Hamna tak menyangka Pak Nasher akan memintanya jadi asisten dosen laki-laki menyebalkan itu, laki-laki yang dengan berani mengambil tempat duduknya di kantin tadi pagi.
Benar-benar menyebalkan bagi Hamna, jika bukan Pak Nasher yang memintanya, sampai kapanpun Hamna tidak akan mau. Jangankan jadi asistennya, bertemu dengannya saja Hamna tidak akan peduli.
Setelah keluar dari ruangan Pak Nasher, Hamna berjalan dengan agak kesal, kembali ke kelas di mana ia meninggalkan Fiya sendirian untuk membaca buku.
Hamna duduk di samping Fiya dengan menghentakkan tubuhnya agak keras, sampai ia tidak sadar membuat Fiya terkejut.
"Ya ampun, Hamna, kenapa?" tanya Fiya melihat raut wajah Hamna yang sedikit kesal. Hamna benar-benar dibuat kesal sampai rasanya ia ingin sekali melenyapkan laki-laki itu dari muka bumi ini.
Tapi, ia tidak boleh marah-marah hanya karena satu laki-laki itu. Ia menghela napas panjang, "tidak apa-apa," ucap Hamna pada akhirnya.
Ia melirik jam yang terpajang di dinding kelas, ternyata sudah jam 11 lewat, sebentar lagi azan dzuhur. Ia bergegas merapikan diri.
"Fiya, sudah jam 11 lewat, yuk ke masjid!" ajak Hamna pada Fiya, tetapi sang empunya nama masih berkutat dengan buku-buku dan catatannya.
Hamna menggoyangkan bahunya pelan, "Fi?"
"Eh? Apa Hamna?" ia menoleh.
"Yuk ke masjid."
"Kamu saja ya Hamna, tamu bulananku datang," katanya.
"Oke, kamu tunggu sini, ya, nanti kalau aku kirim pesan, kamu ke kantin," pesan Hamna padanya, ia mengangguk paham.
Setelahnya, ia melangkahkan kaki sendirian ke masjid dekat kampus, yang berada di sebelah selatan. Masjid itu, adalah tempat kedua yang paling sering Hamna kunjungi kala hatinya gundah. Masjid itu juga saksi betapa banyak air mata yang tumpah kala Hamna mengadu pada Rabb-nya.
Sesampainya, Hamna langsung mengambil wudhu, lalu ia duduk di sudut shaf khusus perempuan. Hamna membuka mushaf yang tadi sempat ia ambil di lemari pojok kanan masjid. Lalu membacanya dengan suara pelan.
Tak lama suara azan terdengar, merdu sekali suaranya begitu mendayu-dayu hingga ke relung hati. Begitu indah cara-Nya memanggil para hamba-Nya. Setelah itu Hamna meletakkan kembali mushaf itu dan mengenakan mukenanya.
Allahu Akbar... Allahu Akbar...
"Merdu sekali suara ini, sesering aku mengunjungi masjid ini, suara azannya tak pernah semerdu ini. 'Allah siapakah itu yang mengumandangkan azan? Andai aku bisa bertemu, aku ingin tahu siapa Muazinnya," ucap Hamna dalam hati.
......................
Hamna, perempuan itu tidak tahu bahwa yang sedang mengumandangkan azan itu adalah Haidar, laki-laki yang baru saja dikenalnya, laki-laki yang sudah membuatnya kesal seharian ini.
"Shaf-nya tolong dirapatkan!" pinta lelaki itu setelah iqamah dikumandangkan. Ia berdiri dengan gagah di shaf paling depan sebagai imam, kali ini ia diminta khusus oleh pengurus untuk menggantikannya, ia pun menyanggupi. Ia bertakbir dengan lantang, Allahu Akbar...
Yang tidak Haidar tahu, seorang gadis yang ia suka juga berdiri di belakang sebagai makmumnya. Pun Hamna, tidak tahu bahwa Imam yang memimpin salat zuhur yang ia ikuti adalah Haidar.
