Astaga Hanin! Apa-apaan kamu !" Tegur nenek yang melihat Hanin tengah menekuk-nekuk tubuh Henri suaminya. Dan gadis itu menindih tubuh kerempeng Henri yang terus menepuk-nepuk kasur menyerah kesakitan.
"Aaarrrgggg... Nenek, tolong aku..."
"Kasihan itu si Henri kamu begitu kan!" Seru nenek mendekat,
"Dia minta pijit nek, jadi ya aku pijit. Ini namanya pijat tradisional ala desa."jelas Hanin melanjutkan aksinya dengan wajah senang.
"Aaarrrgggg.... Nenek tolong, dia berusaha membunuhku..." Pekik Henri masih histeris dengan tubuh yang sudah terbolak-balik di kayang Hanin.
"Hanin, sudah hentikan! Kamu ini..."
"Ha-ha-ha, iya nek." Hanin pun menghentikan 'pijitannya' pada sang suami.
"Kau, apa mama membayar mu untuk membunuhku perlahan?" Dengus Henri kesal menuding Hanin.
"Hahaha, benar. Mama Tantri memang membayarku untuk itu."
"Kau!"
"Sudah-sudah, ini sudah malam, cepat tidur." potong nenek bersuara sembari meninggalkan pasangan yang terbalik itu.
###
Keesokan paginya, Hanin dan nenek masih harus menghadapi drama baru Henri. Bocah itu ngambek nggak mau meladang. Dengan alasan capek dan pegal sehabis di pijit oleh Hanin semalam. Pinter dia bikin alibi.
Dan seperti biasa, Hanin harus ektra untuk membuat pria tulang lunak itu mau menggerakkan tubuhnya. Dan selalu menggunakan makanan sebagai imbalan pekerjaannya. Karena Hanin tak pernah menyediakan makanan, atau pun bahannya kecuali telur.
"Sialan selalu saja telur yang dia tinggalkan. apa dia berniat membuatku bisulan?" gumam Henri mengumpat sembari meletakan lagi telur di tempatnya. Karena memang hanya ada telur di rak persediaan.
"Nasi, bahkan beras pun tak ada. Kemana sebenarnya dia menyembunyikannya. Benar-benar siluman!" Henri terus memgumpat-umpat tak jelas.
Hingga mau tak mau Henri pun ikut meladang juga, dari pada ia tak makan.
###
Hanin menatap suaminya yang sibuk bergosip dengan ibuk-ibu di ladang. Tak jauh dari dirinya yang sedang memanen lobak. Lalu pria kemayu itu melihat kearah Hanin, Hanin tersenyum licik. Ia mengangkat lobak terbaik. Ujung pangkalnya ia pegang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya yang memegang pisau ia adukan dengan ujung lobak itu. Hingga bagian ujungnya terpotong oleh pisau. Sembari matanya tertuju pada burung Henri dan ujung lobak yang terpotong secara bergantian.
Mata Henri melebar melihatnya, ia lalu reflek menyentuh lehernya. Dengan wajah yang sedang kesulitan menelan ludahnya yang serasa sangat seret. Mata Hanin menatap mata Henri, lalu berpindah ke pusat Henri yang sedang berjongkok itu. Melihat kemana arah mata Hanin, Henri menunduk melihat pusatnya. Matanya melebar dan seketika menutupi pusatnya dengan bergidig ngeri.
Hanin tersenyum sendiri melihat reaksi Henri. Ia lalu melanjutkan memanen lobak. Karena suami letoynya sudah kembali sibuk mencabuti lobak.
###
Hanin meletakkan keranjang terakhir ke pikup untuk diangkut pengepul.
"Hanin."
Hanin menoleh kearah suara yang memanggilnya. Seorang pria berkulit eksotis mendekat.
"Bagaimana panen hari ini?"
"Bagus mas Adam."
Pria yang di panggil Adam itu tersenyum."Baguslah, aku juga senang. Kamu memang sudah hebat dari dulu. Semua yang kamu pegang pasti berhasil bagus."
"Mas Adam terlalu memuji." Ucap Hanin dengan malu-malu.
"Enggak itu beneran." Sahut Adam menatap intens Hanin."Selamat ya."
Hanin mengangkat kepalanya menatap wajah Adam.
"Selamat, kamu sudah menikah." Dalam ucapan Adam terselip sesal dan tak rela.
