Jam yang tergantung di dinding putih itu menunjuk ke angka sebelas lewat, malam kian pekat, terang bulan bahkan tak mampu menyembunyikan temaramnya. Sunyi. Sepi. Gelisah. Setidaknya itulah yang Hamna rasakan sekarang. Gadis itu masih terjaga, sesuatunya telah mengganggu hatinya sehingga ia belum juga terlelap di larutnya malam.
Hamna benar-benar jadi gamang, isi pikirannya berhamburan kesana kemari, selepas Fiya pergi pikiran dan hatinya sungguh jadi tak bisa tenang.
"Haidar ... "
Tiba-tiba saja sebuah nama lolos dari lisan Hamna yang mungil. Kini ia berbaring, tubuhnya terasa sangat lelah padahal ia tidak melakukan pekerjaan berat apapun.
"Hamna, apakah kamu tidak sadar? Pak Haidar itu sepertinya menyukai kamu" ia teringat kembali dengan percakapannya dengan sahabatnya dua jam yang lalu.
"Apa? Apa maksudmu Fiya? Itu tidak mungkin, aku dan Pak Haidar hanya sekadar dosen dan mahasiswa, mana ada perasaan seperti itu" Hamna menyangkal, menepis sesuatu yang bahkan tidak ia pahami.
"Aku tahu hubungan kalian memang hanya sebatas itu, tapi hati orang siapa tahu Hamna? Lagipula kulihat Pak Haidar itu selalu baik padamu, lho"
"Ah, Fiya, kalau dia baik padaku, berarti memang dia seseorang yang baik. Kalaupun Pak Haidar memiliki perasaan terhadapku, itu pasti hanya perasaan senang yang sesaat saja" Hamna menarik napas sesak.
"Hamna, kamu selalu begini. Kamu selalu menyangkal perasaan seseorang padamu" sentak Fiya agak kecewa terhadap sikap Hamna.
"Bukan begitu, Fiya, kamu pun tahu kan, akan sangat sulit bagiku jatuh cinta, aku ... "
"Tidak sulit, Hamna, kamu bukannya sulit untuk jatuh cinta tapi sulit untuk membuka hati kembali. Sadarlah, Hamna, seseorang itu sudah menjadi masa lalu, dia juga yang mengkhianati kamu, dia sudah mengecewakan perasaanmu. Sampai kapan kamu mau terbelenggu dengan masa lalu?" Fiya berhenti sejenak, menarik napas.
"Aku tidak tahu ... " jawab Hamna dengan suara yang parau. Matanya mulai mengeluarkan embun, tapi sekuat mungkin ia tahan. Ia tak boleh menangis di hadapan Fiya.
"Segera, kamu harus bergegas melupa. Hamna, aku ini sahabatmu selama bertahun-tahun, aku tahu kamu mencintainya, tapi itu perasaan 4 tahun lalu. Sekarang dia mungkin sudah bahagia dengan istrinya, sedangkan kamu masih menjadi seseorang yang meratapi cinta dengan amat menderita. Berhentilah Hamna, berhenti menyiksa diri dan hatimu sendiri" jelas Fiya dengan sungguh.
Sinar di matanya bahkan tak bisa membohongi cahaya di ruangan rumah sakit. Jauh di lubuk hatinya, ia sungguh ingin melihat Hamna kembali tersenyum dengan bahagia. Ia sungguh ingin melihat Hamna kembali mencintai seseorang, tidak terus menerus terbelenggu cinta yang bahkan tak mampu lagi Hamna dapatkan.
Selepas mendengar perkataan Fiya Hamna terdiam, kepalanya tertunduk sayu, di pelupuk matanya, setetes demi setetes cairan bening mulai membasahi selimutnya dengan pedih. Ternyata ia tak mampu menahannya. Meskipun Fiya adalah sahabatnya, tapi ia tidak tahu keseluruhan isi hatinya. Hatinya ini sudah babak belur, bagaimana bisa ia memulihkan hati untuk menerima cinta yang baru?
