NovelToon NovelToon

141 Hari Mencintaimu (Tamat)

Pertemuan Pertama (Revisi)

"Hamna!" panggil seseorang dari kejauhan, ia sangat mengetahui suaranya yang melengking itu, manusia paling cerewet yang sayangnya sudah lama ia kenal, menyebalkan sekali suaranya menghentikannya begitu saja. Padahal, 3 langkah lagi gadis itu sampai di kelasnya pagi ini.

Kadang, Hamna membenci perempuan yang satu itu, tapi hanya dia yang selalu berada di sisinya sejauh ini. Dia, perempuan yang memanggilnya tadi adalah Shafiya El-Qamar, sahabat karibnya sejak bangku SMA.

Hamna menoleh ke belakang untuk menyahuti suaranya yang melengking itu. Fiya tampak berlari-lari kecil menghampiri Hamna.

"Apa, Fiya?" jawabnya setelah gadis itu sampai di hadapan Hamna dengan napas terengah-engah.

"Tunggu sebentar, aku kehabisan napas!" katanya dengan napas tersengal sembari menyeka keringat di dahinya.

"Siapa yang menyuruh kamu berlari di koridor kampus sepagi ini?" Hamna bertanya pelan, sembari menunggunya dengan sabar.

"Huh!" Fiya mendengus kesal, jangan tanya, ia selalu begitu, "Tentu saja tidak ada, aku hanya ingin mengejarmu dan bersama masuk ke kelas, Na," lanjutnya dengan senyum khasnya sembari membenarkan pakaiannya yang lusuh akibat berlari tadi.

"Fiya, kamu tidak perlu bersusah payah," jawab Hamna dengan suara datar, Hamna datang pagi-pagi karena ingin berjalan sedikit tenang, tapi dia tidak menyangka makhluk satu ini, eh sahabatnya itu justru mengikutinya. Tidak seperti kebiasaannya yang datang ketika kelas sudah selesai.

"Hahahaha!" Fiya tertawa, lalu berkata, "Sama sekali gak keberatan. Ayo, ayo, ayo kita masuk ke kelas sebelum teman-teman yang lain datang," ajaknya dengan menggandeng tangan Hamna.

"Katakan saja dengan jujur dan terus terang, kamu mau bertanya tugas apa?" Hamna langsung menodongnya dengan pertanyaan telak seperti itu, sebagus apapun tingkahnya Hamna tetap tahu apa yang dia ingin, datang pagi-pagi lalu mengejar Hamna di koridor, untuk apalagi jika bukan perkara tugas kuliahnya?

Hamna melihat wajahnya yang tadi riang berubah agak serius, tapi tetap saja yang dilihat adalah wajahnya yang menyebalkan. "Aduh, duh duh duh! Sahabatku Hamna yang cerdas ini ternyata bisa langsung menebaknya ya! aku jadi malu nih."

Yang benar saja? Hamna mengerutkan kening.

"Hmmm ... " gumam Hamna singkat sembari memerhatikan sekelilingnya, dalam keadaan sepagi itu kelas jadi sangat hening, tapi sebentar lagi keheningan ini pasti akan musnah ketika yang lainnya datang.

"Heh! kenapa? Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Fiya, matanya mengikuti Hamna memerhatikan sekelilingnya, "Apakah ada yang mengganggumu pagi ini, Na?" Fiya bertanya khawatir.

"Tidak ada," jawab Hamna pelan.

"Terus kenapa raut wajah kamu begitu! Kamu tahu kan ekspresimu yang seperti Burung Elang itu membuatku takut," omelnya panjang.

"Dasar Fiya! sebentar lagi ramai, ayo masuk, kita bicarakan tugasmu di dalam kelas." Setelah mengatakannya, Hamna langsung berjalan pergi meninggalkan Fiya sendirian.

"Eh, eh, eh tunggu dulu Hamnaaaaa."

"Aku belum selesai memarahimu!" makinya pada Hamna lalu mengejar langkahnya.

"Jangan berisik Fiya, ini masih pagi, aku ingin tenang." Hamna menghela napas, bersama Fiya bisa menghabiskan lebih banyak energi, tapi jika dia tidak ada, hari-hari Hamna pasti akan jadi begitu hampa.

Setelah itu, suasana mendadak senyap, tak ada lagi suaranya, ia benar-benar jadi tenang setelah Hamna berucap lugas, lalu Hamna mengambil duduk di kursi paling pojok depan.

"Oke, oke, oke, maaf ya Hamna? maaf untuk kebisingan yang aku buat pagi ini, maaf sekali Hamnaku yang cantik, cerdas dan baik," ia berkata sambil memasang senyum centilnya pada Hamna, walau kadang ia begitu menyebalkan tapi apa yang Fiya lakukan untuk Hamna, termasuk permintaan maafnya, Hamna tahu ia begitu tulus mengatakannya.

Jadi, mana mungkin Hamna tidak memaafkannya?

Hamna masih diam, berusaha mencari tenang dalam hatinya sendiri. "Oh ya, Hamna, sebelum itu ... " Fiya berhenti sejenak.

"Bisakah kita pergi sarapan dulu? Perutku lapar banget nih, hehe," ucapnya dengan kekehan kecil, memecah keheningan. Ternyata suara aneh yang tadi didengar Hamna adalah suara cacing dalam perut Fiya.

Hamna mengiyakan ajakannya, seorang Hamna mana tega melihat sahabatnya kelaparan, apalagi Fiya tidak akan bisa berpikir jika perutnya kelaparan. "Oke, kebetulan aku juga mau minum kopi, karena kamu yang mengajaknya, kamu yang bayar, oke?"

"APA?!" teriaknya cukup keras sampai Hamna harus menutup telinganya. Apa dia harus begitu histeris hanya karena aku meminta ditraktir?

"Ya ampun! kenapa kamu begitu histeris? Aku kan cuma meminta traktir secangkir kopi aja, Fi," kata Hamna, tak percaya Fiya begitu perhitungan.

Fiya seketika memegang tangan Hamna. "Tidak, tidak, tidak! bukan begitu. Maksudku, ini pertama kalinya, lho, kamu minta aku mentraktirmu, aku jadi terharu, hiks, akhirnya kamu menganggap aku sebagai sahabatmu," matanya berkaca-kaca karena terharu.

Shafiya ini kenapa suka melebih-lebihkan sesuatu? pikir Hamna lagi.

"Sudah, gak perlu sesedih itu, aku minta traktir karena lupa membawa dompet," ucap Hamna jujur, dia lupa membawa dompetnya, Hamna bahkan lupa membawa laptop miliknya, karena begitu terburu-buru ingin lekas pergi dari rumah, gadis itu melupakan hal-hal penting yang seharusnya dibawa.

"Ya Tuhan ... Semoga Hamna selalu lupa membawa dompetnya, jadi aku bisa terus mentraktirnya terus setiap hari."

"Kamu sedang mendoakan kemalangan untukku? Itu gak bagus, Fiya."

"Hahaha Enggak, kok! Ayo, ayo, ayo kita ke kantin, aku sudah lapar." Fiya menarik lengan Hamna dengan semangat menggebu-gebu.

Membuat Hamna tersentak, menyebalkan! Di lain sisi ia seringkali membuatnya jengkel, tapi di sisi yang lain Hamna juga merasa bersyukur memiliki teman yang lugu seperti Shafiya. Eum, setidaknya itu yang dipikirkan Hamna tentang Shafiya. Gadis Lugu, Fiya.

***

DI KANTIN

Kantin kampus itu cukup luas, ada berbagai macam penjual makanan dan minuman. Bergaya modern dengan dinding putih yang dihias berbagai kaligrafi dan grafiti karya mahasiswa seni, membuatnya jadi lebih menarik dilihat.

