141 Hari Mencintaimu (Tamat)
"Hamna!" panggil seseorang dari kejauhan, ia sangat mengetahui suaranya yang melengking itu, manusia paling cerewet yang sayangnya sudah lama ia kenal, menyebalkan sekali suaranya menghentikannya begitu saja. Padahal, 3 langkah lagi gadis itu sampai di kelasnya pagi ini.
Kadang, Hamna membenci perempuan yang satu itu, tapi hanya dia yang selalu berada di sisinya sejauh ini. Dia, perempuan yang memanggilnya tadi adalah Shafiya El-Qamar, sahabat karibnya sejak bangku SMA.
Hamna menoleh ke belakang untuk menyahuti suaranya yang melengking itu. Fiya tampak berlari-lari kecil menghampiri Hamna.
"Apa, Fiya?" jawabnya setelah gadis itu sampai di hadapan Hamna dengan napas terengah-engah.
"Tunggu sebentar, aku kehabisan napas!" katanya dengan napas tersengal sembari menyeka keringat di dahinya.
"Siapa yang menyuruh kamu berlari di koridor kampus sepagi ini?" Hamna bertanya pelan, sembari menunggunya dengan sabar.
"Huh!" Fiya mendengus kesal, jangan tanya, ia selalu begitu, "Tentu saja tidak ada, aku hanya ingin mengejarmu dan bersama masuk ke kelas, Na," lanjutnya dengan senyum khasnya sembari membenarkan pakaiannya yang lusuh akibat berlari tadi.
"Fiya, kamu tidak perlu bersusah payah," jawab Hamna dengan suara datar, Hamna datang pagi-pagi karena ingin berjalan sedikit tenang, tapi dia tidak menyangka makhluk satu ini, eh sahabatnya itu justru mengikutinya. Tidak seperti kebiasaannya yang datang ketika kelas sudah selesai.
"Hahahaha!" Fiya tertawa, lalu berkata, "Sama sekali gak keberatan. Ayo, ayo, ayo kita masuk ke kelas sebelum teman-teman yang lain datang," ajaknya dengan menggandeng tangan Hamna.
"Katakan saja dengan jujur dan terus terang, kamu mau bertanya tugas apa?" Hamna langsung menodongnya dengan pertanyaan telak seperti itu, sebagus apapun tingkahnya Hamna tetap tahu apa yang dia ingin, datang pagi-pagi lalu mengejar Hamna di koridor, untuk apalagi jika bukan perkara tugas kuliahnya?
Hamna melihat wajahnya yang tadi riang berubah agak serius, tapi tetap saja yang dilihat adalah wajahnya yang menyebalkan. "Aduh, duh duh duh! Sahabatku Hamna yang cerdas ini ternyata bisa langsung menebaknya ya! aku jadi malu nih."
Yang benar saja? Hamna mengerutkan kening.
"Hmmm ... " gumam Hamna singkat sembari memerhatikan sekelilingnya, dalam keadaan sepagi itu kelas jadi sangat hening, tapi sebentar lagi keheningan ini pasti akan musnah ketika yang lainnya datang.
"Heh! kenapa? Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Fiya, matanya mengikuti Hamna memerhatikan sekelilingnya, "Apakah ada yang mengganggumu pagi ini, Na?" Fiya bertanya khawatir.
"Tidak ada," jawab Hamna pelan.
"Terus kenapa raut wajah kamu begitu! Kamu tahu kan ekspresimu yang seperti Burung Elang itu membuatku takut," omelnya panjang.
"Dasar Fiya! sebentar lagi ramai, ayo masuk, kita bicarakan tugasmu di dalam kelas." Setelah mengatakannya, Hamna langsung berjalan pergi meninggalkan Fiya sendirian.
"Eh, eh, eh tunggu dulu Hamnaaaaa."
"Aku belum selesai memarahimu!" makinya pada Hamna lalu mengejar langkahnya.
"Jangan berisik Fiya, ini masih pagi, aku ingin tenang." Hamna menghela napas, bersama Fiya bisa menghabiskan lebih banyak energi, tapi jika dia tidak ada, hari-hari Hamna pasti akan jadi begitu hampa.
Setelah itu, suasana mendadak senyap, tak ada lagi suaranya, ia benar-benar jadi tenang setelah Hamna berucap lugas, lalu Hamna mengambil duduk di kursi paling pojok depan.