Hanin mengangguk dengan pandangan menunduk. Pria yang ia sukai dan kagumi dalam diam selama ini, mengucapkan selamat atas pernikahannya membuat Hanin merasakan nyeri.
"Terima kasih mas Adam." Lontar Hanin menatap Adam dengan senyumnya.
"Semoga kamu bahagia. Harus. Harus bahagia."
Hanin mengangguk.
"Oiya. Maaf aku nggak datang pas acara pernikahanmu. Aku sedang di luar kota."
"Nggak papa mas."
"Aku tetap hutang hadiah padamu."
Hanin hanya tersenyum menyambutnya.
"O iya, mana suamimu?" Tanya Adam melihat sekeliling mencari sosok yang pasti sing baginya.
"Dia sedang meladang."
"Oohh.."
_____
Dilain pihak,
Henri yang melihat Hanin sedang berbincang dengan seorang pria yang ia tak kenal namun cukup akrab dengan istrinya itu, hanya memandang mereka dengan perasaan yang entah apa. Ibu-ibuk yang melihat Henri terbengong dan tidak bekerja memperhatikan kemana arah pria bertulang lunak itu melihat.
"Itu namanya Adam. Anak kepala desa." Jelas Bu sum. Henri hany manggut-manggut tanpa melepaskan arah pandangannya pada sang istri.
"Dia tampan kan?"
"Lumayan." Gumam Henri menjawab.
"Lumayan bagaimana? Adam itu sangat tampan. Dia juga terpelajar. Selain itu, dia juga di sukai banyak wanita di kampung ini. Kamu tidak tahu tuan muda?" Timpal Bu welas ikut nimbrung dan melihat kearah Hanin dan Adam yang sedang berbincang.
"Tidak. Aku juga tidak perduli." Gumam Henri melanjutkan lagi kesibukannya memanen.
"Dulu kupikir Hanin akan menikah dengannya." Suara ibuk-ibuk tukang gosip.
"Benar. Mereka sangat akrab. Sepertinya keduanya memiliki perasaan yang sama."
"Iya, tidak kusangka dia malah menikah dengan kerabat dari Mak Yun."
Henri hanya menghela nafasnya, 'Dasar! Emak-emak bigos.' pikir Henri acuh. Beberapa saat kemudian, Henri menoleh lagi ke arah Hanin. Yang ternyata masih berbincang dengan Adam, anak kepala desa itu.
Waktu makan siang tiba. Hanin dan kelompok emak-emak juga Henri berkumpul dan makan siang bersama di bawah pohon yang rindang dan teduh.
"Tadi kulihat Adam kemari,"
"Iya Bu Sum, tadi dia mengambil beberapa hasil panen untuk di jual." Jelas Hanin sembari mencubit nasi dan tempe, lalu memasukkan kedalam mulutnya.
"Apa dia tau kalau kamu sudah menikah."
Hanin hanya mengulas senyum. Siapa yang tidak tau, pernikahannya cukup meriah di kalangan desa. Apalagi, mas kawinnya pun cukup besar. Tentu saja itu menjadi buah bibir di desa.
"Kasihan sekali dia, padahal kulihat dia itu menyukaimu..." Gumam Bu welas yang disambut senggolan oleh Bu Sum.
"Sssttt... " Bu Sum menunjuk Henri yang ikut makan diantara mereka. Tentu itu membuat Bu welas tertawa tak enak.
"Yaahh, tapi tentu saja, yang menikahi haninlah pemenangnya..." Gumamnya dengan senyum canggung untuk mencairkan suasana. Walau pada dasarnya, Henri tak begitu peduli. Belum mungkin.
Malam harinya, Henri hanya meringkuk di atas ranjang, badannya menggigil hebat. Hanin baru selesai membersihkan diri seperti biasa menggodanya. Namun Henri tak ada respon. Membuat Hanin mau tak mau mendekat karena penasaran.
Ia menyentuh tubuh suaminya. Ia terkejut, badan Henri panas.
"Astaga..."
Bersambung...
Author kasih visualnya sekalian ya.
Henri
Hanin
Adam
Mama Tantri
papa nya Henri
Nenek nya Hanin
Dukung terus karya Othor ini ya, dengan:
Like
Komen
Vote
Dan kasih Gift
Terima kasih.
Salam sehat dan waras.
☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
rindu rindu
mana visualnya?
kok g ada
2023-11-15
0
Rinnie Erawaty
Honey kamu ganteng tp cantik 😁
2022-09-11
3
sitimusthoharoh
lanjut
2022-09-08
0