Di tiap pojok kantin ada pohon yang sengaja ditanam untuk menambah suasana yang sejuk. Hamna merasa dia mulai menyukai tempat ini, lain kali ia akan sering mengunjungi kantin daripada perpustakaan.

Sepagi ini, kantin masih tampak sepi, beberapa pedagang juga belum semuanya membuka gerai. Tapi Hamna perkirakan satu jam kemudian, kantin ini akan ramai diisi oleh mahasiswa dari berbagai fakultas.

"Hamna, kamu mau makan apa? aku akan pesankan untuk sahabat terbaikku ini" Fiya bertanya memecah lamunan Hamna tentang keramaian yang akan tercipta di kantin ini.

"Eh? bukannya aku sudah bilang, secangkir kopi?"

"Hanya kopi? Tidak boleh! Setidaknya kamu harus makan sesuatu agar perutmu tidak sakit nanti, pagi-pagi selalu minum kopi, itu tidak bagus kamu tahu, kan?"

"Tidak, kopi saja, secangkir. Aku tidak mau makan yang lain," tolak Hamna padanya, bukannya berniat menolak ketulusan hatinya, hanya saja Hamna tidak biasa makan makanan berat saat pagi.

Hamna telah terbiasa menyesap pahitnya kopi. Walaupun kebiasaan itu seringkali menyebabkan perih lambungnya.

"Kalau begitu, baiklah, akan aku pesankan. Ayo duduk di ujung sana, sebentar lagi mahasiswa dari fakultas lain pasti akan datang dan suasana akan jadi ramai." Hamna mengikutinya ke tempat yang Fiya pilih dan menunggu selama beberapa saat.

Tak lama kemudian pesanannya datang. Ada secangkir kopi untuk Hamna, satu porsi roti bakar, satu porsi nasi goreng yang kelihatannya menggugah selera, dan minuman yang lain, lengkap dengan makanan penutup. Hamna tidak tahu kalau selera makan Fiya begitu besar.

Setelah pelayan meletakkan satu persatu hidangan, Fiya bersuara, "Hamna, ayo makan, kudengar semuanya ini menu yang paling enak." Hamna menatap Fiya yang meletakkan seporsi roti bakar itu ke hadapannya, rupanya pesanan itu sengaja di pesannya untuk Hamna.

Hamna mengangguk saja lalu mengambil secangkir kopi yang uapnya masih mengepul panas. Gadis itu menghirup aromanya pelan lalu menyeruputnya. Dilihatnya Fiya yang sedang menikmati nasi gorengnya.

Ia tampak lahap sekali, membuat Hamna bertanya apakah begitu enak? Melihatnya makan, membuat Hamna sedikit lapar, lalu ia mencicipi roti bakar yang tadi ia berikan padanya, hmm ternyata enak juga, lebih enak dari yang biasa dibuat Bibi Ina, pembantunya di rumah.

Beberapa lama, ia sudah selesai makan, kopinya juga tandas. Meninggalkan ampas yang pekatnya bahkan tak sepekat kehidupannya. Ah, hidup.

Setelah merapikan semua peralatan makan, Fiya mulai mengeluarkan buku catatan dan alat tulisnya. Nampaknya ia akan mulai serius sekarang.

"Hamna, kamu sudah selesai, kan?" tanyanya agak pelan.

Hamna menganggukkan kepala pelan, "Sudah, mulai saja, apa yang mau kamu tanya?"

"Soal ini, kamu tahu kan aku banyak tertinggal mata kuliah semester ini, Pak Setya memintaku mengejar ketertinggalanku, kalau tidak aku tidak akan bisa menyusul untuk pengajuan judulku, hiks," terang Shafiya dengan wajah memelas, akhir-akhir ini Fiya memang seringkali terlambat masuk kelas, dosen di semester ini memang tak ada toleransi sama sekali, kalau telat maka tak akan dibiarkan mengikuti kelas sampai akhir.

"Berapa banyak mata kuliah yang harus kamu kejar?" tanya Hamna, serius.

Ia tampak berpikir keras, "Mungkin 5 atau 6? aku lupa," kekeh Fiya dengan cengiran khasnya.

"Hah?! Kamu ini bagaimana, mata kuliah sendiri tak ingat?" Hamna sungguh tak habis pikir, Fiya tertinggal mata kuliah sebanyak itu, bagaimana bisa?

"Maaf ... " raut wajahnya berubah antara sedih, bingung dan merasa bersalah. Hamna menebak dalam hatinya ia berjanji tak akan mengulang hal itu lagi.

Gadis itu memijit keningnya, ia agak kesal sekarang ini, tapi mau bagaimana pun Fiya adalah sahabatnya, Hamna harus membantunya. Jika tidak, maka habislah hidupnya jika orang tuanya mengetahui ini.

Ia tampak gusar sekarang, lalu Hamna menatap wajahnya itu, "Fiya ... "

Shafiya mengangkat kepalanya dan memandang Hamna "Iya?" jawabnya lirih.

"Aku mau membantu kamu, tapi ... " Hamna menggantung ucapannya, wajah Fiya seketika berbinar penuh harapan.

"Sungguh Hamna?"

"Iya, tapi aku mau kamu berjanji," ujar Hamna lebih serius.

"Apa itu? Aku, aku pasti akan menepati janjiku."

"Aku minta kamu datang pagi-pagi sekali dan ikut aku membaca buku di perpustakaan selama satu jam setiap harinya, masalah mata kuliahmu pasti akan selesai dengan segera, aku akan meminta Pak Setya mengadakan kelas tambahan untukmu setiap hari Rabu dan Jum'at, kamu setuju?" Hamna menjelaskan panjang lebar, sedangkan Fiya tampak berpikir keras.

Hamna tahu kebiasaan buruknya sampai ia tertinggal begitu banyak mata kuliah, Fiya tak suka membaca buku bahkan untuk sekedar membaca materi kuliahnya sendiri.

"Satu jam setiap hari membaca buku? Itu terlalu berat untukku, Hamna, hiks ... kamu tega!" keluh Fiya.

"Kamu bahkan tahu kalau aku tidak suka membaca, jangankan satu jam, satu menit saja aku tak akan tahan." Ia merengek pada Hamna seperti anak kecil yang tidak diijinkan bermain.

"Kamu mau atau tidak, itu terserah kamu. Aku akan tegas padamu kali ini," timpal Hamna tegas, sekalipun ia merengek dan menangis Hamna tak akan mengubah keputusannya kali ini.

"Iya, iya! A-Aku mau, deh," ucapnya lesu sambil menjatuhkan kepalanya ke meja. Pasti berat untuknya, tapi semuanya kan juga untuk kebaikannya.

"Jangan lupa buat ... " baru saja Hamna akan memerintahnya membuat daftar buku apa saja yang harus ia baca, tapi terhenti karena seseorang berdiri tepat di depan meja yang mereka tempati.

"Hai? Selamat Siang, maaf mengganggu kalian, tapi bolehkah saya duduk di sini karena di tempat lain sudah tidak ada tempat duduk lagi." Seorang laki-laki menyapa mereka.

Hamna menatapnya tak suka, apa dia tidak tahu mengganggu obrolan orang lain itu tidak sopan? Hamna melirik ke arah Fiya yang juga terkejut dengan kehadiran sosok itu, raut wajahnya seolah bertanya siapa dia?

Mana kutahu? Jawab Hamna dengan isyarat mulut.

Bukankah Fiya mengenal hampir seluruh laki-laki dari berbagai fakultas, kenapa dia memasang raut wajah seperti itu? pikir Hamna.

Laki-laki itu masih berdiri menunggu persetujuan kedua perempuan itu, Hamna memerhatikan pakaiannya, tidak seperti mahasiswa biasa, laki-laki itu terlihat mengenakan setelan jas formal berwarna broken white dengan tas laptop di tangan kanannya.