"Oke, oke, oke, maaf ya Hamna? maaf untuk kebisingan yang aku buat pagi ini, maaf sekali Hamnaku yang cantik, cerdas dan baik," ia berkata sambil memasang senyum centilnya pada Hamna, walau kadang ia begitu menyebalkan tapi apa yang Fiya lakukan untuk Hamna, termasuk permintaan maafnya, Hamna tahu ia begitu tulus mengatakannya.
Jadi, mana mungkin Hamna tidak memaafkannya?
Hamna masih diam, berusaha mencari tenang dalam hatinya sendiri. "Oh ya, Hamna, sebelum itu ... " Fiya berhenti sejenak.
"Bisakah kita pergi sarapan dulu? Perutku lapar banget nih, hehe," ucapnya dengan kekehan kecil, memecah keheningan. Ternyata suara aneh yang tadi didengar Hamna adalah suara cacing dalam perut Fiya.
Hamna mengiyakan ajakannya, seorang Hamna mana tega melihat sahabatnya kelaparan, apalagi Fiya tidak akan bisa berpikir jika perutnya kelaparan. "Oke, kebetulan aku juga mau minum kopi, karena kamu yang mengajaknya, kamu yang bayar, oke?"
"APA?!" teriaknya cukup keras sampai Hamna harus menutup telinganya. Apa dia harus begitu histeris hanya karena aku meminta ditraktir?
"Ya ampun! kenapa kamu begitu histeris? Aku kan cuma meminta traktir secangkir kopi aja, Fi," kata Hamna, tak percaya Fiya begitu perhitungan.
Fiya seketika memegang tangan Hamna. "Tidak, tidak, tidak! bukan begitu. Maksudku, ini pertama kalinya, lho, kamu minta aku mentraktirmu, aku jadi terharu, hiks, akhirnya kamu menganggap aku sebagai sahabatmu," matanya berkaca-kaca karena terharu.
Shafiya ini kenapa suka melebih-lebihkan sesuatu? pikir Hamna lagi.
"Sudah, gak perlu sesedih itu, aku minta traktir karena lupa membawa dompet," ucap Hamna jujur, dia lupa membawa dompetnya, Hamna bahkan lupa membawa laptop miliknya, karena begitu terburu-buru ingin lekas pergi dari rumah, gadis itu melupakan hal-hal penting yang seharusnya dibawa.
"Ya Tuhan ... Semoga Hamna selalu lupa membawa dompetnya, jadi aku bisa terus mentraktirnya terus setiap hari."
"Kamu sedang mendoakan kemalangan untukku? Itu gak bagus, Fiya."
"Hahaha Enggak, kok! Ayo, ayo, ayo kita ke kantin, aku sudah lapar." Fiya menarik lengan Hamna dengan semangat menggebu-gebu.
Membuat Hamna tersentak, menyebalkan! Di lain sisi ia seringkali membuatnya jengkel, tapi di sisi yang lain Hamna juga merasa bersyukur memiliki teman yang lugu seperti Shafiya. Eum, setidaknya itu yang dipikirkan Hamna tentang Shafiya. Gadis Lugu, Fiya.
***
DI KANTIN
Kantin kampus itu cukup luas, ada berbagai macam penjual makanan dan minuman. Bergaya modern dengan dinding putih yang dihias berbagai kaligrafi dan grafiti karya mahasiswa seni, membuatnya jadi lebih menarik dilihat.
Di tiap pojok kantin ada pohon yang sengaja ditanam untuk menambah suasana yang sejuk. Hamna merasa dia mulai menyukai tempat ini, lain kali ia akan sering mengunjungi kantin daripada perpustakaan.
Sepagi ini, kantin masih tampak sepi, beberapa pedagang juga belum semuanya membuka gerai. Tapi Hamna perkirakan satu jam kemudian, kantin ini akan ramai diisi oleh mahasiswa dari berbagai fakultas.
"Hamna, kamu mau makan apa? aku akan pesankan untuk sahabat terbaikku ini" Fiya bertanya memecah lamunan Hamna tentang keramaian yang akan tercipta di kantin ini.
"Eh? bukannya aku sudah bilang, secangkir kopi?"
"Hanya kopi? Tidak boleh! Setidaknya kamu harus makan sesuatu agar perutmu tidak sakit nanti, pagi-pagi selalu minum kopi, itu tidak bagus kamu tahu, kan?"
"Tidak, kopi saja, secangkir. Aku tidak mau makan yang lain," tolak Hamna padanya, bukannya berniat menolak ketulusan hatinya, hanya saja Hamna tidak biasa makan makanan berat saat pagi.
