"Apa yang kamu dapatkan?" Tanya Jo saat melihat asisten kepercayaannya masuk ke dalam ruang kerjanya di mansion.
Rian terlihat mengutak-atik tabletnya mencari sesuatu yang dicarinya beberapa hari terakhir sesuai titah sang majikan.
"Ini tuan." Jawab Rian menyodorkan tabletnya dengan tampilan cctv hotel juga beberapa foto.
"Jadi mereka sudah tidur bersama?" Tanya Jo terlihat menghela nafas panjang.
"Sepertinya begitu tuan. Berdasarkan informasi dari layanan kamar mereka menemukan bercak darah di sprei kamar tersebut." Jelas Rian lagi.
"Huff.. apa ada yang merencanakannya?" Tanya Jo menatap Rian datar meminta penjelasan tentang kejadian malam itu.
"Menurut pendapat saya sementara ini, ada campur tangan dari sahabat nona. Tapi saya belum yakin. Saya akan menyelidiki lebih dalam lagi." Jelas Rian setengah menyesal belum mendapatkan informasi akurat.
"Apa John tahu?" Tanya Jo lagi meski dia sebenarnya bisa menebak namun dia memilih bertanya untuk lebih meyakinkan tebakannya.
"Sepertinya belum tuan, terlihat dari interaksi keduanya yang seperti tidak terjadi apa-apa." Jelas Rian lagi. Jo terdiam, menatap datar video tentang putranya yang sudah masuk ke dalam sebuah kamar presiden suite room hotel milik keluarganya.
Siapa yang akan kubela kalau keduanya sama-sama mencintai wanita yang sama. Apalagi Josh sudah merenggut kehormatan wanita itu? Batin Jo menghela nafas panjang dan berat.
Aku merindukanmu baby, kenapa kau meninggalkanku sendiri disini. Batin Jo lagi menerawang jauh ke langit-langit ruang kerjanya.
Rian hanya bisa diam, dia sudah hafal betul apa yang sedang dipikirkan majikannya itu. Jika majikannya itu sudah terdiam lama dengan tatapan sendu menerawang jauh ke langit-langit atau ke depan, pasti sedang merindukan mendiang nyonya besar yang sudah meninggalkan dunia ini hampir sepuluh tahun itu.
"Kau selidiki terus masalah ini! Dan langsung kabari aku jika mendapatkan informasi sekecil apapun!" Titah Jo akhirnya mengusir Rian.
"Baik tuan." Rian meninggalkan ruang kerja majikannya sambil meraih tablet yang diulurkan majikannya.
.
.
"Kak!" Seru Joana merasa senang salah seorang kakak kembarnya mengunjunginya di pondok pesantren tempatnya tinggal setelah lulus sekolah dasar. Dan sekarang dia sedang menyelesaikan jenjang sekolah menengah atas nya yang akan lulus tahun ini.
"Apa kabar princess kakak?" Tanya Josh memeluk adiknya hangat.
"Baik kan. Kabar kakak bagaimana?" Tanya Joana setelah mereka duduk di kursi taman tempat biasa mereka berkunjung.
"Kakak baik." Jawab Josh singkat.
Setiap dua minggu sekali hal itu sudah menjadi kegiatan rutinnya untuk mengunjungi adik bungsunya itu. Seperti yang sudah dijadwalkan dengan kakak dan adiknya. Mereka sepakat akan mengunjungi seminggu sekali bergantian agar sang adik betah dan tidak merasa ditelantarkan oleh keluarganya.
Dulu setelah lulus sekolah dasar semua putra dan putri keluarga Alensio sama-sama mengalami tinggal di pondok pesantren. Hal itu semua atas permintaan sang mommy yang mereka sayangi. Tak ada yang mengeluh, semuanya melakukan karena mereka sangat menyayangi mommy mereka. Dan mereka akan keluar dari pondok pesantren saat lulus sekolah menengah atas. Dan mereka pun bebas untuk kuliah di tempat yang mereka inginkan. Asal tempat dalam standar batas pergaulan.
Oleh sebab semua saudara-saudarinya saling menyayangi dan menghargai. Hingga bekal itu cukup menjadi pegangan hidup mereka nanti jika sudah dewasa. Untuk itulah saat John tak berani untuk melakukan hal di luar batas saat berpacaran dengan kekasihnya meski sebenarnya dia sudah dilarang keras untuk berpacaran sebelum menikah. Namun itu karena kekasihnya belum siap untuk dilamarnya.