Rambutnya tertata rapi, senyumnya yang ramah menghias wajahnya yang bersih. Untuk seketika Hamna terpana, Fiya bahkan tak berkedip memandanginya.

"Maaf? Bolehkah saya duduk bersama kalian?" tanyanya lagi memastikan. Fiya antusias sekali menganggukkan kepala.

"Silahkan" jawab Hamna mempersilahkan dirinya untuk duduk. Laki-laki asing itu tampak senang.

"Fiya, kamu sudah selesai, kan? Ayo kita kembali ke kelas," ajak Hamna, laki-laki tampak terkejut.

Apakah dia pikir aku bersedia duduk dengan pria asing? Hamna berdiri, mengambil tasnya lalu bergegas pergi, tapi belum selangkah Hamna pergi, laki-laki itu memegang tangannya.

Hamna memandang tangannya yang dipegang tadi, lalu menatapnya tajam, ia langsung melepaskannya, "Ma-maaf! Maaf sekali, saya tidak bermaksud demikian," jelasnya, merasa bersalah.

"Tidak apa, silahkan duduk, kami sudah selesai," kata Hamna pelan, lalu melangkah pergi, laki-laki itu tampak mematung di tempat. Sedang Fiya sedang menunduk dan berusaha meminta maaf.

"Maaf Kak atas sikap teman saya, maaf sekali lagi, silahkan duduk, kami permisi ya. Semoga harimu menyenangkan," ucap Shafiya, namun suaranya masih dapat didengar oleh Hamna dari kejauhan, dia terlalu baik.

"Fiya, cepat!" Hamna memanggilnya sambil berjalan pergi.

"Iya iya!"

...............

"Kakak, semoga kita bisa bertemu lain kali." Fiya melambaikan tangan. Sedangkan Hamna sudah lebih dulu berjalan meninggalkan kantin.

"Ya, semoga," ucap lelaki itu pelan. Gadis yang menarik, ujarnya dalam hati.

Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)

Perlahan, bayangnya menghilang bersama langkahnya yang kian jauh. Gadis yang menarik, baru pertama kali Haidar menemukan gadis sedingin itu, bahkan menatapnya seolah Haidar adalah orang yang jahat.

Haidar baru menginjakkan kaki di kampus ini tapi sudah mendapat sambutan yang luar biasa ketus. Wah!

Sepersekian detik, Haidar termangu.

"Pak pesanannya, silahkan!" Suara pelayan yang mengantarkan makanan memecah fokusnya.

"Ya, terimakasih."

Setelah pelayan itu pergi, Haidar duduk dan mulai menikmati sarapannya pagi itu. Sebelum menemui dekan untuk mengurus penetapannya di sini bukankah Haidar harus mengisi perutnya dulu?

Setelah menghabiskan semuanya, Haidar memesan secangkir kopi untuk menikmati kekosongan yang ada, janji bertemu dengan dekan masih sekitar 2 jam lagi.

Lalu laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kantin yang lumayan bagus, pikirnya. Tiap dindingnya terlukis aneka grafiti dan kaligrafi, ia menebak ini pasti hasil karya anak fakultas seni, anak muda kreatifitasnya memang tak terbatas. Dirinya sangat salut dengan anak muda yang mampu mengembangkan potensinya secara mandiri.

Haidar meneguk kopinya pelan-pelan, sedalam mungkin menikmati rasanya. Ah, seketika ia jadi ingat gadis itu, ia melihat tadi gadis itu juga meminum kopi, apakah dia penikmat kopi juga?

Raut wajahnya yang datar tanpa senyum menyiratkan kehidupannya yang penuh sulit, berapa banyak hal rumit yang telah dilaluinya?

Tatapan matanya yang sayu namun tajam menunjukkan ada begitu banyak kewaspadaan, sedangkan keningnya yang berkerut dan suara helaan napasnya yang berat menyiratkan ada begitu banyak kesedihan yang ia simpan, kesedihan yang tak pernah ingin ia bagi pada siapapun.

Sebenarnya hal menyakitkan seperti apa yang telah dilaluinya? Dari luar tampak kuat dan tangguh, namun sebenarnya rentan dan rapuh. Hanya waktu saja yang tahu kapan ia bisa luluh lantak jadi abu. Semoga dia selalu baik-baik saja.

Bahunya yang tegak dan cara jalannya yang begitu tegas membuatnya terlihat sangat berwibawa dan percaya diri. Selain itu, wajahnya jika dipandang sebenarnya sangat cantik, jika saja ada segaris senyum di wajahnya pasti akan menyempurnakan kecantikannya.

Ya ampun, kenapa apa aku ini? pekiknya dalam hati. Haidar membayangkan seorang gadis yang baru saja ia kenal.

Pada saat itu, ponselnya berdering, melihat nama yang tertera di layar ternyata panggilan dari sang Ibu. Haidar langsung menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum," ucapnya setelah menerima panggilan teleponnya.

"Wa'alaikumussalam, Haidar kamu di mana, Nak? Sudah sampai di kampus? Sudah makan? Kamu pergi pagi-pagi sekali dari rumah, Ibu jadi cemas kamu belum makan apa-apa," jawab seorang wanita paruh baya. Mengkhawatirkan anak laki-lakinya.

"Iya, Ibuku sayang, Haidar sudah sampai di kampus, Haidar juga sudah makan, sekarang sedang menunggu dekan." Haidar balik menjawab, agar Ibunya itu tidak khawatir dan mencecarnya lagi.

"Kamu masih ingat kan pesan Ibu, Nak?"

"Iya, Ibu. Haidar ingat, kok, pesan Ibu."

"Baguslah kalau begitu, Ibu beri kamu waktu 4 bulan ya. Kalau tidak, kamu tahu kan harus berhadapan dengan siapa? Ya sudah Ibu tutup dulu teleponnya. See you my son." Telepon ditutup sepihak.

Apa-apaan ini? Kenapa juga aku menyetujui Ibu? Aih ... Memangnya bisa mencari istri dalam waktu 4 bulan? Ibuku kadang jadi kurang realistis kalau menyangkut menantu keluarga Musyaffa Haidar menggerutu pada dirinya sendiri.

Bicara tentang menantu untuk Ibunya, Haidar jadi teringat kembali gadis dingin itu. Ah, semoga saja kita bisa bertemu kembali.

Haidar hampir terlupa, ini sudah hampir pukul 10.00 sebentar lagi waktunya bertemu dekan.

Lalu ia bergegas meninggalkan kantin menuju ruangan dekan, kalau ia tidak salah ingat, ruangan dekan ada di lantai 3 dekat dengan perpustakaan kampus.

Sambil berjalan, Haidar memerhatikan sekeliling, mencoba merekam tiap jengkal hal yang ada di kampus ini sebaik mungkin. Baru setengah jalan ke arah perpustakaan tiba-tiba ...

BRAK!!!

Seseorang menabraknya.

"Aaahhh....!!!!!" Keduanya menjerit, kaget sekaligus sakit tertimpa buku-buku.

Keduanya sama-sama terjatuh, semua buku yang dibawa gadis itu berserakan di lantai. Haidar berusaha bangun, tapi pinggangnya terasa nyeri, dengan susah payah ia berdiri, memeriksa seluruh tubuhnya.

Disaat yang bersamaan, gadis itu juga berusaha bangun, sayangnya ia tak melihat wajahnya, yang dilihat hanyalah punggungnya. Gadis itu juga sama terkejutnya dengan Haidar. Tak menyangka akan menabrak seseorang.

"Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Haidar setelah berhasil menetralisir rasa kagetnya.

"Aku baik-baik saja," sahutnya, lalu mengambil satu persatu buku yang terjatuh, Haidar turut membantunya memunguti buku-buku itu, lalu ... Deg! Mata mereka bertemu. Keduanya membeku di tempat. Untuk sepersekian detik mereka saling menatap.

Sebelum akhirnya gadis itu memalingkan wajah. Ia berbalik dan menatap Haidar dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Haidar yang mengerti arti tatapan itu, memberinya semua buku-buku yang tadi berhasil ia kumpulkan.

"Terima kasih," ucapnya singkat lalu berjalan pergi.

"Tunggu!" interupsi Haidar menghentikan langkahnya sejenak. Haidar langsung menghampirinya dan mengambil hampir setengah buku yang ia bawa dengan tangannya sendiri. "Biar kubantu," kata Haidar menawarkan pertolongan, berusaha tersenyum tulus.

Ia tak mengatakan apapun, hanya melirik Haidar sekilas lalu berjalan lagi, Haidar pun mengikutinya hingga sampai ke suatu ruangan.

Di sana, Haidar melihat temannya yang terduduk lesu, melihat kehadiran gadis dingin itu dan Haidar yang datang secara bersamaan membuatnya jadi menegakkan punggungnya.

Haidar meletakkan buku-buku itu di di tempat dimana temannya tadi duduk. "Lho, Hamna? dan Kakak yang tadi, kok kalian ... bisa barengan?" tanyanya kebingungan.

Lalu Haidar bersuara, "Tadi kami secara tidak sengaja bertemu di koridor dekat perpustakaan, lalu ada seseorang yang menabrak saya dan menjatuhkan semua buku-buku ini." Sekejap, Haidar melirik gadis itu yang juga sedang menatapnya tajam, ia memicingkan matanya pada Haidar.

"Oh ... begitu," respon Shafiya sembari menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Eh! Hah?! Ditabrak? Oleh Hamna? Apa ini sungguhan? Ya ampun! Hamna yang tidak pernah ceroboh ternyata bisa salah jugaaaa, oh ya ampun!" katanya berteriak.

Temannya kan hanya menabrak Haidar bukan melakukan kriminalitas.

"Hamna, are you okay?" Shafiya bertanya berkali-kali pada Hamna itu, matanya memindai keadaannya dari atas sampai ke bawah.

Gadis itu menganggukkan kepalanya, "Okay, I'm good," jawabnya dengan ekspresi yang masih saja datar. Haidar jadi merasa kalau gadis itu tak memiliki ekspresi apapun.

Lalu gadis itu beralih pada Haidar, "Maaf ya, Kak, sudah merepotkan," kata Shafiya kemudian.

"No problem. Tapi ... " Haidar menatap Hamna, ada makna yang tersirat di matanya. "Bukannya yang salah yang harus meminta maaf?" lanjut Haidar sembari melipat tangan di dada, sedangkan gadis dingin itu tampak tak senang.

"I'm sorry. Bukan sengaja!" ucapnya kemudian dengan nada yang agak ketus.

"It's okay, sebenarnya saya beruntung karena yang menabrak saya adalah seorang gadis yang cantik," goda Haidar pada Hamna sambil mengedipkan sebelah mata, berharap ada rona merah di pipinya yang putih itu.

Tapi seperti namanya, gadis dingin, digoda seperti apa pun tak berpengaruh apa-apa. Padahal kalau gadis lain pasti sudah bersorak sorai senang atau bahkan jingkrak-jingkrak sampai berguling-guling di tengah jalan.

Temannya justru meminta maaf kembali, kali ini sambil menundukkan kepalanya, "Saya mewakili Hamna untuk meminta maaf, Kak. Ini sebenarnya salah saya yang tidak mau mengikuti saran Hamna untuk membaca buku di perpustakaan, sampai-sampai Hamna harus repot membawa buku-buku ini kemari," jelasnya panjang lebar.

"Oh begitu, sudahlah tidak apa-apa, tapi lain kali kamu seharusnya mengikuti saran temanmu." Shafiya menganggukkan kepalanya serius.

"Oh ya siapa namamu? Tadi pagi kan kita belum berkenalan," tanya Haidar kemudian, tadi pagi di kantin mereka memang tidak sempat untuk berkenalan satu sama lain.

"Oh iya, saya hampir terlupa, Kak. Nama saya Shafiya El-Qamar, panggil saja Fiya. Kalau ini ... " ia menunjuk ke arah gadis dingin itu.

"Sahabat saya, namanya Hamna Nafisa Zubair, panggil saja Hamna. Kalau Kakak siapa namanya?"

Oh nama gadis itu Hamna Nafisa Zubair, nama yang sangat cantik, secantik orangnya pikir Haidar.

"Haidar ... Nama saya Haidar Musyaffa Khairullah."

"Salam kenal, Kak!" Shafiya tersenyum singkat.

"Oh ya, Kak, kalau boleh tahu, Fiya sepertinya baru kali ini melihat Kakak di kampus ini. Apakah ada kepentingan? Sepertinya bukan mau mendaftar, karena kalau dilihat Kakak ini, sedikit terlihat lebih tua dibanding mahasiswa lainnya, hehe, maaf ... kalau salah."

Ternyata Fiya memerhatikan sampai sedetail itu, kurasa Fiya mengenal hampir semua mahasiswa di sini. Mungkin saja ia tahu di mana ruangan dekan, sebaiknya kutanyakan saj**a, pikir Haidar.

"Ah ya, saya sebenarnya mau bertemu dengan dekan, namanya Pak Nasher. Apa kamu tahu di mana ruangannya?"

"Oh, ruangan Pak Nasher tepat di seberang pintu masuk perpustakaan. Di jam segini sepertinya beliau sudah ada di ruangannya."

Haidar melirik jam di tangannya sekilas. Seharusnya belum terlalu terlambat. "Kalau begitu, terima kasih, ya, saya permisi dulu," pamit Haidar sopan, ia tersenyum sebagai bentuk penghormatan.

Haidar meliriknya, Hamna juga balik menatapnya, Haidar mencoba tersenyum tulus, tapi apa yang bisa ia harapkan, jangankan membalas senyumnya, tatapannya bahkan menakutkan sekali!

Dan entah sejak kapan gadis itu sudah duduk dan membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Ia semakin menatap Haidar tajam. Lalu Haidar memilih untuk cepat-cepat pergi.

......................

DI KANTOR DEKAN

Haidar mengetuk pintu pelan, terdengar sahutan dari dalam, "Siapa?" tanya Pak Nasher dari dalam ruangannya.

"Ini saya, Pak, Haidar Musyaffa Khairullah," jawab Haidar cukup keras.

Tak lama dari itu seseorang keluar, laki-laki separuh baya itu menyapa Haidar ramah, "Oh rupanya Haidar, ayo, silahkan masuk!" Ia mempersilakan Haidar untuk masuk. Lalu keduanya duduk bersamaan.

Lalu mereka berbincang banyak hal, Pak Nasher menjelaskan banyak hal pada Haidar, beliau juga menceritakan sejarah dan latar belakang kampus itu.

Setelah berbincang dengannya, Pak Nasher beranjak dari duduknya, ia menekan interkom yang ada di dinding dekat pintu. Ia meminta seseorang untuk datang ke ruangannya.

Haidar masih duduk dengan tenang, ruangan Pak Nasher ini sangat nyaman, membuat siapapun jadi betah berlama-lama di sini. Tak lama dari itu Pak Nasher duduk kembali di tempat duduknya yang tadi. Kali ini raut wajahnya tampak serius, tidak sesantai tadi.

"Haidar ... " panggilnya pelan. Haidar pun menyahutinya.

"Iya, Pak?"

"Haidar, jika Bapak minta untuk menjadi dosen pembimbing sementara, apakah bersedia?" tanyanya serius

Menjadi dosen pembimbing sementara? Sepertinya menarik, pikir Haidar.

Haidar menyanggupinya, "Tentu, Pak, sebuah kehormatan untuk saya," kata Haidar agak sungkan.

"Alhamdulillah, sebentar, ya. Bapak sedang meminta seseorang untuk datang membawakan daftar mahasiswa yang akan Haidar bimbing nanti," jelasnya, sedang Haidar hanya mengangguk paham, kebetulan Haidar sering membantu teman-temannya menyelesaikan tesisnya sewaktu kuliah di Kanada.

Seharusnya, membimbing mahasiswa-mahasiswa di sini tidak terlalu sulit, ya kan?

Pintu ruangan Pak Nasher diketuk, "Itu pasti dia."

"Masuk" perintah Pak Nasher pada seseorang yang ada di luar, seseorang itu masuk. Haidar tak melihatnya karena kursi yang didudukinya membelakangi pintu, tapi ia dapat mendengar percakapan kedua orang itu dengan jelas.

"Ini, Pak, daftar mahasiswa bimbingan Ibu Karina yang Bapak minta, totalnya ada 4 orang, 3 diantaranya masih dalam proses pengajuan judul, semuanya juga dari fakultas manajemen, termasuk saya."

"Ya, terima kasih ya, Hamna"

Hamna? Apa tadi Pak Nasher menyebut nama Hamna? Apakah itu Hamna si gadis dingin?

Haidar langsung berdiri dan memutar badannya ke belakang untuk memastikan.

Ternyata benar, seseorang yang Pak Nasher panggil ke sini adalah Hamna, Hamna Nafisa Zubair, si gadis dingin itu. Gadis yang sama, yang bertemu dengannya di kantin dan yang tadi secara tak sengaja menabraknya.

Mereka tampak berbicara serius, lalu Pak Nasher memanggil Haidar, "Haidar, kemari" pinta Pak Nasher, lalu ia pun menghampiri kedua orang itu.

"Perkenalkan, ini Hamna, nantinya dia yang akan membantu tugas-tugas Haidar selama menjadi dosen pembimbing sementara, jika ada yang ingin ditanyakan, silahkan Haidar tanya langsung ke Hamna." Pak Nasher memberikan daftar mahasiswa yang dipegangnya kepada Haidar, dan laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya, paham.

"Oh ya, Haidar. Hamna ini termasuk mahasiswi yang cerdas, lho. Dalam hal ini Hamna juga sangat bisa diandalkan, Bapak harap kalian berdua bisa bekerja sama dengan baik. Ini daftarnya, silahkan dibaca, totalnya ada 4, termasuk Hamna sendiri. Bapak permisi dulu, ya." Setelah itu, Pak Nasher ijin keluar untuk mengangkat telepon.

Entah kebaikan apa yang sudah dibuatnya pagi ini sampai ia bisa seberuntung itu. Ia berkata semoga mereka bertemu lagi. Dan Allah mempertemukan mereka dengan cara seperti ini.

Hamna jadi asistenku? Bukankah itu artinya dia akan menghabiskan waktunya lebih banyak bersamaku? Oh ya ampun aku jadi kegirangan sendiri. Haidar mulai berpikir macam-macam.

Di ruangan itu sekarang hanya tersisa Haidar dan Hamna. Ya Allah, suasananya kenapa jadi begitu mencekam? Aku merasa canggung, suasana ini begitu hening, Haidar membatin. Ia tak suka keheningan.

Lalu Haidar kembali duduk, sedangkan Hamna masih setia berdiri di sana memainkan ponselnya, entah apa yang sedang ia lakukan, membuat Haidar penasaran saja!

Karena tak tahan dengan suasana itu, Haidar akhirnya berdeham pelan, gadis itu menatapnya sebentar. Hanya menatap, tak lebih dari itu.

"Hamna?" panggil Haidar agak ragu, yang dipanggil menyahut.

"Iya, Pak?"

"Duduklah, jangan berdiri terus, kasihan kakimu," pinta Haidar sembari menepuk sofa yang didudukinya agar Hamna duduk di sampingnya. Ia mengangguk, tetapi bukannya duduk di sebelah Haidar, gadis itu justru mengambil kursi lain dan meletakkannya berseberangan dengan tempat duduk Haidar.

"Oh ya, boleh jelaskan sedikit pada saya tentang kamu?" tanya Haidar setelah memastikan Hamna duduk dengan nyaman. Ia mengernyitkan kening, heran.

"Tidak, bukan, bukan seperti yang kamu pikirkan. Saya ... saya hanya ingin sedikit mengenal mahasiswa bimbingan saya, bukankah kamu juga termasuk?" Haidar berdalih, sebenarnya Haidar memang benar-benar ingin mengenalnya. Tapi sepertinya tidak tepat menggunakan cara seperti ini.

"Karena bagaimanapun, ke depannya kita pasti akan banyak berinteraksi. Saya ingin kita bisa jadi rekan kerja sama yang baik. Jadi, bagaimana asisten dosen?" jelas Haidar menghindari salah paham, sungguh ia tidak ingin membuat Hamna merasa tak nyaman.

Gadis itu tampak berpikir, "Apa yang ingin Pak Haidar ketahui tentang saya?" tanyanya serius, tapi di wajahnya ada gurat ketidaksenangan. Gadis ini benar-benar tertutup dan sulit untuk ditebak.

Aku ingin tahu semuanya tentang kamu.

"Sudahlah, saya pikir tidak perlu. Pada akhirnya nanti kita pasti akan saling mengenal satu sama lain," kata Haidar pada akhirnya.

Dan suatu hari kamu pasti akan jatuh cinta padaku. janji Haidar.

Ia menatap Haidar dalam diam, entah apa yang ia pikirkan. Tapi ... ekspresinya yang seperti itu membuatnya tampak menawan di mata Haidar.

Kerudung yang ia kenakan sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih bersih. Semakin ditatap, semakin terlihat cantik. Tetapi, ditatap begitu intens oleh Hamna membuat Haidar jadi gugup.

Ia bangun dan berjalan menghampiri Haidar, lalu menyodorkan ponselnya kepada Haidar.

"A ... Apa ini?" tanya Haidar kebingungan. Apa dia ingin Haidar mengambil ponselnya?

"Scan barcode-nya, Pak. Ini akan memudahkan kita untuk berkomunikasi ke depannya," jawabnya ketus, ya Allah gadis itu benar-benar menakutkan.

Ya Allah, bagaimana bisa aku bertemu gadis seketus ini? Selamatkan aku, tolong! Haidar merintih.

Haidar buru-buru mengambil ponselnya dari saku celana dan menyimpan kontaknya. "Sudah," kata Haidar setelah ia memastikan nomor Hamna benar-benar tersimpan di ponselnya.

"Oke." Hamna memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku blazer-nya. "Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan ... "

"Memangnya dari tadi kita bicara apa? Sepertinya dari tadi kita hanya diam," Haidar memotong ucapannya.

Hamna tampak terkejut seketika. "Saya permisi, Pak!" ucapnya lalu pergi. Meninggalkan Haidar di ruangan itu, sendirian.

"Hey! Hamna kamu bahkan belum tahu nama saya, kan?" teriak Haidar, saat Hamna akan membuka pintu. Ia berbalik ke arah Haidar.

"Saya tahu ... Pak, Haidar Musyaffa Khairullah"

Hah? Dia tahu namaku? Tapi bukankah aku belum memberitahunya? ujar Haidar dalam hati. Agaknya ia lupa kalau tadi ia memperkenalkan dirinya sendiri pada saat ia membantu Hamna membawakan buku-buku.

"Sampai jumpa nanti siang, Pak." Setelah itu, pintu tertutup. "Ya sampai bertemu lagi. Eh tunggu, dia bilang nanti siang? Artinya... Siang ini... Kita akan bertemu lagi?" gumam Haidar.

Haidar mengecek kembali ponselnya, di sana ada kontak yang tertera namanya. Hamna Nafisa Zubair.

Di sana juga terpampang foto seorang perempuan yang membelakangi kamera. Perempuan itu tampak mengenakan abaya berwarna hitam dengan kerudung warna senada.

Siapa ini? Apakah dia? pikir Haidar.

Laki-laki itu melirik arloji di tangannya, ternyata sudah pukul 11 siang, sebentar lagi azan Dzuhur. Karena tak ada lagi yang harus dilakukan, ia memutuskan bergegas ke masjid. Kalau tidak salah, tadi ia melihat ada masjid megah di sebelah selatan kampus.

Haidar melangkahkan kakinya dengan pasti dan mantap pergi ke masjid. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil wudhu, menunaikan salat dua rakaat lalu duduk di dalam sambil menunggu muadzin mengumandangkan azan.

Imam itu, Haidar Musyaffa Khairullah (Revisi)

Hamna tak menyangka Pak Nasher akan memintanya jadi asisten dosen laki-laki menyebalkan itu, laki-laki yang dengan berani mengambil tempat duduknya di kantin tadi pagi.

Benar-benar menyebalkan bagi Hamna, jika bukan Pak Nasher yang memintanya, sampai kapanpun Hamna tidak akan mau. Jangankan jadi asistennya, bertemu dengannya saja Hamna tidak akan peduli.

Setelah keluar dari ruangan Pak Nasher, Hamna berjalan dengan agak kesal, kembali ke kelas di mana ia meninggalkan Fiya sendirian untuk membaca buku.

Hamna duduk di samping Fiya dengan menghentakkan tubuhnya agak keras, sampai ia tidak sadar membuat Fiya terkejut.

"Ya ampun, Hamna, kenapa?" tanya Fiya melihat raut wajah Hamna yang sedikit kesal. Hamna benar-benar dibuat kesal sampai rasanya ia ingin sekali melenyapkan laki-laki itu dari muka bumi ini.

Tapi, ia tidak boleh marah-marah hanya karena satu laki-laki itu. Ia menghela napas panjang, "tidak apa-apa," ucap Hamna pada akhirnya.

Ia melirik jam yang terpajang di dinding kelas, ternyata sudah jam 11 lewat, sebentar lagi azan dzuhur. Ia bergegas merapikan diri.

"Fiya, sudah jam 11 lewat, yuk ke masjid!" ajak Hamna pada Fiya, tetapi sang empunya nama masih berkutat dengan buku-buku dan catatannya.

Hamna menggoyangkan bahunya pelan, "Fi?"

"Eh? Apa Hamna?" ia menoleh.

"Yuk ke masjid."

"Kamu saja ya Hamna, tamu bulananku datang," katanya.

"Oke, kamu tunggu sini, ya, nanti kalau aku kirim pesan, kamu ke kantin," pesan Hamna padanya, ia mengangguk paham.

Setelahnya, ia melangkahkan kaki sendirian ke masjid dekat kampus, yang berada di sebelah selatan. Masjid itu, adalah tempat kedua yang paling sering Hamna kunjungi kala hatinya gundah. Masjid itu juga saksi betapa banyak air mata yang tumpah kala Hamna mengadu pada Rabb-nya.

Sesampainya, Hamna langsung mengambil wudhu, lalu ia duduk di sudut shaf khusus perempuan. Hamna membuka mushaf yang tadi sempat ia ambil di lemari pojok kanan masjid. Lalu membacanya dengan suara pelan.

Tak lama suara azan terdengar, merdu sekali suaranya begitu mendayu-dayu hingga ke relung hati. Begitu indah cara-Nya memanggil para hamba-Nya. Setelah itu Hamna meletakkan kembali mushaf itu dan mengenakan mukenanya.

Allahu Akbar... Allahu Akbar...

"Merdu sekali suara ini, sesering aku mengunjungi masjid ini, suara azannya tak pernah semerdu ini. 'Allah siapakah itu yang mengumandangkan azan? Andai aku bisa bertemu, aku ingin tahu siapa Muazinnya," ucap Hamna dalam hati.

......................

Hamna, perempuan itu tidak tahu bahwa yang sedang mengumandangkan azan itu adalah Haidar, laki-laki yang baru saja dikenalnya, laki-laki yang sudah membuatnya kesal seharian ini.

"Shaf-nya tolong dirapatkan!" pinta lelaki itu setelah iqamah dikumandangkan. Ia berdiri dengan gagah di shaf paling depan sebagai imam, kali ini ia diminta khusus oleh pengurus untuk menggantikannya, ia pun menyanggupi. Ia bertakbir dengan lantang, Allahu Akbar...

Yang tidak Haidar tahu, seorang gadis yang ia suka juga berdiri di belakang sebagai makmumnya. Pun Hamna, tidak tahu bahwa Imam yang memimpin salat zuhur yang ia ikuti adalah Haidar.

Keduanya tidak tahu, tapi Tuhan mereka mengetahui segalanya, bahkan isi hati mereka yang paling dalam sekalipun.

Yang satu meminta semoga salah satu makmumnya berdiri di belakang shaf. Sedangkan yang satu lagi meminta semoga Imam di depan, adalah Imamnya di masa depan.

Salat telah ditunaikan, kini yang terdengar hanya suara aamiin... aamiin... aamiin... Dari para hamba yang berharap akan ridha Sang Ilahi.

......................

Hamna melipat mukena miliknya dan bersiap untuk makan siang. Ia membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada dosen muda itu, ia teringat ada yang harus dibahas siang ini.

"Jam 1 di kantin, Pak. Ada yang harus dibahas." Setelah mengetiknya, Hamna mengirimnya dan bergegas keluar.

Ting! ponsel Hamna berbunyi, balasan darinya.

"Kamu di mana sekarang?"

Peduli sekali dia? Apa begitu penting untuk tahu aku ada di mana? pikir Hamna.

"Masjid," ketik Hamna kemudian.

"Masjid yang di sebelah selatan kampus?"

"Y ... " ketik Hamna singkat, lalu ia kembali memakai sepatunya.

"Ternyata saya benar, saya tidak salah lihat," ucap seseorang dihadapannya, Hamna menengadahkan kepalanya ke atas untuk memastikan, ternyata dia, dosen pembimbingnya. Haidar tengah berdiri di hadapannya, dengan memasukkan kedua lengannya di saku celananya.

Lho? Kenapa dia di sini? Apa dunia benar-benar begitu sempit? gerutu Hamna dalam hati.

Lalu Hamna bangun dan menyejajarkan diriku dengannya. Apa ini, kenapa dia begitu tinggi di hadapanku sekarang?

"Sedang apa Anda di sini, Pak?" tanya Hamna setelahnya.

Jarak mereka terlalu dekat membuat Hamna secara refleks mundur selangkah, Hamna tak sanggup berada di posisi yang begitu dekat dengan Haidar.

"Ah...!" Keseimbangan Hamna tiba-tiba hilang. Ia hampir terjatuh. Beruntung Haidar berhasil menangkap pinggangnya. Jika tidak, Hamna pasti akan membentur lantai.

Dalam beberapa detik, Hamna termangu, Haidar menatap Hamna dalam. Dengan posisi seperti itu, ia bisa mencium wangi tubuhnya dengan jelas, deru napasnya bahkan bisa Hamna dengar, detak jantungnya seirama dengan detak jantung Hamna.

Hamna menelusuri wajah Haidar, ia memiliki alis yang tebal, bulu mata yang lentik, membuatnya terlihat memesona. Hidungnya yang mancung semakin menambah daya pikatnya. Hamna tak akan heran jika ada wanita yang menjerit-jerit melihatnya. Karena baru Hamna sadari, Hamna memang tampan.

Hamna merasakan tangan kekar Haidar yang menarik pinggangnya agar Hamna berdiri ke posisi semula. Ya ampun! apa yang kupikirkan tadi? Itu membuatku malu.

