Hamna berjalan dengan agak terburu-buru ke dalam kampus, langkahnya pasti, tatapannya tanpa ragu, ia berjalan selangkah demi selangkah seolah menuntut diri untuk lekas sampai. Menagih janji selama satu bulan ini tidak masuk kampus. Ada banyak hal yang harus diselesaikannya.
Wajahnya bersinar indah, seindah cahaya pagi yang menelisik dedaunan di taman kampus. Baru beberapa langkah, seseorang memanggilnya. Gadis itu melambaikan tangan dan mengucapkan selamat pagi, Hamna menyambutnya dengan senang hati. Mereka berpelukan hangat di bawah langit ibukota yang cerah.
"Kamu sudah lebih baik?" tanya gadis itu sembari melepas pelukan hangat itu. Hamna menganggukkan kepalanya.
"Ya, sudah lebih baik, makanya aku memutuskan untuk masuk kampus. Aku mau cepat-cepat mengurus sidangku" katanya menjelaskan singkat. Mereka berbincang sambil berjalan masuk ke kampus.
"Kamu kemana setelah malam itu? Aku menjengukmu lagi di pagi harinya tapi resepsionis bilang kamu sudah pulang. Kamu bahkan tidak mengaktifkan teleponmu, aku jadi khawatir tahu!"
"Setelah Subuh aku langsung pulang, aku mau berisitirahat di rumah dengan tenang makanya tidak mengaktifkan ponselku. Kamu tidak usah khawatir begitu."
"Huhuhu, aku takut kamu marah padaku."
"Buat apa aku marah? Sudah, sudah, jangan diungkit lagi."
"Emm, ya"
"Bagaimana dengan mata kuliah yang kamu ambil? Apa semuanya baik? Aku sudah absen lama sekali, aku sedikit rindu kampus ini. Pasti ada banyak hal yang aku tinggalkan."
"Kalau begitu ayo aku antar kamu keliling, tapi kita harus ke kantin dulu mengisi perut."
"Oke, ayooooo"
......................
Laki-laki itu keluar dari mobilnya, mata kebiruannya fokus pada satu sosok yang berjalan dengan agak terburu-buru. Sejenak ia memerhatikan gerak-gerik sosok itu. Hatinya bergemuruh, ada sesak yang tiba-tiba menyusup ke dalam ruang hatinya. Ia menghela napas, setelahnya ia memakai jas kebanggaannya.
Ia merogoh sakunya dan mengambil ponsel, terlihat di sana satu pesan notifikasi, 'Lapor, Pak! Hamna sudah masuk kampus, hari ini kami mau sarapan di kantin. Jangan lupa bergabung, ya!'
Ia membaca pesannya dengan senyum mengembang, seketika sesak yang menghimpit hatinya hilang berganti dengan perasaan bahagia yang membuncah, padahal hanya melihatnya saja. Mungkin, beginilah rasanya jatuh cinta. Rasa khawatir dan bahagia melingkupi hati secara bersamaan.
Haidar memacu langkahnya dengan pasti, bahkan debu pun tersipu malu dengan langkah yang begitu kukuh menuju sang kekasih. Mulai dari hari ini, aku akan berjuang dengan sungguh-sungguh. Aku akan sepenuhnya memenuhi janjiku pada Tuhanku, orangtuaku, juga hatiku sendiri. Lirih Haidar dalam hati. Ia berjalan dengan senyum bahagia menghias wajahnya yang tampan.
......................
"Wah, sepertinya kalian sangat menyukai meja nomor sebelas ini, ya? Apa boleh orang asing ini bergabung?"
Dua gadis yang sedang asyik mengobrol itu menghentikan obrolannya sesaat mendengar ada suara seorang laki-laki. Haidar mengembangkan senyum manisnya, membuat atmosfer kantin tertuju padanya. Hamna mendongak menatap laki-laki itu.
Laki-laki ini kharismanya selalu membuat pandangan mata hanya tertuju padanya, Hamna membatin. Ada perasaan canggung tapi juga bahagia melihat Haidar di hadapannya di pagi secerah ini. Sedangkan Haidar, disaat Hamna lengah ia mencuri pandang.
Ditatapnya lekat-lekat gadis dingin itu, wajahnya sayu, tapi dia tampak baik-baik saja setelah keluar dari rumah sakit dua minggu yang lalu. Tanpa kabar apapun, tiba-tiba saja menghilang dan tidak dapat dihubungi, membuat seseorang mengkhawatirkannya setiap hari.
"Eh Pak Haidar, sudah sarapan? Mau bergabung?" tawar Fiya berbaik hati. Hamna masih bungkam, tidak berkata sepatah kata pun, hati dan pikirannya masih berkecamuk, sekalipun ia ingin berbicara, lidahnya terasa kaku.
"Dengan senang hati" kata Haidar lalu laki-laki berperawakan tinggi itu mengambil duduk tepat di samping Hamna. Membuat gadis itu terperanjat kaget. Netranya menatap Haidar. Haidar menatapnya sekilas dan tersenyum. Senyum yang kembali membawa debaran tak menentu untuk Hamna.
"Oh ya, Hamna, kamu bilang mau cepat-cepat menyelesaikan sidangmu? Kebetulan sekali dosen pembimbingmu ada di sini. Bagaimana kalau kamu langsung membicarakannya saja?" usul Fiya sembari memberi Hamna secangkir kopi yang baru saja diantar pelayan.
Hamna tampak mengerjapkan matanya, tersadar. "Kamu mau cepat-cepat sidang?" tanya Haidar, netranya mengamati pelan sosok Hamna yang tampak tak bersemangat itu.
"Iya" jawab Hamna dengan lemah. Matanya tertunduk menatap cangkir kopinya, hidungnya menghirup aroma khas kopi kesukaannya, mencoba mencari ketenangan dari uap yang mengepul itu. Tenang. Ia harus tenang. Tidak boleh bersikap defensif sekarang.
"Begitu, ya, hari ini kamu tidak bisa pulang cepat kalau mau mengejar ketertinggalan. Teman-temanmu yang lain sudah melakukan penelitian. Setelah sarapan nanti ikut saya, jangan lupa bawa catatan dan buku seperlunya"
"Eh? Ke mana?"
"Kamu sudah menentukan judul?"
"Saya rasa sudah, setidaknya saya punya 3 judul untuk diajukan, hanya perlu meminta pendapat Pak Haidar. Jika salah satunya bisa memenuhi harapan Pak Haidar, saya akan langsung menyiapkan penelitian dan hal lainnya"
"Hmm bagus, kalau begitu sebelum pergi kita diskusikan dulu di ruangan saya"
"Baik"
Setelah percakapan serius itu, tidak ada yang membuka suara lagi. Semuanya memakan sarapan mereka dengan tenang. Fiya lebih dulu berpamitan untuk mengejar kelas tambahannya lagi. Sedangkan Hamna dan Haidar pergi ke ruangan Haidar untuk menentukan judul mana yang seharusnya dijadikan penelitian.
......................
Kini, mereka berdua berada di dalam mobilnya Haidar, setelah memutuskan judul penelitian untuk Hamna, mereka sepakat untuk membicarakan hal lain di luar.
"Kita sebenarnya mau kemana?" tanya Hamna setelah memastikan dirinya memakai seatbelt dengan benar.
"Ke suatu tempat, kita cari referensi dan penyegaran. Kamu sudah selama sebulan ini tidak pergi keluar, kan? Pasti merasa bosan. Jadi, ayo kita jalan-jalan!" ucap Haidar antusias.
"Jalan-jalan? Pakai mobil? Sepertinya itu tidak bisa disebut jalan-jalan"
"Eh? Kenapa memangnya?" ia bertanya panik, takut kalau Hamna tiba-tiba berubah pikiran.
"Jalan-jalan harusnya berjalan kaki, kalau naik mobil namanya berkendara" jawab Hamna sambil menopang dagunya santai.
Haidar yang menyadari maksud perkataan Hamna tiba-tiba membeku. Kenapa tidak terpikirkan olehnya?
"Tenang saja, kita bisa berjalan-jalan sesuka hatimu ketika sudah sampai" ucapnya lagi. Setelahnya mereka melaju ke pusat kota.
Haidar membawa Hamna mengelilingi kota, di sepanjang jalan hanya kebisuan yang mengiringi keduanya. Hanya suara mesin mobil yang mengalun merdu. Pikiran Hamna melayang ke beberapa tahun lalu, masa di mana keluarganya bepergian dengan mobil bersama-sama. Ia mengingat suara Ayah dan Ibunya. Ayahnya sosok yang tegas, tampan dan berwibawa namun lembut. Sedangkan Ibunya sosok perempuan yang lemah lembut, perhatian dan penuh kasih sayang.
Mengingat kenangan itu, sebulir air mata lolos ke pipinya yang mulus nan bersih. Haidar yang meliriknya sesekali menahan pedih yang tak kentara, semua duka Hamna, ia ketahui dari Fiya. Hamna meski gadis itu tampak dingin dan cenderung cuek, di dalam dirinya yang sebenarnya tersimpan adalah luka. Luka yang bahkan tak bisa ia bayangkan, jika ia jadi Hamna mungkin ia tak akan bisa melaluinya dengan begitu mudah.
Haidar memberikan sapu tangannya pada Hamna, sedang gadis itu yang menyadari dirinya menangis cepat-cepat mengusap air matanya. Ia tak mau menunjukkan kesedihannya pada siapapun, dan membuat orang lain mengira kalau dirinya lemah. Tak seorangpun berhak tahu semua luka hatinya. Hamna menghela napas lalu menerima sapu tangan itu dan menggenggamnya erat, seolah sapu tangan itu adalah sesuatu yang amat berharga.
"Kita sudah sampai, ayo turun" kata Haidar setelah memarkir mobilnya dengan baik. Hamna mengangguk paham, lalu keduanya turun bersamaan.
Mereka kini berada di taman kota. Taman Kota yang hijau indah dan bersih ini biasanya menjadi tempat bersantai orang-orang dari penatnya bekerja dan belajar, taman kota adalah tempat yang cocok untuk memulihkan otak setelah sekian lama berkutat dengan kesibukan dunia.
Mereka berjalan bersisian, angin sejuk menerpa wajah keduanya ketika mereka memasuki taman kota yang penuh dengan pepohonan hijau. Hijab yang dikenakan Hamna berkibar tertiup angin. Haidar mengedarkan pandangannya, ia melihat ada sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan, hatinya tergerak untuk menjahili Hamna.
"Na, coba kamu lihat ke arah jam 9" Hamna yang sedari tadi menikmati pemandangan taman kota, mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan Haidar. Matanya menangkap sepasang muda-mudi yang tampak memadu kasih.
Keningnya berkerut, "ada apa?" tanyanya kebingungan dengan yang dimaksud Haidar. Itu hanya sepasang kekasih, apa yang salah dengan itu?
"Tidakkah kamu lihat mereka sangat romantis?" kata Haidar lagi, matanya memandang ke arah pasangan itu. Ia tersenyum membayangkan jika dia dan Hamna bisa duduk sambil berbincang mesra seperti itu.
"Romantis apanya? Itu hanya cinta masa muda, sama sekali tidak menarik dilihat" sarkas Hamna. Dalam pikirnya, pasangan itu pasti pasangan yang bodoh, sembarangan mengumbar kemesraan di tempat umum. Ditebaknya juga mereka itu bukan pasangan halal. Jadi, dimana letak romantisnya?
"Hei, hei, hei, saya tahu kamu single tapi apa perlu sesarkas itu pada pasangan yang bahkan tidak tahu kalau kamu mengumpat mereka. Sungguh tidak punya hati"
"Saya bicara yang sebenarnya. Apakah menurutmu mereka saling cinta, Pak?"
"Tentu saja, mereka terlihat lebih baik dibanding kita berdua yang seperti orang asing, kita datang bersama tapi kamu begitu menjaga jarak sampai dua meter begini!"
"Ah, saya merasa seperti sedang disindir secara halus"
"Bagus kalau kamu merasa begitu. Hamna memang perempuan yang cerdas sampai bisa begitu cepat memahami kalimat sederhana orang"
"Bukan begitu ... maksud saya ... "
"Terus apa maksud yang sesungguhnya?"
Mereka terlibat perdebatan yang tak berguna. Hamna sesaat memandang birunya langit, matanya yang kecoklatan itu mengamati pergerakan awan yang bergerak perlahan.
"Menurutmu, cinta itu apa, Pak?" tanya Hamna tiba-tiba, membuat Haidar yang sedari tadi memerhatikan pasangan kekasih itu seketika mengalihkan pandangannya kepada Hamna.
