Semilir angin selepas hujan mengiringi sarapan Hamna yang terasa hambar. Semalaman hujan turun dengan deras hingga ke menjelang subuh. Di dapur, Bi Ina masih sibuk membolak-balikkan roti panggang, tangannya yang agak keriput sangat tekun mengolesi roti dengan margarin kemudian memanggangnya di atas pan. Hamna menghabiskan sarapannya tanpa minat. Dicecapnya kopi hitam pekat yang dibuat Bi Ina, rasa hangat dan pahit menyergap tenggorokannya sekaligus.
"Bi, aku sudah selesai, aku mau pergi dulu ya. Oh ya, Bi, nanti tolong bersihkan kamarku, ya. Tapi dokumen-dokumen yang ada di meja jangan dipindahkan, cukup ditata saja di atasnya, sekalian tolong ganti seprainya" ujar Hamna, tangannya dengan lihai membersihkan perlengkapan makannya sendiri.
"Iya, Mbak Na. Ada lagi yang perlu Bibi buat? Nanti siang Mbak Na mau makan sama apa? Biar Bibi masak. Mbak Na perlu Bibi panggil supir buat ke kampus?" tanya Bibi Ina perhatian.
"Nggak, Bi, aku makan di luar nanti sekalian bikin tugas. Aku bawa mobil sendiri."
"Iya Mbak Na, hati-hati ya. Eh sebentar Mbak Na, Bibi ambilkan payung dulu takutnya nanti hujan lagi."
Hamna melangkah keluar, ia mengendarai mobilnya pelan. Aroma hujan bercampur tanah yang basah menjadi aroma pagi yang khas. Jalanan yang basah dan genangan air adalah hal yang paling dibenci gadis itu. Masalahnya jalanan di ibukota akan menjadi licin dan kemungkinan jalanan menjadi macet. Hamna merutuki dirinya sendiri ketika melihat deretan mobil yang memanjang, seharusnya tadi ia membawa motor saja agar bisa menyalip sana sini.
Ia mengambil telepon genggamnya di dalam tas, sederet pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi layar ketika telepon itu dinyalakan. Lagi-lagi ia berdecak, matanya perlahan membaca pesan-pesan itu tanpa berniat membalasnya. "Nanti saja langsung kutemui orangnya. Merepotkan sekali kalau harus membalas pesan saat berkendara" pikirnya.
......................
Laki-laki itu memandang nanar ke arah kampus, kepalanya terasa berat sekali pagi ini, ia sudah sampai di tujuannya dari 30 menit yang lalu tapi belum juga berniat untuk keluar. Netranya menatap ke arah langit yang keabu-abuan. Dilihatnya orang-orang hilir mudik dengan payung berwarna-warni di genggaman. Pagi yang mendung. Didengarnya orang-orang yang berkeluh-kesah akan jalan yang licin atau cuaca yang tiba-tiba dingin.
"Tidak ada gunanya merutuki hal seperti itu, sia-sia saja. Dasar manusia, diberi cuaca cerah, ingin hujan. Saat hujan mengeluh dingin. Manusia memang tak pernah puas!" Ia turut menggerutu. Bukan gerutuan seperti yang orang-orang lontarkan soal pagi yang tak secerah hari biasanya. Ia menggerutu karena sejak tadi seseorang yang ia tunggu belum juga datang, membuatnya cemas bercampur kesal.
Dengan tangan terkepal ia akhirnya keluar menuju kampus. Tubuhnya yang gagah berbalut mantel hitam menerobos dinginnya pagi dengan agak sebal, kakinya meghentak genangan air dengan keras, membuat genangan itu beriak kecil.
Dihiraukannya sapaan-sapaan selamat pagi dari para mahasiswa yang terkagum-kagum oleh ketampanannya. Entah kenapa ia merasa jengah mendengarnya padahal hari biasa ia akan senang hati melambaikan tangan atau membalas sapaan itu dengan senyum mengembang.