Hamna telah terbiasa menyesap pahitnya kopi. Walaupun kebiasaan itu seringkali menyebabkan perih lambungnya.
"Kalau begitu, baiklah, akan aku pesankan. Ayo duduk di ujung sana, sebentar lagi mahasiswa dari fakultas lain pasti akan datang dan suasana akan jadi ramai." Hamna mengikutinya ke tempat yang Fiya pilih dan menunggu selama beberapa saat.
Tak lama kemudian pesanannya datang. Ada secangkir kopi untuk Hamna, satu porsi roti bakar, satu porsi nasi goreng yang kelihatannya menggugah selera, dan minuman yang lain, lengkap dengan makanan penutup. Hamna tidak tahu kalau selera makan Fiya begitu besar.
Setelah pelayan meletakkan satu persatu hidangan, Fiya bersuara, "Hamna, ayo makan, kudengar semuanya ini menu yang paling enak." Hamna menatap Fiya yang meletakkan seporsi roti bakar itu ke hadapannya, rupanya pesanan itu sengaja di pesannya untuk Hamna.
Hamna mengangguk saja lalu mengambil secangkir kopi yang uapnya masih mengepul panas. Gadis itu menghirup aromanya pelan lalu menyeruputnya. Dilihatnya Fiya yang sedang menikmati nasi gorengnya.
Ia tampak lahap sekali, membuat Hamna bertanya apakah begitu enak? Melihatnya makan, membuat Hamna sedikit lapar, lalu ia mencicipi roti bakar yang tadi ia berikan padanya, hmm ternyata enak juga, lebih enak dari yang biasa dibuat Bibi Ina, pembantunya di rumah.
Beberapa lama, ia sudah selesai makan, kopinya juga tandas. Meninggalkan ampas yang pekatnya bahkan tak sepekat kehidupannya. Ah, hidup.
Setelah merapikan semua peralatan makan, Fiya mulai mengeluarkan buku catatan dan alat tulisnya. Nampaknya ia akan mulai serius sekarang.
"Hamna, kamu sudah selesai, kan?" tanyanya agak pelan.
Hamna menganggukkan kepala pelan, "Sudah, mulai saja, apa yang mau kamu tanya?"
"Soal ini, kamu tahu kan aku banyak tertinggal mata kuliah semester ini, Pak Setya memintaku mengejar ketertinggalanku, kalau tidak aku tidak akan bisa menyusul untuk pengajuan judulku, hiks," terang Shafiya dengan wajah memelas, akhir-akhir ini Fiya memang seringkali terlambat masuk kelas, dosen di semester ini memang tak ada toleransi sama sekali, kalau telat maka tak akan dibiarkan mengikuti kelas sampai akhir.
"Berapa banyak mata kuliah yang harus kamu kejar?" tanya Hamna, serius.
Ia tampak berpikir keras, "Mungkin 5 atau 6? aku lupa," kekeh Fiya dengan cengiran khasnya.
"Hah?! Kamu ini bagaimana, mata kuliah sendiri tak ingat?" Hamna sungguh tak habis pikir, Fiya tertinggal mata kuliah sebanyak itu, bagaimana bisa?
"Maaf ... " raut wajahnya berubah antara sedih, bingung dan merasa bersalah. Hamna menebak dalam hatinya ia berjanji tak akan mengulang hal itu lagi.
Gadis itu memijit keningnya, ia agak kesal sekarang ini, tapi mau bagaimana pun Fiya adalah sahabatnya, Hamna harus membantunya. Jika tidak, maka habislah hidupnya jika orang tuanya mengetahui ini.
Ia tampak gusar sekarang, lalu Hamna menatap wajahnya itu, "Fiya ... "
Shafiya mengangkat kepalanya dan memandang Hamna "Iya?" jawabnya lirih.
"Aku mau membantu kamu, tapi ... " Hamna menggantung ucapannya, wajah Fiya seketika berbinar penuh harapan.
"Sungguh Hamna?"
"Iya, tapi aku mau kamu berjanji," ujar Hamna lebih serius.
"Apa itu? Aku, aku pasti akan menepati janjiku."
"Aku minta kamu datang pagi-pagi sekali dan ikut aku membaca buku di perpustakaan selama satu jam setiap harinya, masalah mata kuliahmu pasti akan selesai dengan segera, aku akan meminta Pak Setya mengadakan kelas tambahan untukmu setiap hari Rabu dan Jum'at, kamu setuju?" Hamna menjelaskan panjang lebar, sedangkan Fiya tampak berpikir keras.
