chap 18 sedikit Hareudang dikit aja kok

"Tidak." Jawab Henri cepat."Tapi aku bisa membuatmu terangsang." Sambung Henri menyeringai. Ia menempelkan bibirnya pada Benda kenyal milik Hanin, melummat habis bibir lembutnya. Yang serasa dingin sehabis mandi.

"Uuummmmpppp...."

Hanin memejamkan matanya, menikmati belitan lidah suaminya. 'uuggghh.. dia makin pandai saja....' batin Hanin tanpa perlawanan berarti.

Lamat-lamat, bibir Henri turun ke dagunya, menyusuri leher jenjangnya dan mendarat di dada atas gadis itu. Tangan Henri masih mencengkram lengan Hanin. Menyatukannya dalam satu genggaman. Sementara tangan yang lainnya menarik lepas handuk yang melilit di tubuh wanita di hadapannya.

"Aaa... Henri... Tunggu... Aaaaa....." Mata Hanin membelalak, mulutnya terbuka lebar saat mulut Henri menggulum pucuk permen abadinya.

"Henri....." Dessaahh Hanin, semakin tak kuasa merasakan gelayar di tubuhnya. Rasa lembab di bagian pusat tubuhnya Hanin rasakan. Wajahnya makin memerah melihat Henri dengan lahab melummat dadanya.

Gelayar itu terus menjalari tubuh Hanin. Serasa sangat lemas kakinya, ingin segera merosot dan terbaring saja. Hanin mendessaah, ia menggigit bibir bawahnya. Sampai ia rasakan Pucung dadanya yang serasa kebas dan kencang.

Henri menatap wajah istrinya, wajah yang bersemu merah. Hanin menundukkan kepala.

"Apa kamu akan berhenti menggoda ku setelah ini?" hembusan nafas Henri menerpa wajah cantik Hanin yang menghangat.

"Iya. Lepaskan tanganku."

Henri, melepaskan cengkraman tangan nya, namun justru membuat tubuh Hanin lemas dan jatuh condong kearahnya. Henri menangkap tubuh itu.

"Jangan sembarangan menyentuh pusatku lagi."

Sesaat kemudian, Henri keluar dari kamar dan menutup pintu. Ia menutupi wajahnya bagian bawah.

"Astaga.... Apa yang sudah kulakukan?" Gumamnya dengan wajah memerah. Ia sendiri tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. "Apa serigala di dlaam tubuhku sudah muncul?"

Sementara di dalam kamar, Hanin masih merasa lemas, tubuhnya lunglai dengan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya.

"A-apa barusan? Apa benar dia Henri? Kenapa dia agresif sekali. Apa benar kata mama, jika dia sebenarnya sudah sembuh dan hanya berpura-pura? Tapi... Itu nya.. benar-benar letoy saat ku sentuh... Atau... Dia hanya merasa terganggu karena aku terus berusaha menyentuh miliknya? Aaahh,, ya ampun... Mungkin ini yang dia rasakan selama ini, dan dia sedang berusaha menyadarkan ku."

Hanin bergumam dengan terus menutup wajahnya. Rasa malu, masih terus menjalari dirinya. Wajahnya kian memerah setiap mengingat bagaimana Henri menggulum bintik kemerahan di ujung dadanya.

###

Hanin meladang seperti biasanya, namun, ada perasaan lain saat tanpa sengaja bersitatap dengan netra Henri. Pira itu juga langsung membuang muka. Hanin menghela nafasnya.

"Sepertinya, memang aku yang salah. Baiklah, aku akan minta maaf padanya." Gumam hanin berjalan mendekat, namun belum sempat ia sampai Adam sudah mencegatnya.

"Mas Adam?"

"Hanin, ayo kita bicara."

Hanin melihat jauh di belakang Adam, Henri masih terlihat memunggunginya, ia lalu berganti memandang pria di depannya.

"Bicaralah."

Tanpa kata, Adam menarik lengan Hanin hingga ia berbalik dan menjauh dari ladang.

"Aaaggg... Tunggu mas," Hanin menoleh kebelakang, Henri ternyata masih memunggungi dan sibuk dengan kentang-kentang yang tengah di panen.

"Ada apa sih mas?" Tanya Hanin begitu sudah menjauh dan kini berada di sisi samping rumah Hanin. Dari sana Henri tak terlihat lagi.

"Apa kamu semalam bertemu dengan ibuk?"

Hanin memeluk tubuhnya sendiri. Mengusap lengannya pelan. Ia menunduk,

"Iya."

Adam mengusap wajahnya kasar. "Apa yang ibuk bilang?"

"Tidak ada, lagi pula itu tak penting."

"Hanin, aku tidak pernah setuju dengan..."

Hanin mengangkat tangannya menahan Adam bicara lebih jauh.

"Itu bukan urusan ku mas, aku sudah menikah, dan mas Adam sudah bertunangan dengan Laura. Kita jalani hidup masing-masing."

"Mas cinta, sama kamu Hanin .. kamu juga cinta sama mas."

"Mas,, aku udah nikah."

Tapi kamu terpaksa kan?"

Hanin tertawa kecil. "Sudahlah mas, aku masih mau meladang."

Hanin mengambil langkah untuk kembali ke ladang, dengan cepat Adam menarik lengan Hanin hingga gadis itu tersentak dan berbalik. Tangan Adam meraih tengkuk Hanin wajahnya makin mendekat dan sebuah penghalang tepat di wajahnya. Mendorong hingga ia mundur kebelakang. Aksi nya untuk mencium Hanin gagal.