Ia melemparkan tasnya ke atas meja sedang ia sendiri merebahkan dirinya di sofa, kepalanya terasa ditimpa sesuatu yang berat, Haidar memijat pelipisnya pelan, seolah dengan cara itu bisa menghilangkan pusing yang menyerangnya. Berkali-kali ia bersin, tubuhnya turut memanas. Hujan membuatnya tumbang. Dan pada akhirnya ia tertidur di sofa kantornya.
......................
Hamna merapikan pakaiannya yang sedikit basah ketika berlari-lari kecil memasuki kampus. Pagi yang melelahkan bagi Hamna, terjebak macet selama satu jam dan sekarang ia harus menerobos gerimis. Hamna menarik napas panjang berkali-kali, kemudian melangkah masuk dengan tenang. Sapaan-sapaan pagi menyapa telinganya bergantian, ia hanya menganggukkan kepala, tanpa kata tanpa senyum.
"Selamat Pagi, Hamna. Apa kabar?" tanya seorang mahasiswi yang kurang dikenalnya. Namanya Manda Shen, tapi gadis berperawakan tinggi dengan rambut dipirang itu lebih suka dipanggil Mandalova. Manda Shen adalah gadis blasteran Indonesia-China. Matanya agak sipit dengan kulit putih bersih itu tak biasanya akrab dengan orang, tapi pagi ini ia menyapa seorang Hamna tanpa sungkan.
Kening Hamna berkerut, ia merasa heran sebab ia tak pernah mengenal gadis ini sebelumnya, atau ia tidak menyadarinya? "Ya, pagi juga. Kabar saya pagi ini baik. Oh ya, apakah kita pernah bertemu? Saya sepertinya tidak pernah mengenalmu sebelumnya" ujarnya kemudian. Matanya menilai sekilas penampilan itu dari atas sampai bawah. Tapi nihil, Hamna sepertinya memang tak pernah mengenal atau bertemu gadis itu.
Manda tersenyum sopan, kemudian ia menjelaskan "iya, aku mahasiswi pindahan. Aku mengenalmu karena Pak Nasher memberitahuku untuk menemuimu, katanya kamu pasti akan membantuku ikut bimbingan dengan Pak Haidar. Kamu pasti bisa membantuku, kan?" Ia bertanya tanpa ragu.
Hamna masih menimbang-nimbang, "Apa benar begitu? Kalau benar Manda gadis pindahan dan akan ikut bimbingan dengan Pak Haidar juga, bukankah seharusnya Pak Nasher memberitahunya lebih dulu? Atau Pak Nasher langsung memberitahu Pak Haidar? Bukankah agak aneh? Tidak ada siapapun yang memberitahuku, haruskah aku bertanya?" pikirnya panjang. Dalam hati, ia merasa ragu.
"Kau mau kemana? Apa mau ke ruangan Pak Haidar?" tanya gadis itu lagi. Hamna mengangguk singkat. Ia terus berjalan meninggalkan gadis itu. Gadis itu masih mengikutinya.
"Oh ya, jika yang kamu katakan itu benar, saya akan membantumu dapat jadwal bimbingan dengan dosen Haidar. Tapi sebelumnya tolong kirim data pindahanmu, oke? Saya akan memberitahu Pak Haidar dulu" jelasnya pada Manda, padahal yang sebenarnya adalah Hamna hanya ingin memastikan lebih dulu. Ada perasaan aneh yang mengganjal di hatinya.
Manda mengangguk paham, "Oke, kapan aku bisa berikan data milikku padamu, Na? Boleh aku minta nomor teleponmu? Supaya aku lebih mudah menghubungimu nanti" mohon Manda, tangannya terulur memberikan ponselnya.
Hamna mengambil telepon genggamnya dari dalam saku mantelnya, ia memberikan barcode dan keduanya saling bertukar nomor. "Kamu bisa titip data itu ke Pak Nasher saja. Terima kasih" Hamna langsung melenggang pergi. Ia harus secepatnya bertemu Pak Haidar, ia lupa membalas pesannya, sekarang dosen itu pasti sedang menahan kesalnya.