Hamna berdeham kecil menghilangkan kecanggungan, "Ma-maaf, Pak!" ucapnya terhenti, entah karena apa lidahnya jadi kelu.

Haidar tersenyum, senyum yang tak bisa Hamna artikan. "Tidak apa-apa, tapi ternyata kamu berat juga, ya." Haidar berkata sambil memegangi pergelangan tangannya yang ia gunakan untuk menahan Hamna tadi.

Dia pasti berbohong, aku tidak seberat itu kan? Berat badanku saja tidak mencapai 50 kilogram, kok!

Mau seperti apapun, ia tetaplah laki-laki yang menyebalkan! Percuma saja aku mengagumi ketampanannya tadi.

Hamna menatapnya tajam, ah bukankah tadi dia mengambil kesempatan yang bagus? Menahan pinggang Hamna yang ramping!

Melihat Haidar yang menahan tawa dengan menyilangkan tangan membuat Hamna jadi semakin kesal. Hamna memalingkan wajahnya dan berlalu segera.

......................

Pertama kalinya, aku melihat rona merah di wajahnya, ia yang tampak malu begitu lucu. Bukankah dia seharusnya berterima kasih padaku karena aku telah menyelamatkannya?

Karena jika tidak, kepalanya pasti sudah membentur lantai, dan dia akan didiagnosa mengalami gegar otak ringan. Oh ya ampun!

Baru beberapa saat kutatap matanya lekat-lekat, menelusuri tiap jengkal wajahnya untuk kusimpan dalam memori ingatanku.

Sekarang ia justru meninggalkan aku sendirian. Tetapi, melihat cara jalannya yang begitu kesal membuat ia kelihatan menggemaskan.

Lalu Haidar menyusul langkahnya ke kantin.

......................

DI KANTIN

Kantin terlihat sangat ramai di jam makan siang seperti ini, Hamna mendengar ada beberapa yang berbisik-bisik ketika melihatnya. Oh ya, aku lupa aku sedang berjalan dengan dosen muda ini . Pantas saja begitu berisik.

'Hei, siapa itu, tampan sekali!'

'Astaga tampannya, aku tak pernah melihatnya sebelumnya'

'Eh pria tampan itu berjalan dengan siapa?'

'Sepertinya itu pacarnya'

'Ah aku sudah patah hati padahal aku belum mengenalnya'

Hamna menggerutu dalam hati. Aku merasa mereka ini berisik sekali. Juga berkata yang tidak-tidak, apakah pesona memang sebesar itu. Perempuan-perempuan itu apakah sudah buta? Laki-laki menyebalkan begini saja dikagumi. Huh

Hamna yakin sekali perempuan-perempuan yang sedang berbisik itu sedang mengomeli Hamna dalam hati. Berjalan dengan Haidar memang bisa membahayakan citra Hamna. Lain kali, ia akan berjalan di belakangnya saja.

Lain kali aku akan berjalan di belakang atau di depannya saja. Berjalan beriringan seperti ini terlalu, aneh, bagiku.

Setelahnya, mereka memilih tempat duduk di pojok kantin yang agak tertutup, agar tidak terlihat oleh orang-orang. Jika tidak, orang-orang akan mengira mereka sedang berkencan.

"Kamu mau pesan apa?" Ia bertanya pada Hamna setelah mereka berdua mengambil posisi duduk masing-masing.

"A cup of coffee, less sugar, please!" ucap Hamna padanya, lalu ia memanggil pelayan.

"Just that?" tanyanya lagi memastikan, Hamna mengangguk.

"Tidak makan? Kalau hanya minum kopi, saya khawatir kamu kelaparan nanti, dan nanti Pak Nasher mengira saya telah menyiksamu, saya harus menjelaskan apa pada Pak Nasher nanti?" celoteh Haidar lagi sambil membolak-balikkan daftar menu.

Seorang pelayan datang dan menanyakan pesanan mereka. Lalu Haidar menyebutkan pesanannya, "2 roti bakar dan 2 kopi rendah gula, ya." Pelayan tersebut menuliskan pesanannya dan berlalu pergi.

Laki-laki ini, sudah kubilang aku tidak ingin makan apa-apa tapi dia malah memesan dua porsi roti bakar, kalau lapar ya pesan saja makanan berat! Kenapa harus ikut-ikutan tidak makan sepertiku. Ah sudahlah. Terserah dia saja.

Sesaat, setelah pelayan itu pergi, suasana diantara mereka jadi hening, yang terdengar hanya suara riuh orang-orang di sekitar.

Aku suka kesendirian ini, tapi tidak dengan kesepian yang tercipta di dalamnya. Kesepian yang begitu menghantui.

Kadangkala, aku juga pergi menikmati hari, di beberapa kesempatan, aku terpikat oleh keramaian. Selama keramaian berserta orang-orang itu tidak mengusik tenangku, aku akan baik-baik saja.

Hingga di titik cemasku begitu tinggi, aku menutup diri dari semua orang. Tidak ada yang tahu berapa banyak kesedihan yang kupunya. Tak perlu ada yang tahu juga, karena mereka tidak mungkin mengerti.

Untuk mengalihkan perhatian, Hamna memainkan ponselnya. Ada pesan dari Fiya, "kamu di mana?" begitu isi pesannya, setelah membacanya Hamna langsung mengetik balasannya, "di kantin, table nomor 11"

Tak lama pesanan datang bersamaan dengan Fiya yang melambai-lambaikan tangannya pada Hamna. "Hamnaaaaa!" jeritnya sambil berlari kecil. Ya ampun, Fiya semangat sekali.

Hamna memintanya duduk di sampingnya. Aroma roti bakar yang menguar menarik perhatian Fiya begitu ia duduk di samping Hamna, "Wah ...! Ada roti bakar!" ia bersiap untuk memakannya.

Tapi Hamna mencubit pinggangnya sampai Fiya berteriak, "Aww sakit!" ia menatap Hamna ingin protes, Hamna memelototinya. Ia mengerutkan kening, keheranan.

"Kalaupun kamu mau memakannya, setidaknya ijin dulu kepada yang sudah memesannya, kamu ini, sejak kapan tidak sopan begitu!" jelas Hamna panjang lebar.

Fiya ini kalau lihat makanan, langsung melupakan sekitarnya. Fiya mengalihkan fokusnya ke arah depan, tempat di mana dosen muda itu duduk.

"Ah, i ... itu, maaf saya tidak tahu kalau ada Kakak di sini." Fiya tergagap setelah ia mengetahui ada orang lain di meja ini. Laki-laki itu tampak kaget dibuatnya.

"Ah, hahaha! Tidak apa-apa, makanlah kalau kau mau," ucapnya dengan nada yang sumbang, kemudian ia menyodorkan dua piring berisi roti bakar itu kepada Fiya dan Hamna.

Sedangkan Haidar memesan kembali satu porsi roti bakar dan satu minuman untuk Fiya. Lalu ia menyesap kopinya pelan, "Makan dulu baru nanti kita mengobrol," katanya pada akhirnya.

Setelah selesai makan. Hamna mengeluarkan sebuah map yang berisi biodata mahasiswa bimbingannya, sewaktu di ruangan Pak Nasher, Hamna lupa memberikannya.

"Oh ya, aku belum bertanya, kenapa Kak Haidar dan Hamna bisa bertemu? Eh itu, maksudku ... bukannya tadi pagi kalian ...?" ucapnya menggantung, Hamna ingat kalau Fiya belum tahu kalau pria yang duduk di hadapannya itu adalah dosen bimbingan sementara mereka.

"Dia, dosen pembimbing sementara," kata Hamna singkat, sebelum Fiya berpikiran yang macam-macam. Hamna melihat laki-laki itu mengembangkan senyum khasnya yang menyebalkan pada Hamna.

Fiya tampaknya terkejut dengan hal ini, "Hah?!" katanya sambil menutup mulutnya, matanya melotot seolah akan keluar dari tempatnya.

