aku pasti akan menjualnya dengan harga yang tinggi."

Hanin tak menghiraukan ucapan Henri, yang ia pikirkan hanyalah para pekerja yang menantikan pembayaran dari kerja keras mereka.

Hanin mengusap lagi pipinya. Terbayang wajah kecewa para wanita tua di desa.

Henri menghentikan kendaraannya di sebuah gudang yang belum pernah dia singgahi saat bersama Adam dulu. Henri keluar dari badan truk dan menghubungi seseorang melalui sambungan telpon.

Tak lama seseorang keluar dari dalam gudang itu. Henri menghampiri nya dan berbincang sesaat. Hanin hanya menatapnya dari dalam kendaraan yang terparkir.

Kemudian, Henri mendekat dengan seorang kuli panggul. Mengangkat beberapa karung masuk kedalam gudang. Beberapa saat kemudian, Henri sudah duduk di samping Hanin, dan menyodorkan kertas faktur pada istrinya.

"Kita sudah menjual beberapa." Ucapnya dengan senyum lebar di wajahnya.

Mata Hanin terbuka lebar, melihat nominal yang tertera. Nominal yang sedikit diatas harga yang Henri minta.

"Percaya, barang kita berkualitas bagus. Hanya yang bisa menghargainya yang akan membayar sesuai. Asal kita tau tempatnya."

Henri melajukan lagi kendaraannya, beberapa kali meberhenti disebuah kios kecil namun mereka membeli dengan harga yang Henri sebutkan.

Kini hanya tinggal lima karung lagi tersisa. Henri menatap istrinya yang tersenyum melihat faktur penjualan ditangannya.

"Kau senang?"

Hanin menoleh dan menganggukkan cepat, tak lupa senyum yang sangat manis di wajahnya.

"Jika aku bisa menjual lima karung yang tersisa, boleh aku meminta sesuatu dari mu?"

"Heemm..." Angguk Hanin, masih dengan senyum kegembiraan.

"Baiklah, tunggu lima karung ini terjual." Sahut Henri bersemangat.

Henri berhenti di depan sebuah restoran. Ia hanya melihat restoran yang menyala namun tak memasukinya. Henri lalu memutar dan berhenti di bagian belakang restoran itu.

"Tunggulah di sini." Ucapnya sembari mendorong pintu disampingnya.

Henri memasuki pintu belakang restoran itu. Cukup lama Hanin menunggu. Sosok Henri sudah keluar dari bangunan yang dia masuki bersama seorang wanita yang dengan potongan rambut pendek. Mereka terlihat sangat akrab.

Henri sempat menunjuk ke arah Hanin. Dan melambaikan tangannya. Merasa dipanggil Hanin pun datang mendekat.

"Nah, ini istri ku. Hanin. Dan Hanin ini rekan kerjaku dulu Soraya." Henri memperkenalkan kedua wanita yang langsung berjabatan itu.

"Sungguh kalian menikah?"

Hanin hanya tersenyum kecil.

"Jadi kau benar-benar sudah normal?" Tanya Soraya dengan tatapan ragu dan menyelidik.

"Uuummm.. tentu saja jika tidak, untuk apa ku menikahi wanita."

"Yaahh,, siapa tau saja itu hanya kedok mu."

"Apa ini masih belum cukup untuk membuat mu percaya?" Henri meluk Hanin dari samping.

Soraya masih terlihat ragu. Ia menatap Hanin.

"Kapan kalian menikah?"

"Sekitar dua bulan yang lalu."

"Aahh, stelah dia kembali dari luar negri ya?"

"Lalu apa kalian sudah melakukan nya?"

"Melakukan apa?" Potong Henri cepat dengan mata mendelik.

"Yah, kau tau, bercinta."sambil menggoyangkan pinggulnya.

"Belum... Kami..." Mulut Hanin sudah di tutup dengan tangan Henri.

"Iya, kami akan melakukan nya nanti. Iya nanti.... Tidak perlu terburu-buru kan?"

Wajah Soraya tampak jengah, seperti kesal udah di bodohi Henri.

"Untuk apa kau menikah jika tidak bercinta."

"Sudahlah, kau sebenarnya mau membelinya atau tidak."

"Yah, sebenernya barang mu sangat bagus. Ini yang kami cari selama ini. Tapi, aku malas membeli pada pria letoy sepertimu."

"Aarrgg,, kau ini hanya banyak alasan." Henri mengusap rambutnya jengkel.

"Mau bagaimana...." Soraya mengendikkan bahunya. Ia lalu menatap Hanin.

"Kau tau, aku bahkan pernah menggoda dengan tubuh polosku, tapi burung sama sekali tidak bergerak."

Wajah Hanin tampak sangat terkejut dengan pengakuan Soraya. Ternyata bukan dia saja yang sangat tidak tau mau memamerkan tubuh di depan Henri.

"Heiii... Wanita macam apa kau ini, membicarakan hal semacam itu pada istriku." Hardik Henri dengan wajah merah padam.

"Hahahaha... Kau lucu sekali honey." Soraya tergelak dengan memegangi perutnya.

"Yah, aku akan membeli semua kentang yang tersisa jika kalian berciuman depanku."

"Hanya itu saja? Lagi pula kami sudah sering melakukannya. Tidak masalah..."

Henri meraih pinggang Hanin...

"Tunggu.... Kita ... Ummmpp...."

Bersambung....

______

Dukung terus karya Othor ini ya, dengan:

Like

Komen

Vote

Dan kasih Gift

Terima kasih.

Salam sehat dan waras.

☺️

Terpopuler

Comments

Ani Mak NitaAdelia

Ani Mak NitaAdelia

jangan jangan honey,inta MP 🤤🤤🤤🙈

2023-05-13

0

Miss Typo

Miss Typo

demi kentang biar di beli berciuman di depan orang 😂

2023-02-12

0

Yane Kemal

Yane Kemal

Demi sekarang kentang

2023-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!