Gadis itu tersenyum menatap punggung Hamna yang pergi semakin menjauh. Kemudian, ia juga berbalik dan pergi.
Hamna mengetuk pintu ruangan Haidar berkali-kali tapi tak ada jawaban. Hingga ketika ia berniat berbalik pergi, Haidar tiba-tiba muncul dari dalam. "Hamna?" panggilnya. Hamna menoleh ketika mendengar suara berat Haidar memanggil namanya.
"Baru datang?" Tanyanya lagi, Haidar mempersilahkan Hamna untuk masuk. Tangannya sibuk mengusap wajah dan memijit-mijit pelipisnya, tadi ia tertidur, setelah terbangun ia merasa kepalanya terasa lebih berat.
"Iya, Pak, maaf tadi saya terjebak macet. Eh? Pak Haidar? Are you okay?" Hamna bertanya agak khawatir. Ia membantu Haidar untuk duduk. "Gak apa-apa, kepala saya cuma terasa sedikit pusing saja. Nanti juga sembuh"
"Pak, Anda sedang flu! Anda bawa obat?" ujarnya sembari tangannya menyentuh kening Haidar. Demam. Hamna jadi semakin khawatir dengan kondisi dosennya itu.
"Eh? Sepertinya tidak ... " jawabnya singkat, keningnya merasakan sentuhan hangat dari tangan Hamna. Sesaat, hatinya berdesir, "perasaan diperhatikan ternyata seperti ini, andai kamu bisa terus memperhatikan aku, Na. Sakit setiap hari pun aku tak apa" gumamnya dalam hati.
"Pak, kalau sakit sebaiknya jangan dipaksakan masuk. Istirahat saja di rumah. Ayo saya antar ke rumah sakit sekarang!" ucap Hamna, ia sudah berdiri dan siap memapah Haidar ke rumah sakit.
"Tunggu, Na ... " ujar Haidar memegang tangan Hamna. Yang jelas ia tidak mau ke rumah sakit. "Bisa kamu antar saya pulang saja? Saya pasti akan merasa lebih baik setelah istirahat. Tolong minta ijin dulu ke dekan, ya" jelasnya. Hamna menyetujuinya, ia langsung pergi dan meninggalkan Haidar sendiri.
......................
Hamna memapah Haidar ke luar kampus setelah ia memastikan mengatur ulang jadwal bimbingan Haidar. Berpasang-pasang mata mencuri pandang ke arah keduanya seolah Hamna dan Haidar adalah hal yang pantas dilihat.
Hamna agak kerepotan memapah Haidar. Tubuh Haidar yang tinggi dan berat agak merepotkan Hamna yang lebih kecil darinya, ia terhuyung karena Haidar kehilangan hampir setengah tenaganya untuk berjalan. Selepas ini ia berjanji akan lebih rajin berolahraga agar ketika memapah Haidar lagi dia tak akan begini kerepotan.
Sesampainya di parkiran Ia langsung merebahkan Haidar di kursi belakang mobil, sedang Hamna duduk sebagai sopir. Ia agak menggerutu dalam hati. "Jika bukan untuk membalas budi, aku mana ada waktu mengurus laki-laki yang sakit tapi suka memaksakan diri begini? Aih ... "
Hamna melajukan mobilnya ke alamat yang tadi sudah ia minta. Mobil bergerak perlahan, sisa-sisa hujan tadi masih membasahi jalan membuat Hamna harus lebih pelan dan berhati-hati mengendarai mobilnya. Ia melirik ke arah belakang, dilihatnya Haidar tertidur. Sepertinya laki-laki itu memang kurang tidur lalu memaksakan diri hingga jatuh sakit.
Gadis itu memarkir mobilnya di depan mansion mewah berwarna putih gading. Hampir semua dekorasinya berwarna putih, tiang-tiang tinggi berwarna sama menjulang tinggi menopang rumah megah itu. Seorang satpam menghampirinya.