Keduanya tidak tahu, tapi Tuhan mereka mengetahui segalanya, bahkan isi hati mereka yang paling dalam sekalipun.
Yang satu meminta semoga salah satu makmumnya berdiri di belakang shaf. Sedangkan yang satu lagi meminta semoga Imam di depan, adalah Imamnya di masa depan.
Salat telah ditunaikan, kini yang terdengar hanya suara aamiin... aamiin... aamiin... Dari para hamba yang berharap akan ridha Sang Ilahi.
......................
Hamna melipat mukena miliknya dan bersiap untuk makan siang. Ia membuka ponselnya dan mengirim pesan kepada dosen muda itu, ia teringat ada yang harus dibahas siang ini.
"Jam 1 di kantin, Pak. Ada yang harus dibahas." Setelah mengetiknya, Hamna mengirimnya dan bergegas keluar.
Ting! ponsel Hamna berbunyi, balasan darinya.
"Kamu di mana sekarang?"
Peduli sekali dia? Apa begitu penting untuk tahu aku ada di mana? pikir Hamna.
"Masjid," ketik Hamna kemudian.
"Masjid yang di sebelah selatan kampus?"
"Y ... " ketik Hamna singkat, lalu ia kembali memakai sepatunya.
"Ternyata saya benar, saya tidak salah lihat," ucap seseorang dihadapannya, Hamna menengadahkan kepalanya ke atas untuk memastikan, ternyata dia, dosen pembimbingnya. Haidar tengah berdiri di hadapannya, dengan memasukkan kedua lengannya di saku celananya.
Lho? Kenapa dia di sini? Apa dunia benar-benar begitu sempit? gerutu Hamna dalam hati.
Lalu Hamna bangun dan menyejajarkan diriku dengannya. Apa ini, kenapa dia begitu tinggi di hadapanku sekarang?
"Sedang apa Anda di sini, Pak?" tanya Hamna setelahnya.
Jarak mereka terlalu dekat membuat Hamna secara refleks mundur selangkah, Hamna tak sanggup berada di posisi yang begitu dekat dengan Haidar.
"Ah...!" Keseimbangan Hamna tiba-tiba hilang. Ia hampir terjatuh. Beruntung Haidar berhasil menangkap pinggangnya. Jika tidak, Hamna pasti akan membentur lantai.
Dalam beberapa detik, Hamna termangu, Haidar menatap Hamna dalam. Dengan posisi seperti itu, ia bisa mencium wangi tubuhnya dengan jelas, deru napasnya bahkan bisa Hamna dengar, detak jantungnya seirama dengan detak jantung Hamna.
Hamna menelusuri wajah Haidar, ia memiliki alis yang tebal, bulu mata yang lentik, membuatnya terlihat memesona. Hidungnya yang mancung semakin menambah daya pikatnya. Hamna tak akan heran jika ada wanita yang menjerit-jerit melihatnya. Karena baru Hamna sadari, Hamna memang tampan.
Hamna merasakan tangan kekar Haidar yang menarik pinggangnya agar Hamna berdiri ke posisi semula. Ya ampun! apa yang kupikirkan tadi? Itu membuatku malu.
Hamna berdeham kecil menghilangkan kecanggungan, "Ma-maaf, Pak!" ucapnya terhenti, entah karena apa lidahnya jadi kelu.
Haidar tersenyum, senyum yang tak bisa Hamna artikan. "Tidak apa-apa, tapi ternyata kamu berat juga, ya." Haidar berkata sambil memegangi pergelangan tangannya yang ia gunakan untuk menahan Hamna tadi.
Dia pasti berbohong, aku tidak seberat itu kan? Berat badanku saja tidak mencapai 50 kilogram, kok!
Mau seperti apapun, ia tetaplah laki-laki yang menyebalkan! Percuma saja aku mengagumi ketampanannya tadi.