Hanin menatap wanita paruh baya yang ditangannya ada sebuah kipas tangan. Ia tersenyum kecut, siapa lagi kalau bukan Mama Tantri. Hingga membuat Hanin merasa tak enak hati.

"Menantuku, apa kamu ini terbuat dari madu, atau gula?" Tanyanya lembut pada Hanin, lalu melirik sinis pada Adam."Hingga banyak yang mendekat, dan ingin mencicipi mu?"

"Nyonya." Adam merasa sungkan pada mama Tantri, menunduk memberinya hormat.

"Tidak perlu berpura-pura ramah padaku seperti ibu mu. Sangat menyebalkan." Dengus mama Tantri memainkan bibirnya.

"Hanin, ayo ikut mama." Mama Tantri mengandeng tangan Hanin membawanya menjauh dari Adam. Hanin hanya menurut patuh, dalam hatinya ia sangat merasa tak enak dan merasa bersalah.

"Nyonya, tolong lepaskan Hanin. Kami saling mencintai..."

"Anak muda, dia menantuku." Tegas mama Tantri menunjuk Hanin,"Dan kamu, kamu sudah memiliki calon. Jadi, sadarlah dan berhenti mengejar menantuku, aku tak mau dia merasa tak nyaman karena orang tua mu berfikir lain."

"Ayo, menantu..." Ajak mama Tantri dengan langkah cepat membawa Hanin masuk kedalam rumah, tanpa menghiraukan Adam yang terus memanggil dan berusaha menahan.

Mama Tantri langsung mengunci pintu dan mengintip dari balik gorden jendela.

"Kenapa sih keluarga itu menyebalkan semua?" Gumam mama Tantri sangat kesal.

Hanin menyentuh lengan mamaa Tantri, ia merasa harus mengatakan tentang hubungannya dengan Adam. Bahwa mereka tak ada apa-apa. Hanin tak ingin mama Tantri salah paham.

"Ma, aku.. tadi..."

Mama berbalik menatap wajah Hanin yang sedikit gelisah.

"Tidak, mama tau, dia tadi berusaha menciummu. Memang kurang ajar anak itu. Jika bukan anak kepala desa sudah ku hajar dia." Geram mama Tantri."mama hanya menahan diri mengingat kamu dan nenek tinggal disini."

"Mama... Aku...."

"Hanin, jangan bilang kamu benar menyukai pria itu..." Potong mama Tantri tanpa melewatkan gurat kegelisahan di wajahnya.

###

"Dingin..."

"Pakai selimutmu. Disini memang dingin kalau sudah musim begini. Siang panas, dan malamnya berubah jadi dingin." Terang Hanin yang tidur menghadap Henri.

"Masih dingin."

Hanin menghela nafasnya.

"Kemarilah," Hanin mengulurkan tangannya merengkuh tubuh Henri agar mendekat lalu memeluknya. "Begini jadi lebih hangat kan? Tidurlah. Besok kita masih harus bekerja lagi. Jangan sampai kesiangan."

Wajah Henri menghangat, di peluk oleh Hanin yang perkasa walau tubuhnya tidak lebih besar darinya. Selama tinggal bersama Hanin, Henri menyadari beberapa hal, gadis itu membuatnya merasa berbeda.

"Maaf..."

Henri mendongakkan kepalanya, menatap gadis yang terus membuatnya jantungan.

"Aku tidak memikirkan perasaanmu. Aku hanya ingin kamu cepat sembuh, hingga asal menyentuh mu tanpa berfikir.

Setelah, kamu membalas ku tadi pagi, aku jadi tersadar. Sepertinya, aku sangat kelewatan padamu. Maaf ya." Ucap Hanin tulus.

Henri mendekatkan wajahnya menyesap bibir Hanin dan menyatukan lidahnya. Hanin pun membalas sesapan suaminya. Lalu ia sedikit membuat jarak.

Hanin yang sempat menutup matanya sesaat membuka perlahan memandang wajah suaminya.

"Kita ... Tidak perlu melakukan ini lagi. Pasti ada cara lain, yang membuatmu merasa lebih nyaman."

Wajah Henri sedikit berubah. Ia merasa sangat menyayangkan jika terapi menyenangkan ini harus berakhir, apa lagi ia sudah beberapa kali merasakan pitonnya berdiri. Hanya ia tak ingin mengungkapkan nya.

"Sudahlah, ayo tidur."

Tengah malam, Hanin yang merasakan kandung kemihnya penuh berjalan keluar kamar dan menuntaskan hajadnya. Hanin memasukan tubuhnya yang kedinginan di bawah selimut begitu ia kembali.

Hanin menatap Henri yang terlelap.

'Aku masih penasaran, apakah dia benar sudah sembuh atau belum. Harus di pastikan.' pikir Hanin sembari membaringkan tubuhnya disisi Henri. Tangannya terulur di bawah selimut, ia meraba bagian pusat Henri.

'Jika dia sudah normal, harusnya jika ku usap seperti ini, pitonnya bergerak bangun.' pikir Hanin sembari mengusap pelan piton Henri yang tertidur.

Bersambung...

Kira-kira bakal bangun nggak ya pitonnya Henri?

Terpopuler

Comments

Rinnie Erawaty

Rinnie Erawaty

pitonnya di elus ?🤭😲

2022-09-12

0

Anne Rukpaida

Anne Rukpaida

msh pnsaran c hanin 🤭

2022-09-09

0

alexis_sances9

alexis_sances9

madu. mka y byk srgga

2022-09-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!