"Kamu aku talak!" laki-laki setengah baya itu berteriak, matanya nyalang meluapkan kekesalan di dadanya yang kembang kempis. Sedang seorang perempuan yang ditalaknya masih berdiri dengan tenang. Tapi tatapan matanya yang tajam menyiratkan kemarahan yang amat besar. Tangannya mengepal, sesungguhnya ia berusaha menenangkan gejolak amarah di hatinya.
Perempuan berusia 30 tahunan itu berulang kali menarik napas, memompa oksigen di sekitarnya. Hatinya marah dengan apa yang telah dilakukan suaminya itu, selama bertahun-tahun ia menahan semua kepahitan dan pengkhianatan itu sendirian, demi anak perempuan satu-satunya. Agar anaknya mendapat status keluarga yang utuh. Tidak pernah dibiarkannya anak gadisnya melihat semua kedukaannya.
"Aku bahagia kamu talak, jangan lupa dengan perjanjian pranikah yang kita buat. Barangsiapa yang berkhianat harus memberikan setengah aset kekayaannya kepada pihak yang dikhianati. Jangan mencoba mengelak, aku punya kuasa hukum." Ia berkata dengan tegas, meski perpisahan adalah akhir dari pernikahannya selama 20 tahun ini, ia sedikit merasa puas. Bukan karena ia berhasil merebut kekayaan laki-laki itu, melainkan berhasil membuktikan perselingkuhan suaminya sendiri sampai suaminya tak bisa mengelak lagi.
Laki-laki itu pergi membawa kekesalannya dengan membanting pintu kamar dengan keras. Meninggalkan perempuan itu dengan getir. Perempuan itu terduduk lemah, tangannya meremas dadanya pedih. Ada sesak yang begitu menghimpit hatinya. Mengapa harus begini Tuhan? hatinya menjerit, air matanya mengalir deras. Ia tergugu di kamarnya yang luas itu.
Sebuah tangan halus menyapu bahunya ringan, "Bunda, apa yang terjadi?" tanya gadis itu lirih, Ayuna mengusap air matanya cepat lalu menatap anak gadisnya sayu, Ayuna memaksakan senyumnya agar Shafiya, putri kesayangannya itu tidak merasa khawatir.
Ayuna menciumi telapak tangan putrinya, membawa tangan gadis itu ke dalam dekapannya yang hangat. Gadis itu menatap Bundanya nanar, batinnya terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orang tuanya? Ia hanya melihat Ayahnya yang pergi dengan kemarahan. Dan Bundanya menangis tergugu. Ia memaksa kepalanya untuk berpikir, "apakah keduanya bertengkar hebat? Tapi karena masalah apa? Kenapa Ayahnya terlihat sangat marah tadi? Tidak mungkin kan Bundanya melakukan kesalahan yang fatal bagi pernikahan mereka?"
"Fiya, sayang, kamu harus berjanji ya akan selalu bersama Bunda, berada di samping Bunda sampai kapanpun. Jangan pernah tinggalkan Bunda sendirian ya, Nak?" pinta Ayuna pada Shafiya, putri semata wayangnya yang sekarang sudah beranjak dewasa. Shafiya mendekap Ayuna erat, keduanya berpelukan, mengalirkan kasih sayang antara Ibu dan Anak.
Selama beberapa menit mereka berpelukan, sampai Ayuna membuka suara, "Fiya, kalau Bunda memutuskan bercerai dan mengajukan gugatan cerai untuk Ayahmu, kamu akan berpihak kepada siapa, Nak?" Ayuna menatap mata anaknya dengan mata yang sedikit sembab.
Ia tahu Shafiya pasti akan terkejut dengan kabar ini. Fiya melepaskan pelukan mereka, raut wajahnya berubah kecut. "Apa maksud Bunda? Kenapa kalian mau bercerai? Kalau ada masalah dalam rumah tangga kalian seharusnya kalian mendiskusikannya dengan baik, kenapa harus bercerai?"
Ayuna menarik napasnya, ia sudah tahu kalau pertanyaan ini pasti akan keluar dari mulut Fiya. Anaknya beranjak dewasa begitu cepat, ia juga tidak mungkin terus menutupinya. Fiya berhak tahu apa yang telah diperbuat Yasser Nazli El-Qamar, Ayahnya. Ia hanya berharap anak gadisnya dapat bijaksana.
Ayuna menceritakan kisah Yasser yang berselingkuh darinya, karena mendambakan seorang anak laki-laki. Perempuan yang Yasser nikahi diam-diam itu adalah pegawai di kantornya, Yasser menyukai perempuan itu karena parasnya yang cantik juga cerdas dalam bidang akademik, dan perempuan itu juga mencintai Yasser karena sikap Yasser yang begitu pengertian. Sehingga keduanya menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi.
Ketika Ayuna tahu bahwa Yasser mengkhianatinya, ia gentar dan sangat marah, ingin rasanya ia membunuh laki-laki dan perempuan itu. Tapi akal sehatnya berkata bahwa menuduh secara langsung saja tak akan membuat Yasser mengakui kesalahannya, laki-laki itu pasti berusaha mengelak.