Fiya mudah saja mengatakan harus berhenti, tapi perasaan Hamna untuk seseorang itu adalah sesuatu yang di luar kendali Hamna sendiri. Hamna juga ingin berhenti mencintainya, menghapus segala kenangannya tapi sekuat itu pula ingatan itu menghantam kepalanya.
Jangan mengira ia tak pernah coba melupakan, sudah berulangkali ia berusaha, hasilnya tetap saja ia tak mudah merelakan cintanya selama bertahun-tahun. Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang, cinta pertama itu sangat sulit dilupakan.
Hamna mengusap air matanya yang mengalir di pipi mulusnya dengan pelan, ia merasakan telapak tangannya sangat dingin, sedingin hatinya, sebeku perasaannya saat ini. "Ya Allah, hilangkanlah perasaan cinta yang tidak semestinya ini, hilangkan semua perasaanku untuknya sampai habis tak bersisa, aku lelah terus terbelenggu perasaan yang menyiksa hati" lirihnya dalam hati.
Di kegelapan, ditemani temaramnya lampu, seseorang berjalan dengan sedikit menjinjing resah, pikirannya begitu kusut, sekusut benang tenun yang tergulung berantakan. Meski pikirannya tengah kalut, ia tak menghentikan langkahnya untuk menemui seseorang. Dengan langkah tegap dan pasti ia terus melangkah, menjejaki lantai rumah sakit hingga derap suara sepatunya menghiasi sunyinya kamar-kamar rumah sakit.
Setelah ia menemukan ruangan yang ia tuju, ia membuka pintunya dengan sangat hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara karena takut membangunkan seseorang yang sedang terlelap di dalam sana. Hamna yang mendengar pintu ruangannya dibuka seketika berdebar jantungnya, ia menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Perlahan, ia mendengar derap langkah semakin dekat ke arah ranjangnya, ia merapal doa-doa yang diingatnya berharap sesuatu itu pergi. Tangannya bergetar menahan selimutnya agar tidak tersingkap.
Seseorang itu duduk di sebelah kanan ranjang, ia menarik napas dalam, sejujurnya ia ingin sekali mengobrol bersama Hamna, mencurahkan isi kepalanya juga berbagi keresahan hatinya dengan Hamna. Tapi ia tidak bisa mengganggu tidur Hamna hanya karena ia ingin bercerita.
Hamna mencoba memejamkan matanya paksa, tapi tiba-tiba sesuatu menyentuh bahunya, ia berteriak takut.
"Aaaaahhh, han.... hantuuuuu, ja-jangan ganggu aku. TOLONG!!!" teriaknya histeris sambil menutupi matanya, kakinya bergerak menjejak-jejak ujung ranjang, berusaha mengusir sesuatu yang tak kentara. Sedangkan seseorang yang terduduk itu merasa keheranan, "hantu? Di mana ada hantu?"
Matanya menatap ke sekitar, ia tak melihat apapun, memahami situasi yang terjadi dengan gesit ia menyalakan saklar lampu. Seketika ruangan menjadi terang. Hamna yang merasa ada seseorang akhirnya membuka mata dengan perlahan, matanya basah penuh dengan air mata.
Netranya menangkap kehadiran Haidar yang sedang berdiri kebingungan, jantung Hamna masih berdegup kencang karena ketakutan. Haidar dengan perlahan menghampiri Hamna.
"Kamu kenapa, Hamna? Mimpi buruk?" tanya Haidar sembari memberikan segelas air putih yang ada di nakas.
Hamna menarik napas panjang berkali-kali, meredakan ketakutannya tadi. Ia menerima gelas dari Haidar dan meminumnya hingga habis. "Tidak, saya belum tertidur" jawab Hamna.
Haidar kembali duduk di samping ranjang Hamna, ia merapikan bantal yang tadi sempat dilempar Hamna, meletakkannya kembali ke tempatnya semula.
"Lalu?" tanya Haidar lagi, ada banyak hal berjejalan di kepalanya sampai ia tidak bisa menangkap apa yang dikatakan Hamna.
"Saya tak bisa tidur, Pak, terus tiba-tiba saya mendengar suara pintu dibuka, saya pikir itu ... hantu" jawab Hamna jujur.
