Sudah 15 hari sejak hari kecelakaan itu. Tapi Hamna masih saja tertidur lelap. "Hamna apakah kamu begitu nyaman dengan dalam tidurmu? Sampai kamu begitu lama tidur."
"Hamna, apa kamu tidak tahu aku begitu ingin mendengar suaramu? Aku begitu ingin melihat tatapan sinismu itu? Bangunlah Hamna, semua orang menunggumu"
Setiap hari Haidar menungguinya. Mengajaknya berbicara, walaupun ia tidak tahu apakah Hamna mendengarkannya atau tidak. Ia hanya mengikuti saran dokter untuk mengajak Hamna berbicara untuk memicu alam bawah sadarnya. Tapi entahlah usahanya itu berhasil atau tidak.
Setiap pagi sebelum berangkat Haidar akan datang ke sini, walau sejenak untuk melihat Hamna yang tertidur cantik. Sore harinya sepulang dari kampus ia juga langsung ke sini untuk menemaninya dan mengajaknya berbicara seperti sekarang.
Jika bukan karena kesibukannya, Haidar hanya ingin menjaganya selama 24 jam. Menemaninya dalam tidur panjangnya sembari menggenggam jemarinya yang lembut dengan erat. Entah dia juga mampu merasakannya atau tidak.
"Pak, ini kopimu" kata Fiya sambil meletakkan kopi dan makan siang di meja. Dibantu oleh Bi Ina, pembantunya Hamna, mereka menyiapkan makan siang di sana.
Selama 15 hari ini mereka selalu bergantian menjaga Hamna. Sesekali, Hannah juga membantu menjaga Hamna, perempuan itu bahkan sudah menganggap Hamna seperti anak perempuannya sendiri.
Haidar menghampiri Fiya yang sudah duduk di sofa ruangan itu. Bibi Ina memberinya piring dan menyajikan nasi beserta lauknya yang ada di meja. Ia mempersilahkan Haidar untuk makan lebih dulu. Sedangkan ia pergi keluar untuk mengurus hal lain.
Fiya, entah kapan sudah ada di samping bed Hamna. Melakukan hal yang sama seperti Haidar tadi. Berbicara sendiri seperti orang gila. Apapun sebutannya pasti akan ia lakukan demi sahabat tercintanya.
Haidar makan tanpa selera. Hanya beberapa suap saja yang berhasil ia telan. Haidar melirik Fiya di sana sudah terisak lagi sambil sesekali menyebut nama Hamna. Keadaan Hamna yang tanpa kepastian kapan akan sadar itu benar-benar membuat mereka sedih.
Laki-laki itu merebahkan punggungnya di bed sofa sebentar, sekadar melepaskan lelah yang seakan tak ada jeda ini. Baru beberapa lama ia merebahkan diri, tiba-tiba Fiya berteriak.
"Hamna ...! Tidak ...! Tidak Hamna ...!"
Mendengar teriakannya yang begitu histeris membuat Haidar refleks langsung memanggil dokter. Dalam beberapa saat saja terjadi kepanikan yang begitu hebat.
Kondisi Hamna tiba-tiba saja menurun drastis, dokter langsung memeriksanya. Haidar juga tidak tahu kenapa bisa tiba-tiba Hamna kritis lagi padahal tadi baik-baik saja.
Beberapa menit sudah berlalu dan mereka tidak tahu pasti apa yang terjadi, Haidar hanya bisa melihatnya dari sebalik kaca yang menghalangi ia dan para dokter itu. Tapi dari yang ia amati, monitor yang berada di samping Hamna itu tiba-tiba menunjukkan garis lurus.
Seketika dokter itu berhenti bekerja
"Apa? Apa yang terjadi ini? Kenapa Fiya terlihat lemas? Tidak! Tidak mungkin, kan? Setahuku, dalam sinetron-sinetron jika monitor itu menunjukkan garis lurus artinya pasien telah meninggal dunia. Hamna ... Dia tidak mungkin meninggal, kan?" pikiran Haidar makin tak karuan.
Fiya menangis histeris, ia bahkan harus dipegangi oleh beberapa orang agar tidak memberontak dan menerobos ke dalam. Sedangkan Haidar masih berdiam diri, otaknya berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Tidak, tidak mungkin secepat ini. Tuhanku tidak mungkin sekejam ini padaku" isaknya.
Dokter itu keluar dan menatap Haidar sedih. Apa arti tatapannya itu? Haidar tidak memedulikannya, Ia langsung masuk ke dalam ruangan. Ia menghampiri Hamna dan menggenggam tangannya erat, erat sekali.
Ia pandangi wajah Hamna yang pucat seperti mayat, Hamna terlihat begitu tenang jika terpejam. Ia menggenggam tangan Hamna dengan kedua tangannya, dirasakannya tangan Hamna yang halus begitu dingin.
"Hamna, ayo bangun"
"Jangan pergi. Saya di sini"
"Saya di sini, bersamamu ... kamu ... kamu jangan takut ..." kata Haidar lirih sambil menangis pilu. Hatinya terasa seperti disayat-sayat.
Entah sudah berapa lama ia menangis, ia tak menyadarinya, ia bahkan tak menyadari apapun. Yang ia lakukan dari tadi hanyalah mengenggam tangannya dan menangis untuk mengusir sesak di dada.
Dokter mengatakan akan melepaskan semua peralatan medisnya, Haidar tidak mengatakan iya maupun tidak. Ia hanya mematung, tak tahu harus apa. Mengapa harus secepat ini? Sulit sekali rasanya menerima kenyataan yang menyakitkan ini.
......................
Gelap. Dingin. Suram. Itulah yang aku rasakan pertama kali ketika bangun. Aku tidak tahu ini dimana. Apakah aku sudah di alam kubur? Aku tidak mengingat apapun.