Jadi, setelah Ayuna tahu perselingkuhan itu, Ayuna tetap diam dan bersikap seolah-olah Yasser tidak melakukan apapun, Ayuna tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik.
Sesekali ia meminta perhatian suaminya, seperti mengajaknya berbelanja, meminta dibelikan mobil ataupun perhiasan yang mewah. Sambil mengumpulkan bukti perselingkuhan Yasser, dan hari ini, kesalahan yang Yasser tutupi dengan baik selama bertahun-tahun itu akhirnya ia bongkar sendiri. Jangan tanyakan sakit yang menyerang hatinya, sudah lama hatinya menjerit kesakitan, tapi selalu ditahannya.
Mengetahui fakta itu, Fiya memeluk Ayuna erat. Diusapnya kepala Ibundanya penuh sayang. Tidak disangkanya Sang Bunda begitu kuat menyimpan keburukan Ayah yang begitu dihormatinya seorang diri.
"Kenapa Bunda tidak membagi beban itu denganku? Bukankah aku ini anak kesayangan Bunda? Seberapa terlukanya hati Bunda? Bagaimana mungkin Bunda sanggup menanggung semua kepedihan itu?" Batin Fiya merintih, kepalanya terus menebak-nebak kenapa bisa Ayahnya sekejam itu pada mereka berdua. "Apa karena Fiya adalah anak perempuan bukan anak laki-laki seperti yang diinginkan Ayah?"
"Bunda, kenapa Ayah tega menduakan Bunda? Apa kurangnya Bunda? Bunda setiap hari bangun lebih pagi agar bisa menyiapkan semua keperluan Ayah. Bunda juga selalu menuruti semua perkataan Ayah. Bahkan Bunda juga rela tidur lebih malam demi membantu pekerjaan Ayah. Apa semua yang telah Bunda beri untuk Ayah masih kurang?" akhirnya pertanyaan-pertanyaan yang meluap di kepala Fiya berhasil dikatakannya.
Ayuna tersedu lagi. "Fiya, perkara rumah tangga ini lebih rumit dari yang kamu duga. Bunda juga merasa bersalah pada Ayahmu, jika saja Bunda bisa hamil lagi dan melahirkan adik laki-laki untukmu, mungkinkah Ayahmu akan berbuat begini? Ini salah Bunda juga, Nak. Bunda tidak mampu memenuhi semua ego Ayah sebagai laki-laki, bisa dibilang Ayahmu juga terluka."
"Omong kosong apa itu Bunda? Apakah makna pernikahan bagi Ayah hanya ajang untuk memperbanyak keturunan? Jika begitu bagaimana pasangan yang tidak memiliki keturunan dapat memaknai sebuah pernikahan?" emosi Fiya benar-benar meledak sekarang ini. Fiya benar-benar kecewa pada Ayahnya. Kepercayaan yang telah dibangun begitu kokoh, tak disangka mulai runtuh.
"Tidak, Nak. Bukan begitu, ada hal-hal yang tidak dapat kamu cerna dari pemikiran orang tua. Ayahmu menginginkan anak laki-laki agar bisa menjaga keluarga ini dengan baik, itu saja. Dan Bunda tidak mampu mewujudkan keinginan itu, secara tidak langsung Bunda juga sudah melukai perasaan Ayahmu. Meskipun Bunda sangat marah atas pengkhianatannya, tapi Bunda harap kamu juga mengerti satu hal. Ayah sangat menyayangi kamu, kamulah putri satu-satunya."
Fiya masih terus mengutuki tingkah tanduk Yasser, hati kecilnya masih tidak bisa menerima kenyataan sekalipun Ayuna telah menjelaskan segalanya dengan sangat baik. Kedua mata Fiya memandangi wajah Ayuna yang meratap, ratapan yang menyayat batin Fiya. Hati anak mana yang tak terluka melihat Ibunya berduka?
Di wajah tirus Fiya bahkan terlukis kekesalan yang begitu nyata untuk Yasser, di matanya terekam kebencian untuk perempuan itu. Fiya berjanji dalam hati akan menemukan perempuan yang telah merebut Ayahnya. Ia akan membuat perhitungan padanya dengan begitu jelas.
Ayuna terdiam, matanya tertunduk tapi telinganya mendengarkan semua emosi Fiya. Ia bisa mengerti semua kemarahan putrinya, sudah menjadi naluri seorang anak merasa marah ketika orang tuanya dilukai, apalagi yang melukai itu adalah seseorang yang begitu dihormatinya.
Seseorang yang menjadi panutan hidupnya. Ayuna hanya berharap kemarahan Fiya pada Yasser tidak akan menimbulkan kebencian dan trauma bagi putrinya. Dalam hati, Ayuna merenda doa semoga Fiya bisa menjadi perempuan yang bijaksana dalam memilih di kemudian hari.