Hamna menatapnya tajam, ah bukankah tadi dia mengambil kesempatan yang bagus? Menahan pinggang Hamna yang ramping!
Melihat Haidar yang menahan tawa dengan menyilangkan tangan membuat Hamna jadi semakin kesal. Hamna memalingkan wajahnya dan berlalu segera.
......................
Pertama kalinya, aku melihat rona merah di wajahnya, ia yang tampak malu begitu lucu. Bukankah dia seharusnya berterima kasih padaku karena aku telah menyelamatkannya?
Karena jika tidak, kepalanya pasti sudah membentur lantai, dan dia akan didiagnosa mengalami gegar otak ringan. Oh ya ampun!
Baru beberapa saat kutatap matanya lekat-lekat, menelusuri tiap jengkal wajahnya untuk kusimpan dalam memori ingatanku.
Sekarang ia justru meninggalkan aku sendirian. Tetapi, melihat cara jalannya yang begitu kesal membuat ia kelihatan menggemaskan.
Lalu Haidar menyusul langkahnya ke kantin.
......................
DI KANTIN
Kantin terlihat sangat ramai di jam makan siang seperti ini, Hamna mendengar ada beberapa yang berbisik-bisik ketika melihatnya. Oh ya, aku lupa aku sedang berjalan dengan dosen muda ini . Pantas saja begitu berisik.
'Hei, siapa itu, tampan sekali!'
'Astaga tampannya, aku tak pernah melihatnya sebelumnya'
'Eh pria tampan itu berjalan dengan siapa?'
'Sepertinya itu pacarnya'
'Ah aku sudah patah hati padahal aku belum mengenalnya'
Hamna menggerutu dalam hati. Aku merasa mereka ini berisik sekali. Juga berkata yang tidak-tidak, apakah pesona memang sebesar itu. Perempuan-perempuan itu apakah sudah buta? Laki-laki menyebalkan begini saja dikagumi. Huh
Hamna yakin sekali perempuan-perempuan yang sedang berbisik itu sedang mengomeli Hamna dalam hati. Berjalan dengan Haidar memang bisa membahayakan citra Hamna. Lain kali, ia akan berjalan di belakangnya saja.
Lain kali aku akan berjalan di belakang atau di depannya saja. Berjalan beriringan seperti ini terlalu, aneh, bagiku.
Setelahnya, mereka memilih tempat duduk di pojok kantin yang agak tertutup, agar tidak terlihat oleh orang-orang. Jika tidak, orang-orang akan mengira mereka sedang berkencan.
"Kamu mau pesan apa?" Ia bertanya pada Hamna setelah mereka berdua mengambil posisi duduk masing-masing.
"A cup of coffee, less sugar, please!" ucap Hamna padanya, lalu ia memanggil pelayan.
"Just that?" tanyanya lagi memastikan, Hamna mengangguk.
"Tidak makan? Kalau hanya minum kopi, saya khawatir kamu kelaparan nanti, dan nanti Pak Nasher mengira saya telah menyiksamu, saya harus menjelaskan apa pada Pak Nasher nanti?" celoteh Haidar lagi sambil membolak-balikkan daftar menu.
Seorang pelayan datang dan menanyakan pesanan mereka. Lalu Haidar menyebutkan pesanannya, "2 roti bakar dan 2 kopi rendah gula, ya." Pelayan tersebut menuliskan pesanannya dan berlalu pergi.
Laki-laki ini, sudah kubilang aku tidak ingin makan apa-apa tapi dia malah memesan dua porsi roti bakar, kalau lapar ya pesan saja makanan berat! Kenapa harus ikut-ikutan tidak makan sepertiku. Ah sudahlah. Terserah dia saja.
Sesaat, setelah pelayan itu pergi, suasana diantara mereka jadi hening, yang terdengar hanya suara riuh orang-orang di sekitar.
Aku suka kesendirian ini, tapi tidak dengan kesepian yang tercipta di dalamnya. Kesepian yang begitu menghantui.
Kadangkala, aku juga pergi menikmati hari, di beberapa kesempatan, aku terpikat oleh keramaian. Selama keramaian berserta orang-orang itu tidak mengusik tenangku, aku akan baik-baik saja.
Hingga di titik cemasku begitu tinggi, aku menutup diri dari semua orang. Tidak ada yang tahu berapa banyak kesedihan yang kupunya. Tak perlu ada yang tahu juga, karena mereka tidak mungkin mengerti.
Untuk mengalihkan perhatian, Hamna memainkan ponselnya. Ada pesan dari Fiya, "kamu di mana?" begitu isi pesannya, setelah membacanya Hamna langsung mengetik balasannya, "di kantin, table nomor 11"
Tak lama pesanan datang bersamaan dengan Fiya yang melambai-lambaikan tangannya pada Hamna. "Hamnaaaaa!" jeritnya sambil berlari kecil. Ya ampun, Fiya semangat sekali.
Hamna memintanya duduk di sampingnya. Aroma roti bakar yang menguar menarik perhatian Fiya begitu ia duduk di samping Hamna, "Wah ...! Ada roti bakar!" ia bersiap untuk memakannya.
Tapi Hamna mencubit pinggangnya sampai Fiya berteriak, "Aww sakit!" ia menatap Hamna ingin protes, Hamna memelototinya. Ia mengerutkan kening, keheranan.
"Kalaupun kamu mau memakannya, setidaknya ijin dulu kepada yang sudah memesannya, kamu ini, sejak kapan tidak sopan begitu!" jelas Hamna panjang lebar.
Fiya ini kalau lihat makanan, langsung melupakan sekitarnya. Fiya mengalihkan fokusnya ke arah depan, tempat di mana dosen muda itu duduk.
"Ah, i ... itu, maaf saya tidak tahu kalau ada Kakak di sini." Fiya tergagap setelah ia mengetahui ada orang lain di meja ini. Laki-laki itu tampak kaget dibuatnya.
"Ah, hahaha! Tidak apa-apa, makanlah kalau kau mau," ucapnya dengan nada yang sumbang, kemudian ia menyodorkan dua piring berisi roti bakar itu kepada Fiya dan Hamna.
Sedangkan Haidar memesan kembali satu porsi roti bakar dan satu minuman untuk Fiya. Lalu ia menyesap kopinya pelan, "Makan dulu baru nanti kita mengobrol," katanya pada akhirnya.
Setelah selesai makan. Hamna mengeluarkan sebuah map yang berisi biodata mahasiswa bimbingannya, sewaktu di ruangan Pak Nasher, Hamna lupa memberikannya.
"Oh ya, aku belum bertanya, kenapa Kak Haidar dan Hamna bisa bertemu? Eh itu, maksudku ... bukannya tadi pagi kalian ...?" ucapnya menggantung, Hamna ingat kalau Fiya belum tahu kalau pria yang duduk di hadapannya itu adalah dosen bimbingan sementara mereka.
"Dia, dosen pembimbing sementara," kata Hamna singkat, sebelum Fiya berpikiran yang macam-macam. Hamna melihat laki-laki itu mengembangkan senyum khasnya yang menyebalkan pada Hamna.
Fiya tampaknya terkejut dengan hal ini, "Hah?!" katanya sambil menutup mulutnya, matanya melotot seolah akan keluar dari tempatnya.
Terkejut seperti biasa saja boleh, kan? Tidak harus seperti itu.
Laki-laki itu tampaknya juga tak menduga dengan respon Fiya yang terlalu mendramatisir keadaan.
"Haha ... Iya, Pak Nasher baru saja meminta saya jadi dosen pembimbing sementara. Dan Hamna jadi asisten saya," jelasnya sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi. Dia sepertinya bangga sekali.