Sehingga John tak berani bertindak lebih pada kekasihnya itu. Apalagi nasehat sang Daddy sudah tak mempan lagi. Dan ditambah sang mommy sudah meninggal. Bukannya mereka lupa nasehat mommy nya namun mereka tetap membatasi diri.
"Minggu lalu mbak Hana datang mengunjungi Joan." Beri tahu Joan antusias bercerita pada sang kakak.
"Oh ya."
"Hu um, dia mengantarkan buku-buku yang dipesan Joan. Katanya juga dari kakak juga?" Ucap Joana membuat Josh tersenyum simpul.
"Baguslah kalau kamu suka." Jawab Josh balas tersenyum tulus mengusap kepala adik bungsunya yang berbalut hijab.
"Kakak banyak masalah ya?" Tanya Joana membuat Josh tersentak kaget. Adiknya itu memang paling peka diantara saudara-saudari nya yang lain. Meski dirinya peka, Joana lebih peka darinya.
"Kakak hanya capek mengurus rumah sakit." Elak Josh tersenyum.
"Kakak nggak sedang bohong kan?" Telak Joana membuat Josh menyunggingkan senyumnya menatap adik kesayangannya.
"Mana bisa kakak bohong sama kamu. Kamu kan paling tahu kak Josh." Ucap Josh memaksakan senyum lebarnya.
"Senyum kakak aja nggak sampai ke mata, apalagi ke hati." Sindir Joana telak membuat Josh menghela nafas panjang tak mampu lagi mengelak pada adik bungsunya itu.
"Kakak memang ada sedikit masalah. Tapi tidak terlalu penting juga. Dan maaf... kali ini kakak nggak bisa cerita padamu dek." Jelas Josh murung tak bisa pura-pura terus terpaksa tersenyum pada sang adik yang memang tak bisa dibohongi atau terlanjur peka itu.
"Tak masalah, apapun masalah kakak, Joan berharap segera terselesaikan. Allah tidak akan memberikan ujian umatnya diluar batas kemampuan manusia itu sendiri." Ucap Joana bijak membuat Josh termenung mencerna ucapan sang adik. Josh pun tiba-tiba tersenyum bahagia merasa mendapat pencerahan dari adiknya.
"Terima kasih atas kata-katamu yang bijak dek. Sepertinya kamu semakin dewasa saja tinggal di pondok." Puji Josh kembali mengusap kepala adiknya.
"Joan senang kakak sekarang terlihat ceria kembali." Ucap Joana tersenyum lebar bersyukur kakaknya tak murung lagi.
"Terima kasih dek." Ucap Josh membuat keduanya saling tersenyum bahagia.
.
.
"Apa yang kamu katakan pada John malam itu?" Tanya Alexa pura-pura penuh intimidasi pada sahabatnya itu.
Kini keduanya sedang di cafe dekat kantor saat jam makan siang. Camila memang sering bekerja di lapangan sesuai jabatan sebagai manajer marketing di kantor yang sama. Keduanya sudah saling mengenal juga saat kuliah di kampus yang sama dengan fakultas jurusan yang sama pula manajemen bisnis. Namun karena Camila hanya berasal dari keluarga menengah meski menengah ke atas tapi dia tetap dibawah Alexa juga John dan Josh. Tapi dia cukup mengenal mereka dulu saat satu kampus.
Camila hanya menyengir kuda ditatap sahabatnya itu. Dia duduk di depan Alexa duduk terhalang meja. Es capuccino nya sudah mulai mencair karena sahabatnya sedang menghakimi dirinya mengenai kejadian malam itu.
"A-aku hanya mengatakan kalau kau kurang enak badan dan harus pulang cepat." Jawab Camila beralasan sambil *******-***** kedua tangannya di bawah meja.
"Lalu? Minuman itu, kau berikan pada siapa?" Tanya Alexa lagi.
"Se-seperti rencana kita, tentu saja pada John." Jawab Camila gugup.
"Huff..." Alexa mengurut pelipisnya yang mulai pening. Dia tak mungkin bercerita pada sahabatnya tentang kejadian malam itu. Bagaimana pun juga itu adalah aib yang harus dikubur untuk selamanya.
"Kamu malam itu kemana? Aku samperin ke mansion, kata pelayan kamu tidak pulang?" Tanya Camila antusias.
"Tentu saja di kamar hotel sendirian." Jawab Alexa cepat mengelak dan entah kenapa wajahnya tiba-tiba memerah dan tubuhnya gerah saat mengingat kejadian malam bergairah itu.
"Kamu kenapa? Kok pipimu memerah? Kamu demam? Kamu sakit?" Tanya Camila cemas.
"A-aku gak papa kok." Elak Alexa terdiam.
.
.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments