Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)

Perlahan, bayangnya menghilang bersama langkahnya yang kian jauh. Gadis yang menarik, baru pertama kali Haidar menemukan gadis sedingin itu, bahkan menatapnya seolah Haidar adalah orang yang jahat.

Haidar baru menginjakkan kaki di kampus ini tapi sudah mendapat sambutan yang luar biasa ketus. Wah!

Sepersekian detik, Haidar termangu.

"Pak pesanannya, silahkan!" Suara pelayan yang mengantarkan makanan memecah fokusnya.

"Ya, terimakasih."

Setelah pelayan itu pergi, Haidar duduk dan mulai menikmati sarapannya pagi itu. Sebelum menemui dekan untuk mengurus penetapannya di sini bukankah Haidar harus mengisi perutnya dulu?

Setelah menghabiskan semuanya, Haidar memesan secangkir kopi untuk menikmati kekosongan yang ada, janji bertemu dengan dekan masih sekitar 2 jam lagi.

Lalu laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kantin yang lumayan bagus, pikirnya. Tiap dindingnya terlukis aneka grafiti dan kaligrafi, ia menebak ini pasti hasil karya anak fakultas seni, anak muda kreatifitasnya memang tak terbatas. Dirinya sangat salut dengan anak muda yang mampu mengembangkan potensinya secara mandiri.

Haidar meneguk kopinya pelan-pelan, sedalam mungkin menikmati rasanya. Ah, seketika ia jadi ingat gadis itu, ia melihat tadi gadis itu juga meminum kopi, apakah dia penikmat kopi juga?

Raut wajahnya yang datar tanpa senyum menyiratkan kehidupannya yang penuh sulit, berapa banyak hal rumit yang telah dilaluinya?

Tatapan matanya yang sayu namun tajam menunjukkan ada begitu banyak kewaspadaan, sedangkan keningnya yang berkerut dan suara helaan napasnya yang berat menyiratkan ada begitu banyak kesedihan yang ia simpan, kesedihan yang tak pernah ingin ia bagi pada siapapun.

Sebenarnya hal menyakitkan seperti apa yang telah dilaluinya? Dari luar tampak kuat dan tangguh, namun sebenarnya rentan dan rapuh. Hanya waktu saja yang tahu kapan ia bisa luluh lantak jadi abu. Semoga dia selalu baik-baik saja.

Bahunya yang tegak dan cara jalannya yang begitu tegas membuatnya terlihat sangat berwibawa dan percaya diri. Selain itu, wajahnya jika dipandang sebenarnya sangat cantik, jika saja ada segaris senyum di wajahnya pasti akan menyempurnakan kecantikannya.

Ya ampun, kenapa apa aku ini? pekiknya dalam hati. Haidar membayangkan seorang gadis yang baru saja ia kenal.

Pada saat itu, ponselnya berdering, melihat nama yang tertera di layar ternyata panggilan dari sang Ibu. Haidar langsung menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum," ucapnya setelah menerima panggilan teleponnya.

"Wa'alaikumussalam, Haidar kamu di mana, Nak? Sudah sampai di kampus? Sudah makan? Kamu pergi pagi-pagi sekali dari rumah, Ibu jadi cemas kamu belum makan apa-apa," jawab seorang wanita paruh baya. Mengkhawatirkan anak laki-lakinya.

"Iya, Ibuku sayang, Haidar sudah sampai di kampus, Haidar juga sudah makan, sekarang sedang menunggu dekan." Haidar balik menjawab, agar Ibunya itu tidak khawatir dan mencecarnya lagi.

"Kamu masih ingat kan pesan Ibu, Nak?"

"Iya, Ibu. Haidar ingat, kok, pesan Ibu."

"Baguslah kalau begitu, Ibu beri kamu waktu 4 bulan ya. Kalau tidak, kamu tahu kan harus berhadapan dengan siapa? Ya sudah Ibu tutup dulu teleponnya. See you my son." Telepon ditutup sepihak.

Apa-apaan ini? Kenapa juga aku menyetujui Ibu? Aih ... Memangnya bisa mencari istri dalam waktu 4 bulan? Ibuku kadang jadi kurang realistis kalau menyangkut menantu keluarga Musyaffa Haidar menggerutu pada dirinya sendiri.

Bicara tentang menantu untuk Ibunya, Haidar jadi teringat kembali gadis dingin itu. Ah, semoga saja kita bisa bertemu kembali.

Haidar hampir terlupa, ini sudah hampir pukul 10.00 sebentar lagi waktunya bertemu dekan.

Lalu ia bergegas meninggalkan kantin menuju ruangan dekan, kalau ia tidak salah ingat, ruangan dekan ada di lantai 3 dekat dengan perpustakaan kampus.

Sambil berjalan, Haidar memerhatikan sekeliling, mencoba merekam tiap jengkal hal yang ada di kampus ini sebaik mungkin. Baru setengah jalan ke arah perpustakaan tiba-tiba ...

BRAK!!!

Seseorang menabraknya.

"Aaahhh....!!!!!" Keduanya menjerit, kaget sekaligus sakit tertimpa buku-buku.

Keduanya sama-sama terjatuh, semua buku yang dibawa gadis itu berserakan di lantai. Haidar berusaha bangun, tapi pinggangnya terasa nyeri, dengan susah payah ia berdiri, memeriksa seluruh tubuhnya.

Disaat yang bersamaan, gadis itu juga berusaha bangun, sayangnya ia tak melihat wajahnya, yang dilihat hanyalah punggungnya. Gadis itu juga sama terkejutnya dengan Haidar. Tak menyangka akan menabrak seseorang.

"Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Haidar setelah berhasil menetralisir rasa kagetnya.

"Aku baik-baik saja," sahutnya, lalu mengambil satu persatu buku yang terjatuh, Haidar turut membantunya memunguti buku-buku itu, lalu ... Deg! Mata mereka bertemu. Keduanya membeku di tempat. Untuk sepersekian detik mereka saling menatap.

Sebelum akhirnya gadis itu memalingkan wajah. Ia berbalik dan menatap Haidar dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Haidar yang mengerti arti tatapan itu, memberinya semua buku-buku yang tadi berhasil ia kumpulkan.

"Terima kasih," ucapnya singkat lalu berjalan pergi.

"Tunggu!" interupsi Haidar menghentikan langkahnya sejenak. Haidar langsung menghampirinya dan mengambil hampir setengah buku yang ia bawa dengan tangannya sendiri. "Biar kubantu," kata Haidar menawarkan pertolongan, berusaha tersenyum tulus.

Ia tak mengatakan apapun, hanya melirik Haidar sekilas lalu berjalan lagi, Haidar pun mengikutinya hingga sampai ke suatu ruangan.

Di sana, Haidar melihat temannya yang terduduk lesu, melihat kehadiran gadis dingin itu dan Haidar yang datang secara bersamaan membuatnya jadi menegakkan punggungnya.

Haidar meletakkan buku-buku itu di di tempat dimana temannya tadi duduk. "Lho, Hamna? dan Kakak yang tadi, kok kalian ... bisa barengan?" tanyanya kebingungan.

Lalu Haidar bersuara, "Tadi kami secara tidak sengaja bertemu di koridor dekat perpustakaan, lalu ada seseorang yang menabrak saya dan menjatuhkan semua buku-buku ini." Sekejap, Haidar melirik gadis itu yang juga sedang menatapnya tajam, ia memicingkan matanya pada Haidar.

"Oh ... begitu," respon Shafiya sembari menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Eh! Hah?! Ditabrak? Oleh Hamna? Apa ini sungguhan? Ya ampun! Hamna yang tidak pernah ceroboh ternyata bisa salah jugaaaa, oh ya ampun!" katanya berteriak.

Temannya kan hanya menabrak Haidar bukan melakukan kriminalitas.

"Hamna, are you okay?" Shafiya bertanya berkali-kali pada Hamna itu, matanya memindai keadaannya dari atas sampai ke bawah.

Gadis itu menganggukkan kepalanya, "Okay, I'm good," jawabnya dengan ekspresi yang masih saja datar. Haidar jadi merasa kalau gadis itu tak memiliki ekspresi apapun.