Fiya yang sedang meminum Cappuccino-nya sampai tersedak. "Uhuk uhuk uhuk!" Hamna menepuk-nepuk tengkuknya pelan.
"Pelan-pelan aja Fiya minumnya."
Apa sih yang sedang pikirkan dosen muda ini? Apa sebegitu pentingnya memberi tahu Fiya kalau aku ini asisten dosennya? Jika iya, maka dia benar-benar laki-laki paling menyebalkan! gerutu Hamna dalam hati.
"Saya sungguh tidak menyangka, Kak Haidar ini adalah dosen pembimbing? Dan Hamna jadi asisten dosen muda? Wahhh, keren! kalian berdua keren!" katanya menggebu-gebu.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya bangga, Hamna berdeham pelan, "Ehem ... sudah, sudah, tidak perlu dibesar-besarkan lagi. Fiya, kamu bisa membantuku, kan?" Hamna bertanya sambil meminum kopinya pelan.
"Apa itu? Jika aku bisa, aku pasti akan membantu," jawabnya antusias.
Hamna menyodorkan map yang berisi biodata mahasiswa bimbingan laki-laki itu. Fiya membuka lembarannya sekilas, ia mengalihkan pandangan ke arah Hamna. "Kamu mau aku melakukan apa?"
"Jelaskan secara detail semua data mahasiswa ini kepada dosen muda kita, karena dia ingin mengenal lebih jauh semua mahasiswa bimbingannya," kata Hamna panjang lebar.
Haidar masih memerhatikan interaksi dua gadis di depannya.
"Apa?! Kenapa harus aku?" Fiya bertanya.
"Karena kamu mengetahui banyak hal." Fiya menatap Hamna seriua, meminta kepastian Hamna dan Hamna sudah memikirkannya dengan baik. Hamna mengangguk.
"Tapi ... " Fiya tampak ragu. Hamna menatapnya lagi, berusaha meyakinkannya.
Lalu Hamna mengalihkan pandangannya ke arah Haidar, "Kurasa dosen muda kita tidak akan keberatan siapa yang akan menjelaskan, yang terpenting kan penjelasannya," ujar Hamna lugas.
"Ya, saya tidak masalah siapa yang menjelaskan, baik Fiya atau Hamna, akan tetap sama saja. Silahkan dimulai, saya akan jadi pendengar yang baik sekarang," jawab Haidar sambil mengeluarkan buku catatan kecil.
"Baiklah kalau begitu, kita mulai dari ... " Fiya memeriksa kembali lembaran itu. "Eh, tapi ... Pak dosen ingin tahu hal apa dulu?" tanyanya kemudian.
"Panggil saya Haidar. Uhm ... " ia berpikir sejenak "Mungkin dari latar belakang mereka dulu? Atau alamat rumahnya? Sifat mereka?"
Mana ada dosen yang menanyakan alamat rumah mahasiswanya? Jelas-jelas dia hanyalah orang yang rasa penasarannya begitu tinggi. Aku tak akan heran kalau dia mendapat IP tertinggi di kelasnya dulu. Dia, kelihatan begitu ambisius.
"Jangan bilang, Pak Haidar mau mengunjungi rumah mereka satu-persatu?" ujar Hamna dengan nada agak ketus.
"Memang, saya berniat begitu. Tidak ada salahnya kan berkunjung ke rumah mahasiswa bimbingan sendiri?" tukas Haidar penuh percaya diri.
Lagi-lagi Hamna menggerutu dalam hati
Aku sudah menebaknya dari awal. Jika dia ingin mengunjungi mahasiswa lainnya, itu berarti aku juga. Jangan harap aku akan membukakan pintu!
"Jangan bercanda, Pak. Saya belum pernah mendengar ada dosen yang mengunjungi rumah mahasiswa bimbingannya sendiri. Tidak perlu repot begitu, bukankah Pak Haidar bisa saja meminta mereka melakukan bimbingan di manapun yang Anda mau? Kenapa harus bersusah payah begitu,
" kata Hamna dengan tenang, padahal yang sebenarnya adalah Hamna tidak ingin Haidar mengetahui rumahnya.