Aku berjalan, tapi tak tahu ke mana arah tujuanku. Tempat ini sangat gelap. Aku tidak bisa melihat apapun, yang tertangkap oleh panca inderaku hanyalah kegelapan. Kegelapan yang menyelimuti.
Ya Allah, di mana sebenarnya aku?
"Hamna ... "
Samar-samar aku mendengar suara yang menggemakan namaku. Suara siapa itu? Apakah itu suara malaikat yang akan menghakimi semua perbuatanku?
Kucoba cari sumber suara itu, aku berusaha mengejar suara itu. Tapi nihil, semakin kukejar, suara itu semakin menghilang. Aku berjalan lebih jauh lagi mencoba mencari cahaya. Tapi percuma, aku sudah berjalan jauh sekali, tapi tak ada cahaya, yang kutemukan hanyalah gelap yang kian menyelimuti.
Aku berhenti, aku menyerah, aku tidak mampu berjalan ataupun bergerak lagi. Rasanya, perjalananku sia-sia saja, sejauh apapun aku berjalan, kegelapan ini bagai tak punya ujung.
Aku terduduk, di kegelapan ini hanya ada aku sendiri. Betapa mengerikannya kesendirian ini. Aku berdiam diri benar-benar memasrahkan diri pada kegelapan ini.
"Hamna ... "
"Hamna ... "
"Hamna ... "
Aku mendengar suara itu lagi. Suara seseorang yang memanggilku. Kali ini lebih jelas, aku bergegas bangun dan mengejarnya lagi. Mencoba sekali lagi bukanlah suatu kesalahan.
"Apa kamu tidak tahu saya begitu ingin mendengar suaramu? ... "
"Saya begitu ingin melihat tatapan sinismu itu ... "
"Bangunlah Hamna ... "
"Semua orang menunggumu ... "
Suara itu semakin jelas, aku ... aku harus berusaha lagi.
Tapi ... Sebelum aku berhasil menggapai suara itu. Tiba-tiba ada sesuatu tarikan kuat yang menarikku.
Tarikannya begitu kuat sampai-sampai aku merasa seperti, ... terhisap. Tiba-tiba ada cahaya!
Cahaya ... Aku melihat cahaya!
Aku juga melihat ada sesuatu yang bersinar begitu terang, tunggu... itu adalah... seseorang. Apakah itu seseorang yang akan menyelamatkanku? Apakah itu malaikat-Nya?
Seseorang itu menjulurkan tangannya ke arahku. Aku berupaya neraih tangannya. Ia lalu menggenggam tanganku dan menarikku keluar dari kegelapan ini.
Setelahnya yang kurasakan hanyalah pegal dan sakit di sekujur bagian tubuh, dan ... Silau.
Silau sekali cahaya ini.
Perlahan, aku mencoba menggerakkan tubuhku, yang baru pertama kurasakan adalah tanganku, tanganku yang digenggam. Digenggam seseorang.
"Dokter! Dokter! Hamna sadar, Dok!" seseorang yang menggenggam jemariku itu berteriak.
Kenapa ... Kenapa ada banyak sekali orang?
Dalam sekejap, ada banyak sekali orang.
Sebenarnya, aku ada di mana?
Apa yang sedang mereka lakukan?
......................
"Tidak ... Tidak mungkin berakhir sampai sini, kan? Aku bahkan belum mengenalmu. Hamna ... Kenapa kisah ini harus berakhir seperti ini?"
"Ya Allah... Hanya kepada Engkaulah aku memohon pertolongan. Aku tahu hidup dan mati adalah kehendak-Mu. Tiada yang tidak mungkin bagi-Mu."
"Kumohon pada-Mu dengan kemurahan hati-Mu. Ya Allah ... Berikanlah satu kesempatan hidup lagi untuk Hamna. Ijinkan Hamba memberinya sedikit kebahagiaan dalam hidup." Lirih Haidar dalam hati, berharap Allah tunjukkan kebesaran-Nya.
Haidar masih menggenggam tangannya erat, walaupun suster sedang melepaskan semua peralatan medisnya Hamna.
Di saat ia akan beranjak dari duduk, tiba-tiba ia merasakan jari-jari Hamna bergerak. Ah tidak mungkin, ini pasti hanya perasaanku saja. Tapi... tapi sesuatu terjadi. Hamna... Hamna menggenggam tanganku?
Haidar melihat sendiri Hamna membuka matanya perlahan. Ia tampak mengerjapkan matanya yang indah. Seketika Haidar terpaku di tempat, antara kaget dan tidak percaya. Ya Allah, terima kasih atas kuasa-Mu.
Lalu Haidar langsung memanggil dokter, "Dokter! Dokter! Hamna sadar, Dok!"
Dokter langsung memeriksanya kembali dengan cepat. Setelah memastikan keadaannya. Dokter langsung memasangkan kembali semua peralatan medis yang sebelumnya dilepas.
Haidar kembali menangis, tapi bukan tangis pilu. Haidar benar-benar tidak menyangka. Seketika ia langsung bersujud syukur. Tuhannya ternyata mendengarnya.
Alhamdulillah Alaa Kulli Haal
Hamna kembali, dengan begitu ia akan memenuhi janjinya, janji pada Rabb-nya dan dirinya sendiri, bahwa ia akan menjaga Hamna, memberinya kebahagiaan dan mengembalikan senyum di wajah Hamna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Miss Ra
keren ceritany kak..
semangat trus yaa..
sudah aku sempatkan untuk mampir..
🥰🙏
2023-10-05
1
范妮·廉姆
mampir kak di legendaris cinta thx
2023-09-17
0
Ummi Salsabila
terharu.baru kenal sehari tp Hati terasa terikat antara satu dgn yg lain.
2022-12-30
1