"Hantu? Hantu rumah sakit yang bergentayangan?" tanya Haidar menahan tawa. Hamna mengangguk dengan serius. Hamna berpikiran jika hantu gentayangan itu ada. Para hantu itu pasti menghuni bangsal rumah sakit sama seperti manusia.
Haidar tertawa hingga perutnya sakit, Hamna yang melihatnya menaikkan sebelah alisnya, "apa yang salah? Hantu kan memang benar-benar ada." Hamna menatap Haidar sambil melipat kedua tangannya di dada, tatapan matanya seolah bertanya dan meminta penjelasan atas tawa Haidar yang begitu menggelegar, apa yang salah dengan itu?
Seketika, tawa Haidar terhenti, ia pun sama, netranya menatap sepasang mata Hamna yang berwarna kecoklatan. Untuk beberapa detik, tatapan keduanya terpaku satu sama lain. Dua manusia itu saling mencari kebenaran di kedalaman mata, seolah kedua pupil mata adalah brankas tempat menyimpan berjuta kebenaran.
Tapi, apa yang bisa disiratkan oleh mata? Selain menangkap kebenaran, mata juga seringkali menipu kenyataan.
Pada akhirnya, Hamna mengalihkan pandangannya, entah apa yang dirinya lakukan tadi. Mencari kebenaran apa? Yang ia lihat di mata Haidar yang kebiruan hanyalah tatapan biasa.
"Kenapa Pak Haidar tiba-tiba datang? Apa Pak Haidar tak punya rumah untuk pulang, sampai harus ke sini di malam yang selarut ini?" tanya Hamna berikutnya, setelah ia berhasil mengatasi degup jantungnya yang tak beraturan.
Haidar mengernyitkan kening, tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Hamna. "Ya, saya baru saja melarikan diri dari rumah. Saya tak punya rumah untuk pulang sekarang." Jawabnya kemudian, dengan nada sedih yang dibuat-buat, ia tidak berbohong, ia benar-benar pergi dari rumah selepas makan malam tadi.
Hamna yang mendengarnya terkejut sekaligus tak percaya, "Ap-Apa maksudnya itu?" ia mengalihkan pandangannya kembali kepada Haidar.
"Ya, artinya saya tak punya rumah" jawabnya lagi, kali ini dengan memasang wajah memelas.
Melihatnya, Hamna jadi iba, "dosen pembimbing yang malang," ucapnya dalam hati. Baru beberapa saat Hamna merasa iba, tiba-tiba Haidar tertawa lagi. "Kamu ini mudah sekali ditipu, ya"
Merasa dirinya dipermainkan, Hamna melempar bantalnya ke arah Haidar. Bagaimana bisa orang ini bercanda dengan begitu meyakinkan sampai Hamna dibuat iba olehnya.
"Hahahaha, maaf, lho. Saya cuma bercanda. Saya cuma bercanda, tadi saya baru pulang, kok, terus ingat ada janji menemani kamu di sini"
"Tidak perlu repot-repot, ada Bibi Ina di sini, Pak Haidar pulang saja. Lagipula tidak nyaman jika ada orang asing di sini"
Haidar tersentak, ternyata dalam pandangan Hamna, Haidar hanyalah orang asing. Orang asing yang tak sengaja bertemu. Ada getir yang merayapi hati Haidar, hatinya tiba-tiba terasa sakit dan sesak.
"Kalau begitu, saya pulang, ya. Jaga dirimu, semoga lekas pulih jadi bisa cepat-cepat masuk kampus." Pamitnya dengan tersenyum pada Hamna lalu pergi melangkah keluar dengan pasti. Membawa serta getir yang dirasa. Meninggalkan kepedihan bersama Hamna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Bukalah hatimu untuk Haidar ya 🤭
2024-11-28
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Hantu mana bisa buka pintu 🤣
2024-11-28
0
『ꌚꉣꋫ꒓ꋫ꓅ꂑꌚ』ꇓꂑꋫꆂ ꁒꂑꁹꁍ 🅰️
jir , dimana diri udah nyaman disebut asing tuh rasanya , "aku berlebihan"/Shame/
2023-10-08
1