"Memangnya kenapa? kamu takut saya mengunjungi rumahmu, kapan-kapan ya? Jangan khawatir, saya tidak berniat bertamu ke rumah gadis dingin sepertimu," jawab Haidar
Laki-laki ini memang menyebalkan sejak awal. Eh, tapi, ada bagusnya juga kalau dia berpikiran begitu.
"Saya juga tidak akan pernah menerima tamu menyebalkan seperti Anda, Pak!" jawab Hamna lagi tak mau kalah.
Fiya berdeham kecil, karena sibuk berdebat dengan Haidar, ia hampir lupa dengan keberadaan Fiya.
"Bisakah aku menyelesaikannya?" Fiya bersuara, melerai perdebatan yang tidak berarti itu.
"Ah iya, Fiya, maaf ya. Silahkan dilanjutkan lagi. Aku akan diam sekarang."
"Kamu memang seharusnya diam. Suaramu sangat tidak enak didengar. Kamu tahu itu, kan?" Laki-laki itu, jika bukan karena Fiya ada di sini, Hamna pasti akan membenturkan kepalanya ke dinding saat ini juga. Menyebalkan!
Tapi Hamna tidak boleh membalasnya, ia harus diam, harus tetap tenang, harus sabar. "Silahkan Fiya." Hamna mempersilahkan Fiya berbicara dan menjelaskan. Agar semuanya segera selesai.
Fiya mulai menjelaskan, dosen muda itu akhirnya diam dan mendengarkan, sesekali kepalanya mengangguk sambil berkata, 'oh begitu' 'iya iya' 'lalu?' Hamna juga turut mendengarkan penjelasannya, sambil sesekali meminum kopinya yang tersisa.
"Itu saja yang bisa saya jelaskan, Pak. Jika ada yang ingin ditanyakan, saya rasa Pak Haidar bisa meminta penjelasan dari Hamna."
"Baik, terima kasih, untuk saat ini saya rasa sudah cukup. Nanti di rumah, saya akan baca kembali."
Setelah mereka selesai, dan merapikan semuanya kembali. Hamna pun bersuara, sungguh ia penasaran dengan suara imam masjid tadi, Fiya tahu banyak hal, mungkin dia juga mengetahui hal ini.
"Oh iya, Fiya, aku juga ingin bertanya suatu hal padamu." Hamna bertanya antusias.
"Kamu mau bertanya apa?" Fiya memutar badannya jadi menghadap Hamna sepenuhnya.
"Kamu tahu masjid yang sering kukunjungi, kan?"
"Iya, tahu, kenapa memangnya?"
"Tadi saat aku salat Zuhur di sana, aku merasa ada yang berbeda dengan imam masjid itu."
"Maksudmu?"
"Iya, suara Muazin dan suara Imamnya tidak seperti yang biasa kudengar. Kali ini suaranya begitu merdu, aku baru mendengar suara yang begitu merdu. Dan pelafalan nya juga bagus sekali, seperti suara Qori' Internasional."
"Apa benar begitu? Seperti apa suaranya?" Fiya bertanya dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.
"Apakah suaranya seperti ini ... " Dosen muda itu bersuara. Lalu Haidar membaca surah Al-Fatihah.
"Suaranya sangat mirip, mungkinkah?"
Fiya yang mendengarnya tampak terkagum-kagum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Kan tadi sudah bertemu 🤭
2024-11-26
0
『ꌚꉣꋫ꒓ꋫ꓅ꂑꌚ』ꇓꂑꋫꆂ ꁒꂑꁹꁍ 🅰️
boleh kah begitu randomnya pertemuan, jodohkah?terlihat, tidak ada kemiripan/Grin/ lanjut ah /Smile/
2023-10-08
1
ninena
calon imam mu ituuu
2023-08-28
0