Senyum Milik Hamna

Hamna sudah semakin membaik, setelah melalui masa-masa kritis kurang lebih 15 hari, ia pulih dengan begitu cepat. Setelah masa pemulihan dia bisa pulang dan beraktifitas seperti biasa.

"Ayo satu suap lagi, Hamna" kata Haidar sambil menyendokkan satu sendok bubur ke mulutnya lagi. Semenjak masa kritis itu sifatnya pada Haidar mulai sedikit melunak, ia bahkan bersedia disuapi makan.

Benar-benar sebuah keajaiban bagi Haidar. Kadang Haidar berpikir mengenalnya secara tidak sengaja di kampus bukanlah suatu kebetulan belaka. Ia yakin ada yang sedang Tuhan rencanakan untuknya dan Hamna.

Apapun rencana-Nya, ia akan menerimanya dengan lapang dada, ia akan menjalani hidupnya dengan sebaik-baiknya. Tak akan ia biarkan sisa hidupnya ini sia-sia.

"Sudah, jangan suapi saya lagi, saya sudah kenyang, Pak" ucapnya dengan menolak suapan bubur terakhirnya.

"Kalau gitu, sekarang minum obat, ya" ujar Haidar lagi. Hamna menganggukkan kepalanya singkat. Walaupun ia sudah pulih, nada ketusnya itu tidak sepenuhnya hilang.

Haidar mengambil obat yang sudah disediakan perawat sebelumnya. Lalu membantu Hamna untuk meminum obat-obat itu.

Belum semenit ia menelan obat-obat itu, tiba-tiba saja ia muntah. Haidar langsung memijat tengkuknya pelan agar rasa mualnya hilang.

"Kenapa Hamna? Kamu tidak enak badan lagi? Bagian mana yang sakit? Cepat bilang, saya panggil dokter, ya?" kata Haidar dengan nada sedikit panik.

Hamna menepis tangannya pelan, "tidak usah, obatnya pahit, makanya saya rasanya mau muntah" jawabnya sambil merebahkan diri di bed.

Apa-apaan ini? Dia muntah hanya karena rasa obatnya pahit?. Apa dia tidak tahu aku panik dibuatnya. Benar-benar, ya.

Karena Haidar merasa Hamna mempermainkan dirinya, akhirnya ia menyentil kening Hamna dengan jari telunjuknya. Gadis itu menjerit "aw!"

lalu menatapnya jengkel.

"Apa? Mau marah?" tantang Haidar dengan berkacak pinggang.

"Kenapa Pak Haidar menyentil kening saya?"

"Anggap saja itu hukuman karena sudah membuat orang panik"

"Panik apanya?! Saya kan hanya muntah saja!"

"Ya, tapi kamu memuntahkan obatnya!"

"Tapi ... obatnya memang pahit, saya ... "

"Yang namanya obat ya pasti pahit! Yang manis itu cuma kamu!"

"Ha?" Hamna melongo mendengar ucapan Haidar yang spontan itu. "Gawat! Aku... Aku salah bicara lagi" maki Haidar

Ia tersenyum. Aku tidak salah, kan? Ia sedang tersenyum,... padaku? Benar, tidak salah, mataku tidak salah, itu memang Hamna yang sedang tersenyum.

Beberapa detik Haidar terdiam, Hamna yang tersenyum memang sangat manis. Itu adalah senyum milik Hamna. Senyum yang mampu menggetarkan hatinya.

"Apa saya memang manis, Pak?" ia bertanya dengan malu, Haidar tahu itu bukan gayanya sama sekali.

"Eh itu, kamu... kamu pasti salah dengar. Ya kamu salah dengar, ma-maksud saya yang namanya obat itu pasti pahit, yang manis itu hanya ... gula, ya gula." Haidar beralasan, tak mau Hamna tahu yang sebenarnya.

Hamna tampak merungut, "apakah aku salah? Tentu saja salah, aku baru saja memujinya lalu aku menghancurkannya begitu saja. Aku memang bodoh sekali dalam hal ini!"

"Saya panggil dokter untuk memeriksamu, ya" ucap Haidar cepat, berusaha mengalihkan topik ini segera.

"Tidak usah, Pak, saya sudah merasa baik, tidak perlu memanggil dokter hanya karena saya memuntahkan obat, jangan merepotkan mereka" ia berujar sambil menyandarkan dirinya dengan tenang.

"Ke sini saja, Pak. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan selama saya koma" Hamna bersuara lagi, kali ini ia meminta Haidar untuk duduk di samping bednya.