"Maaf, Mbak. Ada keperluan apa? Atau mau bertemu dengan siapa? Biar saya panggil orang rumah" ujar penjaga rumah itu agak hormat. Hamna menggelengkan kepala. "Tidak, Pak, saya mau mengantar Pak Haidar pulang, dia sedang sakit" jelasnya, penjaga rumah itu tampak kaget.
"Pak Haidar sakit? Ya ampun!, silahkan masuk Mbak." Lalu penjaga rumah itu membuka gerbang. Ketika ia memarkir mobilnya di halaman, dua pembantu rumah tangga sudah tergopoh-gopoh mendatanginya. Sepertinya satpam tadi memberitahu mereka.
Ketika Hamna akan membuka pintu mobil, Haidar sudah keluar. "Eh ... Pak! hati-hati!" katanya sigap memegangi lengan Haidar. Laki-laki itu kemudian berjalan dengan dipandu Hamna masuk ke dalam, kedua pembantu tadi hanya mengekori dari belakang.
Di dalam rumah Hannah menyambut Hamna dan Haidar. Raut mukanya amat cemas ketika penjaga rumah mengatakan Haidar diantar pulang oleh seorang perempuan karena sakit. Hannah sudah melarang Haidar sebelumnya agar jangan pergi ke kampus dahulu, tapi anaknya itu sangat keras kepala.
"Hamna terima kasih ya, sudah mau repot mengantar Haidar pulang. Aduh ... anak ini memang agak susah dikasih tahu, padahal tadi sudah dibilang jangan masuk kampus dulu, tapi yah beginilah Hamna kalau anak laki-laki keras kepala! ... Bi, tolong antar anak nakal ini ke kamarnya" Hannah mengoceh.
Hamna tersenyum sungkan, ia merasa malu berhadapan dengan Hannah walau sebelumnya ia pernah bertemu dengan perempuan yang tampak tak lagi muda ini. "Tidak apa-apa, dengan senang hati bisa membantu"
"Oh ya, boleh seorang Ibu ini meminta tolong sekali lagi, Hamna?" pintanya pada gadis itu. Hamna mengangguk, "iya nyonya, apa itu?"
"Aduh jangan panggil nyonya, panggil Ibu saja kan sudah dibilang jangan sungkan ... Tolong bantu Haidar minum obatnya ya? Aih anak itu agak susah kalau disuruh minum obat, Ibu kadang sampai pusing dibuatnya. Anak itu sudah berapa usianya? Tapi masih saja susah kalau minum obat, seperti anak kecil saja!" Hannah kembali mengoceh, tapi tangannya terulur memberikan Hamna obat-obatan Haidar.
Hamna menerimanya dengan senang hati. "Baik, Bu. Saya coba bantu ya. Oh ya boleh saya ke kamarnya, Bu? Kalau boley saya juga minta tolong bawakan kompres ke atas. Tadi Pak Haidar agak demam, jadi saya akan mengompresnya"
"Ya tentu, kamarnya ada di lantai atas sebelah kanan. Bi Ju tolong bawakan ini ke atas ya." Perintah Hannah pada Bi Ju, pembantu rumah keluarga Musyaffa.
Hamna masuk ke kamar Haidar, laki-laki itu tampak sedang berbaring di kasur kebesarannya. Matanya memerhatikan sekitar, kamar Haidar yang luas dengan perpaduan cat gold dan hitam, berbanding terbalik dengan luar rumah yang berwarna putih gading. Kamarnya disertai televisi 43inch dengan rak-rak berisi buku di sisi kanan dan kirinya.
Laki-laki itu tampak gusar, tangannya bergerak-gerak meraih gelas di meja membuat Hamna memalingkan wajahnya seketika. Hamna bergegas membantunya. Disentuhnya kening Haidar yang semakin demam. Ia meraih termometer untuk mengecek demamnya. Lalu Hamna mengompres Haidar. Hamna menjadi sibuk mengurus Haidar seharian.
"Lekas sembuh, Pak!" bisiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
mulai cemburu 🤭
2024-11-29
0