Ia menata Hamna yang menengadah ke langit dengan lekat. Memerhatikan keindahan Tuhan yang terpampang di hadapan wajahnya.
"Cinta?" Haidar menatap langit, ia tersenyum lembut. "Menurut saya, ya. Cinta tidak bisa dideskripsikan melalui beberapa kata, karena kata saja tidak akan mampu menjelaskan makna cinta itu sendiri, Na. Sejauh yang saya pahami secara sederhana, cinta adalah rasa bahagia ketika kamu melihatnya tersenyum, dan merasa sedih ketika melihatnya terluka" jelasnya.
Hamna yang menyadari makna tersirat dari ucapan laki-laki itu membulatkan matanya, tidak menduga jawaban sederhana seperti itu yang akan diucapkan Haidar.
Hamna membuang muka lalu berjalan pelan ke arah bangku taman. Haidar yang melihatnya langsung mengikutinya berjalan. Mereka duduk bersisian.
"Menurutmu, itu Cinta?" tanyanya lagi setelah beberapa menit dilaluinya dengan kebisuan.
"Sebenarnya, saya juga tidak yakin. Saya hanya mengatakan apa yang dirasakan oleh hati saja. Terlalu sederhana kedengarannya, ya? Satu hal yang saya tahu, Na, cinta tidak mampu dijelaskan, ia hanya bisa dirasakan oleh hati ... " Haidar menggantung ucapannya.
"Saya rasa tidak perlu dilanjutkan lagi. Oh ya mau minum kopi? Saya traktir" ia tersenyum lalu pergi memesan kopi setelah mengatakan jawabannya.
Hamna hanya bisa menarik napas panjang. Menghadapi pria semacam Haidar memang harus sabar.
Tak lama Haidar kembali dengan membawa dua gelas es kopi dan kue-kue kering yang dibelinya dari pedagang kaki lima taman kota. Ia memberikan segelas es kopi itu kepada Hamna. Hamna menerimanya dengan senang hati lalu meneguknya pelan.
Hamna menatap serius ke arah depannya, ke arah kakek nenek yang sedang duduk berdua sambil menggandeng tangan. Mendadak senyum Hamna terbit. Haidar yang menyadari hal itu, matanya ikut menatap arah pandang Hamna.
"Apa yang kamu lihat dari sepasang kakek nenek itu?"
"Mereka romantis sekali"
"Romantis?" Haidar bertanya kebingungan.
"Ya"
"Coba jelaskan kepada saya, kenapa mereka bisa romantis?" tanyanya lagi, ia sungguh bingung sekarang ini. Tadi ketika ia menunjukkan pasangan muda yang sedang bermesraan, ia bilang itu tidak menarik. Sekarang pasangan kakek nenek yang sudah menua ia bilang romantis. "Sebenarnya apa yang dipikirkan Hamna sih. Apa kepalanya rusak pasca koma, ya?"
"Jujur saja, saya tak pernah iri kepada pasangan muda-mudi yang mengumbar romantisme cintanya pada dunia. Saya lebih kagum pada sosok pasangan yang tetap setia pada satu wajah, meski wajah itu telah menua ditelan usia ... "
" ... Saya lebih iri kepada pasangan yang menjunjung tinggi rasa percaya, meski masa sudah mengikis habis rasa keduanya. Apa lagi yang lebih menenangkan dari dua hati yang saling mengerti satu sama lain?" jelas Hamba, matanya kembali menatap langit. Tiba-tiba ia teringat akan orang tuanya. Kisah keduanya. Senyum keduanya. Tatapan cinta mereka. Dan betapa ia merindukan mereka.
Haidar terpaku di tempat, tak menyangka dengan arah pikir Hamna. Tapi ia juga terpana dengan apa yang diucapkan Hamna. Gadis ini sepertinya memiliki perspektif berbeda dengan kebanyakan orang.
Haidar melirik arlojinya, hari semakin sore, ia mengajak Hamna pulang setelah keduanya puas berkeliling dan menukar isi kepala masing-masing. Haidar pulang dengan perasaan lega juga bahagia. Hari ini, setidaknya ia sudah bisa melihat senyum Hamna, meski senyumnya hanya setipis garis.
Keduanya meninggalkan taman kota, semburat senja menghias perjalanan pulang keduanya dengan tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
setuju 👍
2024-11-28
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
semangat Haidar 💪😍
2024-11-28
0