Haidar menghampirinya dengan pasti, lalu mengambil duduk di kursi yang ada tepat di samping bed itu. "Apa yang mau kamu tanyakan?" ia bertanya setelah duduk di samping bed tempat Hamna bersandar.

"Saya tidak tahu memulainya dari mana" matanya menatap lurus ke depan. Ia terbatuk pelan. Haidar memberinya air putih. Ia meminumnya cepat.

"Bagaimana kalau saya ceritakan awal kamu bisa koma?" tawar Haidar padanya, ia mengangguk menyetujui, "tapi sebelum saya ceritakan, sebaiknya kamu dengarkan sambil rebahan saja" ia menurut. Dan langsung mengambil posisi rebah.

"Kamu pasti ingat kan hari di mana pertama kali kita bertemu?"

"Ya, saya ingat, saat saya mau pulang, Pak Haidar mencegat saya dan menawarkan tumpangan, tapi ... saya tolak karena saya juga membawa motor."

"Hari itu, ketika kamu meninggalkan kampus, kamu mengendarai motor dengan begitu cepat. Setelah itu saya tidak melihatmu lagi di jalanan, padahal saya juga mengendarai motor dengan begitu cepat agar bisa menyusulmu ... "

" ... Lalu ketika saya melewati jalan raya, tiba-tiba saja ada kemacetan padahal di jalan itu lalu lintas biasanya lancar. Itu membuat saya penasaran. Saya bertanya ke sesama pengguna jalan, katanya terjadi kecelakaan tunggal ... "

" ... Mendengar ada kecelakaan tunggal membuat pikiran saya tertuju padamu, saya ingat betul sebelum pulang kamu tampak pucat, itulah kenapa saya menawarkan tumpangan ... "

"Jadi waktu itu Pak Haidar khawatir?" ia memotong ucapan Haidar.

"Tentu saja, saya takut terjadi hal buruk kepada mahasiswa bimbingan saya. Tapi sepertinya firasat saya tepat, ya? Jangan-jangan kita memang punya ikatan hati yang kuat?" goda Haidar sambil memberikannya senyum jahil.

Hamna tampak tersipu, ekspresinya begitu sangat menggemaskan. "Ma-Mana ada yang seperti itu, Pak. Apa yang terjadi pada saya itu adalah kehendak Tuhan!" jelasnya mengelak.

Haidar tertawa, "hahaha, kalau gitu, bisa kita lanjutkan?"

"Ya, lanjutkan saja ceritanya."

"Setelah saya tahu di depan jalan itu ada kecelakaan tunggal. Saya bertanya lebih jauh lagi bagaimana ciri-ciri si korban itu. Orang itu menjelaskan warna baju sampai jenis motornya ... "

" ... Ketika mengetahui hal itu, yang paling ingin saya lakukan saat itu adalah melihatmu baik-baik saja. Saya mencoba berkali-kali meyakinkan diri bahwa itu bukan kamu, itu pasti orang lain ..." Haidar melirik ia yang sedang menyimak ceritanya, Hamna benar-benar jadi pendengar yang baik.

" ... Tapi satu-satunya cara untuk memastikan itu bukan kamu adalah dengan melihatnya secara langsung, lalu saya menerobos kerumunan itu. Di sana saya lihat seseorang yang pakaiannya begitu mirip denganmu, terbaring di jalanan itu dan ... berlumuran darah ... "

"... Saya menghampiri sosok itu, ketika saya membalikkan balikkan tubuhnya, saya begitu kaget karena itu sungguhan kamu, Hamna. Seketika saya begitu kalut, melihatmu berlumuran darah, saya langsung membawamu ke rumah sakit ini ... "

" ... Sejak hari itu, hati dan pikiran saya tak pernah tenang, saat di mana kamu masuk ruangan ICU dan dinyatakan koma. Yang bisa saya lakukan hanyalah berdoa dan menunggu" Haidar mengakhiri ceritanya.

Matanya bergantu menatap Hamna lekat. Gadis itu tampak sedang berpikir.

"Saya ... kecelakaan?" tanyanya agak ragu. Haidar mengangguk yakin.

"Memangnya kamu tidak ingat apa-apa?" tanya Haidar merasa penasaran bagaimana dia bisa kecelakaan.

"Sebentar, biar saya ingat-ingat lagi" ia berkata kemudian dengan menopang dagu. Alisnya bertautan menandakan ia sedang berpikir dengan begitu keras.

"Sudah kalau tidak ingat, tidak perlu dipaksa, nanti kepalamu meledak"

"Mana mungkin kepala bisa meledak hanya karena mengingat sesuatu?" aih, dasar gadis dingin, memang tidak bisa diajak bercanda.