Terkejut seperti biasa saja boleh, kan? Tidak harus seperti itu.

Laki-laki itu tampaknya juga tak menduga dengan respon Fiya yang terlalu mendramatisir keadaan.

"Haha ... Iya, Pak Nasher baru saja meminta saya jadi dosen pembimbing sementara. Dan Hamna jadi asisten saya," jelasnya sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi. Dia sepertinya bangga sekali.

Fiya yang sedang meminum Cappuccino-nya sampai tersedak. "Uhuk uhuk uhuk!" Hamna menepuk-nepuk tengkuknya pelan.

"Pelan-pelan aja Fiya minumnya."

Apa sih yang sedang pikirkan dosen muda ini? Apa sebegitu pentingnya memberi tahu Fiya kalau aku ini asisten dosennya? Jika iya, maka dia benar-benar laki-laki paling menyebalkan! gerutu Hamna dalam hati.

"Saya sungguh tidak menyangka, Kak Haidar ini adalah dosen pembimbing? Dan Hamna jadi asisten dosen muda? Wahhh, keren! kalian berdua keren!" katanya menggebu-gebu.

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya bangga, Hamna berdeham pelan, "Ehem ... sudah, sudah, tidak perlu dibesar-besarkan lagi. Fiya, kamu bisa membantuku, kan?" Hamna bertanya sambil meminum kopinya pelan.

"Apa itu? Jika aku bisa, aku pasti akan membantu," jawabnya antusias.

Hamna menyodorkan map yang berisi biodata mahasiswa bimbingan laki-laki itu. Fiya membuka lembarannya sekilas, ia mengalihkan pandangan ke arah Hamna. "Kamu mau aku melakukan apa?"

"Jelaskan secara detail semua data mahasiswa ini kepada dosen muda kita, karena dia ingin mengenal lebih jauh semua mahasiswa bimbingannya," kata Hamna panjang lebar.

Haidar masih memerhatikan interaksi dua gadis di depannya.

"Apa?! Kenapa harus aku?" Fiya bertanya.

"Karena kamu mengetahui banyak hal." Fiya menatap Hamna seriua, meminta kepastian Hamna dan Hamna sudah memikirkannya dengan baik. Hamna mengangguk.

"Tapi ... " Fiya tampak ragu. Hamna menatapnya lagi, berusaha meyakinkannya.

Lalu Hamna mengalihkan pandangannya ke arah Haidar, "Kurasa dosen muda kita tidak akan keberatan siapa yang akan menjelaskan, yang terpenting kan penjelasannya," ujar Hamna lugas.

"Ya, saya tidak masalah siapa yang menjelaskan, baik Fiya atau Hamna, akan tetap sama saja. Silahkan dimulai, saya akan jadi pendengar yang baik sekarang," jawab Haidar sambil mengeluarkan buku catatan kecil.

"Baiklah kalau begitu, kita mulai dari ... " Fiya memeriksa kembali lembaran itu. "Eh, tapi ... Pak dosen ingin tahu hal apa dulu?" tanyanya kemudian.

"Panggil saya Haidar. Uhm ... " ia berpikir sejenak "Mungkin dari latar belakang mereka dulu? Atau alamat rumahnya? Sifat mereka?"

Mana ada dosen yang menanyakan alamat rumah mahasiswanya? Jelas-jelas dia hanyalah orang yang rasa penasarannya begitu tinggi. Aku tak akan heran kalau dia mendapat IP tertinggi di kelasnya dulu. Dia, kelihatan begitu ambisius.

"Jangan bilang, Pak Haidar mau mengunjungi rumah mereka satu-persatu?" ujar Hamna dengan nada agak ketus.

"Memang, saya berniat begitu. Tidak ada salahnya kan berkunjung ke rumah mahasiswa bimbingan sendiri?" tukas Haidar penuh percaya diri.

Lagi-lagi Hamna menggerutu dalam hati

Aku sudah menebaknya dari awal. Jika dia ingin mengunjungi mahasiswa lainnya, itu berarti aku juga. Jangan harap aku akan membukakan pintu!

"Jangan bercanda, Pak. Saya belum pernah mendengar ada dosen yang mengunjungi rumah mahasiswa bimbingannya sendiri. Tidak perlu repot begitu, bukankah Pak Haidar bisa saja meminta mereka melakukan bimbingan di manapun yang Anda mau? Kenapa harus bersusah payah begitu,

" kata Hamna dengan tenang, padahal yang sebenarnya adalah Hamna tidak ingin Haidar mengetahui rumahnya.

"Memangnya kenapa? kamu takut saya mengunjungi rumahmu, kapan-kapan ya? Jangan khawatir, saya tidak berniat bertamu ke rumah gadis dingin sepertimu," jawab Haidar

Laki-laki ini memang menyebalkan sejak awal. Eh, tapi, ada bagusnya juga kalau dia berpikiran begitu.

"Saya juga tidak akan pernah menerima tamu menyebalkan seperti Anda, Pak!" jawab Hamna lagi tak mau kalah.

Fiya berdeham kecil, karena sibuk berdebat dengan Haidar, ia hampir lupa dengan keberadaan Fiya.

"Bisakah aku menyelesaikannya?" Fiya bersuara, melerai perdebatan yang tidak berarti itu.

"Ah iya, Fiya, maaf ya. Silahkan dilanjutkan lagi. Aku akan diam sekarang."

"Kamu memang seharusnya diam. Suaramu sangat tidak enak didengar. Kamu tahu itu, kan?" Laki-laki itu, jika bukan karena Fiya ada di sini, Hamna pasti akan membenturkan kepalanya ke dinding saat ini juga. Menyebalkan!

Tapi Hamna tidak boleh membalasnya, ia harus diam, harus tetap tenang, harus sabar. "Silahkan Fiya." Hamna mempersilahkan Fiya berbicara dan menjelaskan. Agar semuanya segera selesai.

Fiya mulai menjelaskan, dosen muda itu akhirnya diam dan mendengarkan, sesekali kepalanya mengangguk sambil berkata, 'oh begitu' 'iya iya' 'lalu?' Hamna juga turut mendengarkan penjelasannya, sambil sesekali meminum kopinya yang tersisa.

"Itu saja yang bisa saya jelaskan, Pak. Jika ada yang ingin ditanyakan, saya rasa Pak Haidar bisa meminta penjelasan dari Hamna."

"Baik, terima kasih, untuk saat ini saya rasa sudah cukup. Nanti di rumah, saya akan baca kembali."

Setelah mereka selesai, dan merapikan semuanya kembali. Hamna pun bersuara, sungguh ia penasaran dengan suara imam masjid tadi, Fiya tahu banyak hal, mungkin dia juga mengetahui hal ini.

"Oh iya, Fiya, aku juga ingin bertanya suatu hal padamu." Hamna bertanya antusias.

"Kamu mau bertanya apa?" Fiya memutar badannya jadi menghadap Hamna sepenuhnya.

"Kamu tahu masjid yang sering kukunjungi, kan?"

"Iya, tahu, kenapa memangnya?"

"Tadi saat aku salat Zuhur di sana, aku merasa ada yang berbeda dengan imam masjid itu."

"Maksudmu?"

"Iya, suara Muazin dan suara Imamnya tidak seperti yang biasa kudengar. Kali ini suaranya begitu merdu, aku baru mendengar suara yang begitu merdu. Dan pelafalan nya juga bagus sekali, seperti suara Qori' Internasional."

"Apa benar begitu? Seperti apa suaranya?" Fiya bertanya dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.

"Apakah suaranya seperti ini ... " Dosen muda itu bersuara. Lalu Haidar membaca surah Al-Fatihah.

"Suaranya sangat mirip, mungkinkah?"

Fiya yang mendengarnya tampak terkagum-kagum.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!