Hamna tahu kebiasaan buruknya sampai ia tertinggal begitu banyak mata kuliah, Fiya tak suka membaca buku bahkan untuk sekedar membaca materi kuliahnya sendiri.
"Satu jam setiap hari membaca buku? Itu terlalu berat untukku, Hamna, hiks ... kamu tega!" keluh Fiya.
"Kamu bahkan tahu kalau aku tidak suka membaca, jangankan satu jam, satu menit saja aku tak akan tahan." Ia merengek pada Hamna seperti anak kecil yang tidak diijinkan bermain.
"Kamu mau atau tidak, itu terserah kamu. Aku akan tegas padamu kali ini," timpal Hamna tegas, sekalipun ia merengek dan menangis Hamna tak akan mengubah keputusannya kali ini.
"Iya, iya! A-Aku mau, deh," ucapnya lesu sambil menjatuhkan kepalanya ke meja. Pasti berat untuknya, tapi semuanya kan juga untuk kebaikannya.
"Jangan lupa buat ... " baru saja Hamna akan memerintahnya membuat daftar buku apa saja yang harus ia baca, tapi terhenti karena seseorang berdiri tepat di depan meja yang mereka tempati.
"Hai? Selamat Siang, maaf mengganggu kalian, tapi bolehkah saya duduk di sini karena di tempat lain sudah tidak ada tempat duduk lagi." Seorang laki-laki menyapa mereka.
Hamna menatapnya tak suka, apa dia tidak tahu mengganggu obrolan orang lain itu tidak sopan? Hamna melirik ke arah Fiya yang juga terkejut dengan kehadiran sosok itu, raut wajahnya seolah bertanya siapa dia?
Mana kutahu? Jawab Hamna dengan isyarat mulut.
Bukankah Fiya mengenal hampir seluruh laki-laki dari berbagai fakultas, kenapa dia memasang raut wajah seperti itu? pikir Hamna.
Laki-laki itu masih berdiri menunggu persetujuan kedua perempuan itu, Hamna memerhatikan pakaiannya, tidak seperti mahasiswa biasa, laki-laki itu terlihat mengenakan setelan jas formal berwarna broken white dengan tas laptop di tangan kanannya.
Rambutnya tertata rapi, senyumnya yang ramah menghias wajahnya yang bersih. Untuk seketika Hamna terpana, Fiya bahkan tak berkedip memandanginya.
"Maaf? Bolehkah saya duduk bersama kalian?" tanyanya lagi memastikan. Fiya antusias sekali menganggukkan kepala.
"Silahkan" jawab Hamna mempersilahkan dirinya untuk duduk. Laki-laki asing itu tampak senang.
"Fiya, kamu sudah selesai, kan? Ayo kita kembali ke kelas," ajak Hamna, laki-laki tampak terkejut.
Apakah dia pikir aku bersedia duduk dengan pria asing? Hamna berdiri, mengambil tasnya lalu bergegas pergi, tapi belum selangkah Hamna pergi, laki-laki itu memegang tangannya.
Hamna memandang tangannya yang dipegang tadi, lalu menatapnya tajam, ia langsung melepaskannya, "Ma-maaf! Maaf sekali, saya tidak bermaksud demikian," jelasnya, merasa bersalah.
"Tidak apa, silahkan duduk, kami sudah selesai," kata Hamna pelan, lalu melangkah pergi, laki-laki itu tampak mematung di tempat. Sedang Fiya sedang menunduk dan berusaha meminta maaf.
"Maaf Kak atas sikap teman saya, maaf sekali lagi, silahkan duduk, kami permisi ya. Semoga harimu menyenangkan," ucap Shafiya, namun suaranya masih dapat didengar oleh Hamna dari kejauhan, dia terlalu baik.
"Fiya, cepat!" Hamna memanggilnya sambil berjalan pergi.
"Iya iya!"
...............
"Kakak, semoga kita bisa bertemu lain kali." Fiya melambaikan tangan. Sedangkan Hamna sudah lebih dulu berjalan meninggalkan kantin.
"Ya, semoga," ucap lelaki itu pelan. Gadis yang menarik, ujarnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
senja ku
persahabatan hamna dan fiya ,seperti aku dulu🥰
mampir ya thot di cerita ku
2023-08-29
1
ninena
woahhhh
patut di apresiasi
2023-08-27
0
NoonaCha
smngat kak
jangan lupa mampir jga ya
2023-07-21
0