Haidar berdeham, "bagaimana kalau kuberitahu tentang Fiya saja?" lanjut Haidar agar Hamna tidak perlu mengingat kecelakaan itu lagi. Mengingatnya hanya akan membuat dada Haidar terasa sesak lagi. Akan lebih baik jika Hamna melupakannya saja.

"Oh iya, bagaimana keadaan Fiya sekarang?" Ia bertanya dengan antusias. Raut wajahnya seketika berbinar.

Pengalihan Haidar berhasil, sudah ia duga berbicara tentang Fiya akan mengalihkan pikirannya. "Aku memang laki-laki yang cerdas." bangga Haidar.

"Fiya, sama seperti saya, ketika ia tahu kamu kecelakaan ia jadi begitu khawatir, setiap hari kami menungguimu secara bergantian"

"Bagaimana dengan pelajaran dan kelas tambahan Fiya? Padahal saya sudah berjanji akan membantunya, tetapi saya malah ... " ujar Hamna merasa bersalah. Haidar memegang tangannya dan tersenyum.

"Fiya mengerjakan semuanya dengan baik, saya membantunya membuat jadwal kelas tambahannya selama 2 minggu ini. Ia juga sekarang lebih banyak membaca buku, kadang ia membawa buku-buku itu ke sini dan membacanya hingga tertidur"

"Ya ampun benarkah? Fiya, dia berusaha begitu keras, pasti berat untuknya"

"Tidak, itu terlalu berlebihan. Fiya bahkan tidak ada membaca buku sampai setengahnya, dia tertidur karena kelelahan bukan membaca buku-buku itu" batin Haidar.

"Terima kasih, Pak, sudah membantu saya sebanyak ini, entah dengan apa saya harus membalasnya?" Hamna berterima kasih pada Haidar sambil mengatupkan tangan.

"Tidak perlu terlalu dipikirkan, sudah seharusnya sebagai manusia yang baik saling membantu yang lain" kata Haidar sungkan sambil tersenyum, ini bukan pertama kalinya ia berterima kasih, tapi entah mengapa ucapan terima kasihnya kali ini terdengar begitu tulus.

"Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti kita cerita lagi setelah Fiya datang"

"Fiya mau datang ke sini?"

"Iya "

"Kapan?"

"Mungkin sekitar 2 jam lagi, setelah kelas tambahannya selesai. Jadi lebih baik sekarang kamu istirahat dulu supaya nanti bisa mengobrol panjang lebar" jelas Haidar, dan Hamna menurut, ia langsung mengambil posisi tidur.

Setelah memastikannya berbaring dengan benar, Haidar melangkahkan kakinya ke Coffee Shop.

"Saya pergi ke coffee shop dulu, kalau ada apa-apa, tekan saja bel yang ada di nakas itu" kata Haidar sebelum pergi.