Hari beranjak siang, selepas berhasil melampiaskan emosinya, Fiya berpamitan pada Ayuna akan pergi ke kampus. Padahal yang sebenarnya adalah Fiya butuh menenangkan hati dan menjernihkan pikirannya yang amat kusut layaknya benang, pikirannya berhamburan kesana kemari. Tinggal di rumah yang ditempatinya bersama Yasser dan Ayuna hanya akan mengingatkan dirinya, bahwa keluarganya tak lagi utuh.
Sebelum Fiya pergi, Fiya meminta Ayuna untuk beristirahat di kamar, jangan kemana-mana. Apalagi menerima telepon dari Ayahnya, diduganya Yasser tidak akan pulang untuk beberapa hari, ia pasti akan menghabiskan waktu di rumah istri mudanya. Di saat itu, mereka berdua akan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dan mengirimkan undangan sidang perceraian itu padanya.
Fiya menghentikan mobilnya di dekat taman tak jauh dari rumahnya. Ia menjatuhkan keningnya di kemudi mobilnya. Di sana ia menangis tersedu, bulir air mata terus membanjiri pipinya. Berapa kalipun ia menangis, air mata itu tidak bisa berhenti ketika diingatnya semua kepedihan yang harus ditanggung Sang Ibunda.
Benarkah yang diucap Ibunya bahwa Ayahnya begitu menyayangi dirinya? Kalau benar begitu, kenapa Ayahnya mengkhianati cinta Bundanya? Kenapa? Masih banyak tanya berputar-putar di kepala Fiya.
Semakin ia pikirkan alasan dan kemungkinan, semakin pening kepalanya. Ia memutuskan kembali melanjutkan tujuannya ke kampus, ia akan bertanya dan menceritakan semuanya kepada Hamna. Mungkin Hamna bisa membagikan sebuah solusi untuknya. Diambilnya telepon genggam berwarna merah muda dari dalam tasnya, jarinya dengan lihai menekan nomor-nomor di sana.
......................
"Hamna, aku harus apa? Aku benar-benar bingung, Na" entah sudah berapa kali Fiya menangis tergugu, tapi air matanya masih saja deras. Bahunya bergetar, Hamna hanya mampu menepuk-nepuk pundak Fiya pelan. Jika ia bisa memberi rasa tabah pada Fiya, detik ini juga akan ia berikan semua ketabahan yang ia punya untuk Fiya.
Batin Hamna juga terluka setelah mendengar cerita Fiya. Matanya turut menitikkan air mata kesedihan untuk sahabatnya itu. Tak pernah dikira olehnya bahwa gadis ceria seperti Fiya harus menanggung duka begitu besar. Baru kali ini ia melihat Fiya yang begitu terpuruk, hari-hari biasanya Fiya begitu periang, bahkan saat mood Hamna tidak baik, Fiya-lah yang menghiburnya dengan segala cara. Seperti melemparkan pertanyaan-pertanyaan konyol, atau bahkan membelikannya eskrim dan cokelat agar suasana hatinya membaik.
Sekarang, apa yang harus dilakukannya agar Fiya tidak terus bersedih begini? Ujung matanya menatap Fiya iba, rasa kasihan menjalari seluruh tubuhnya. Yang bisa Hamna lakukan sekarang hanyalah mengelus-elus bahunya penuh kelembutan sambil sesekali lisannya menggaungkan kalimat penenang. Nihil. Fiya masih tergugu. Mungkin tangis adalah satu-satunya cara meluapkan emosi paling mudah bagi Fiya.
Haidar bergabung dengan kedua gadis itu, tangan kanannya membawa tiga gelas minuman cokelat dingin yang tadi dipinta Hamna. Sejak ia sampai, Hamna langsung memintanya pergi memesan minuman. Haidar tahu maksudnya adalah agar membiarkan Hamna bicara berdua dengan Fiya. Ia memandang Hamna sekilas, lidahnya menanyakan sesuatu tanpa suara. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" katanya dengan isyarat. Tangannya terulur memberikan segelas coklat dingin itu pada Hamna.
Sejujurnya, Hamna juga tidak tahu harus bertindak apa. Ia takut jika ia berbicara apa yang dipikirkannya, justru akan semakin mengguncang perasaan Fiya.
"Katakan saja apa yang kamu pikir terbaik, Na, saya percaya dengan jalan pikir kamu. Jika Fiya meminta saranmu, itu artinya dia juga percaya padamu." Bisiknya lagi, kali ini, ucapannya lebih serius, seolah mengerti kebimbangan Hamna. Hamna menimbang-nimbang.
Haruskah ia mengatakannya? Ia ingin tapi lidahnya benar-benar tak mampu. Haidar menunggu, Fiya masih tertunduk, tangisnya melemah tapi isaknya masih terdengar pilu. Hamna meradang, pikirannya terbang entah kemana.
Apa yang sebenarnya diberikan kehidupan kepada kita?
Kesedihan yang beberapa kali menerjang
Kebahagiaan yang sesekali datang
Pelajaran hidup yang berharga
Harapan yang tak biasa
Atau apa?
Apapun itu, aku hanya bisa percaya Tuhanku tidak akan membebani aku dengan sesuatu hal yang tak aku mampu.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Bersabarlah Fiya 😭
2024-11-28
0