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

🤣🤣🤪

2024-11-27

0

『ꌚꉣꋫ꒓ꋫ꓅ꂑꌚ』ꇓꂑꋫꆂ ꁒꂑꁹꁍ 🅰️

『ꌚꉣꋫ꒓ꋫ꓅ꂑꌚ』ꇓꂑꋫꆂ ꁒꂑꁹꁍ 🅰️

anda panik dan jadi minus IQ pak dosen eh /Smile/

2023-10-08

1

lihat semua
Episodes
1 Pertemuan Pertama (Revisi)
2 Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)
3 Imam itu, Haidar Musyaffa Khairullah (Revisi)
4 Perempuan Luar Biasa (Revisi)
5 Laki-laki Pelindung
6 Senyum Milik Hamna
7 Haidar yang Perhatian
8 Prahara
9 Hantu Rumah Sakit
10 Menurutmu, itu Cinta?
11 Obrolan Tengah Malam
12 Kopi dan Teh
13 Tangis Duka Shafiya
14 Gundah yang Menyelimuti
15 Haidar Sakit
16 Wifey Material
17 Toko Buku
18 Jangan Membuatku Panik!
19 Buku Apa yang Kamu Suka?
20 A Gift
21 Apa Kamu Pernah Mencintai?
22 Genting
23 Takdir
24 Dokter Fatih
25 Nasi Goreng Cinta
26 Nasi Goreng Cinta 2
27 Pengkhianatan
28 Making a Breakfast
29 Menikahlah Dengan Saya
30 Pernikahan Paksa
31 Couple Ring
32 Dusta Haidar
33 My Future
34 Gombalan Haidar
35 Sesak yang Terlepas
36 Pencuri!
37 Jangan Takut, Ada Saya
38 Bukan Salahmu
39 Orang Tua Hamna
40 Duka Kesepian
41 Aku Takut Terluka
42 Tetangga Baru
43 Menjadi Dewasa
44 Good Child
45 Aku Menangkapmu!
46 El?
47 Rindu yang Tak Pernah Usang
48 Im With You
49 Sebuah Keputusan
50 El Hilang
51 Little Hamna
52 Kenang yang Mengusik
53 Amarah
54 Luka Itu...
55 WDYM
56 Berhak Bahagia
57 Masa Lalu Hamna
58 Masa Lalu Hamna 2
59 Kejujuran Haidar
60 Dia, Zayan Lathif Halim
61 Pertemuan Tak Terduga
62 Tenggelam
63 Maaf yang Tertunda
64 Usaha Berdamai
65 Awal Baru
66 Kakak Cantik
67 Gadis Yatim
68 Kemarahan Haidar
69 Lebam
70 141 Hari Mencintaimu
71 Kejutan Kecil
72 Tanpa Pamit
73 Sepucuk Surat
74 3 Tahun Merindu
75 Rindu yang Tertahan
76 Kabar Baik
77 Tak Pernah Terlupakan
78 Rasa Bersalah
79 Sebuah Penjelasan
80 Renungan Panjang
81 Cincin yang Sama
82 Jatuh Cinta Lagi
83 Yang Terpatri
84 Kaivan dan Tanaya
85 Derita Catharine
86 Menjaga Cameron
87 Kembali Ke Indonesia
88 Propose Me Properly
89 Restu Keluarga
90 Hari Pernikahan
Episodes

Updated 90 Episodes

1
Pertemuan Pertama (Revisi)
2
Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)
3
Imam itu, Haidar Musyaffa Khairullah (Revisi)
4
Perempuan Luar Biasa (Revisi)
5
Laki-laki Pelindung
6
Senyum Milik Hamna
7
Haidar yang Perhatian
8
Prahara
9
Hantu Rumah Sakit
10
Menurutmu, itu Cinta?
11
Obrolan Tengah Malam
12
Kopi dan Teh
13
Tangis Duka Shafiya
14
Gundah yang Menyelimuti
15
Haidar Sakit
16
Wifey Material
17
Toko Buku
18
Jangan Membuatku Panik!
19
Buku Apa yang Kamu Suka?
20
A Gift
21
Apa Kamu Pernah Mencintai?
22
Genting
23
Takdir
24
Dokter Fatih
25
Nasi Goreng Cinta
26
Nasi Goreng Cinta 2
27
Pengkhianatan
28
Making a Breakfast
29
Menikahlah Dengan Saya
30
Pernikahan Paksa
31
Couple Ring
32
Dusta Haidar
33
My Future
34
Gombalan Haidar
35
Sesak yang Terlepas
36
Pencuri!
37
Jangan Takut, Ada Saya
38
Bukan Salahmu
39
Orang Tua Hamna
40
Duka Kesepian
41
Aku Takut Terluka
42
Tetangga Baru
43
Menjadi Dewasa
44
Good Child
45
Aku Menangkapmu!
46
El?
47
Rindu yang Tak Pernah Usang
48
Im With You
49
Sebuah Keputusan
50
El Hilang
51
Little Hamna
52
Kenang yang Mengusik
53
Amarah
54
Luka Itu...
55
WDYM
56
Berhak Bahagia
57
Masa Lalu Hamna
58
Masa Lalu Hamna 2
59
Kejujuran Haidar
60
Dia, Zayan Lathif Halim
61
Pertemuan Tak Terduga
62
Tenggelam
63
Maaf yang Tertunda
64
Usaha Berdamai
65
Awal Baru
66
Kakak Cantik
67
Gadis Yatim
68
Kemarahan Haidar
69
Lebam
70
141 Hari Mencintaimu
71
Kejutan Kecil
72
Tanpa Pamit
73
Sepucuk Surat
74
3 Tahun Merindu
75
Rindu yang Tertahan
76
Kabar Baik
77
Tak Pernah Terlupakan
78
Rasa Bersalah
79
Sebuah Penjelasan
80
Renungan Panjang
81
Cincin yang Sama
82
Jatuh Cinta Lagi
83
Yang Terpatri
84
Kaivan dan Tanaya
85
Derita Catharine
86
Menjaga Cameron
87
Kembali Ke Indonesia
88
Propose Me Properly
89
Restu Keluarga
90
Hari Pernikahan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!