Lalu gadis itu beralih pada Haidar, "Maaf ya, Kak, sudah merepotkan," kata Shafiya kemudian.

"No problem. Tapi ... " Haidar menatap Hamna, ada makna yang tersirat di matanya. "Bukannya yang salah yang harus meminta maaf?" lanjut Haidar sembari melipat tangan di dada, sedangkan gadis dingin itu tampak tak senang.

"I'm sorry. Bukan sengaja!" ucapnya kemudian dengan nada yang agak ketus.

"It's okay, sebenarnya saya beruntung karena yang menabrak saya adalah seorang gadis yang cantik," goda Haidar pada Hamna sambil mengedipkan sebelah mata, berharap ada rona merah di pipinya yang putih itu.

Tapi seperti namanya, gadis dingin, digoda seperti apa pun tak berpengaruh apa-apa. Padahal kalau gadis lain pasti sudah bersorak sorai senang atau bahkan jingkrak-jingkrak sampai berguling-guling di tengah jalan.

Temannya justru meminta maaf kembali, kali ini sambil menundukkan kepalanya, "Saya mewakili Hamna untuk meminta maaf, Kak. Ini sebenarnya salah saya yang tidak mau mengikuti saran Hamna untuk membaca buku di perpustakaan, sampai-sampai Hamna harus repot membawa buku-buku ini kemari," jelasnya panjang lebar.

"Oh begitu, sudahlah tidak apa-apa, tapi lain kali kamu seharusnya mengikuti saran temanmu." Shafiya menganggukkan kepalanya serius.

"Oh ya siapa namamu? Tadi pagi kan kita belum berkenalan," tanya Haidar kemudian, tadi pagi di kantin mereka memang tidak sempat untuk berkenalan satu sama lain.

"Oh iya, saya hampir terlupa, Kak. Nama saya Shafiya El-Qamar, panggil saja Fiya. Kalau ini ... " ia menunjuk ke arah gadis dingin itu.

"Sahabat saya, namanya Hamna Nafisa Zubair, panggil saja Hamna. Kalau Kakak siapa namanya?"

Oh nama gadis itu Hamna Nafisa Zubair, nama yang sangat cantik, secantik orangnya pikir Haidar.

"Haidar ... Nama saya Haidar Musyaffa Khairullah."

"Salam kenal, Kak!" Shafiya tersenyum singkat.

"Oh ya, Kak, kalau boleh tahu, Fiya sepertinya baru kali ini melihat Kakak di kampus ini. Apakah ada kepentingan? Sepertinya bukan mau mendaftar, karena kalau dilihat Kakak ini, sedikit terlihat lebih tua dibanding mahasiswa lainnya, hehe, maaf ... kalau salah."

Ternyata Fiya memerhatikan sampai sedetail itu, kurasa Fiya mengenal hampir semua mahasiswa di sini. Mungkin saja ia tahu di mana ruangan dekan, sebaiknya kutanyakan saj**a, pikir Haidar.

"Ah ya, saya sebenarnya mau bertemu dengan dekan, namanya Pak Nasher. Apa kamu tahu di mana ruangannya?"

"Oh, ruangan Pak Nasher tepat di seberang pintu masuk perpustakaan. Di jam segini sepertinya beliau sudah ada di ruangannya."

Haidar melirik jam di tangannya sekilas. Seharusnya belum terlalu terlambat. "Kalau begitu, terima kasih, ya, saya permisi dulu," pamit Haidar sopan, ia tersenyum sebagai bentuk penghormatan.

Haidar meliriknya, Hamna juga balik menatapnya, Haidar mencoba tersenyum tulus, tapi apa yang bisa ia harapkan, jangankan membalas senyumnya, tatapannya bahkan menakutkan sekali!

Dan entah sejak kapan gadis itu sudah duduk dan membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Ia semakin menatap Haidar tajam. Lalu Haidar memilih untuk cepat-cepat pergi.

......................

DI KANTOR DEKAN

Haidar mengetuk pintu pelan, terdengar sahutan dari dalam, "Siapa?" tanya Pak Nasher dari dalam ruangannya.

"Ini saya, Pak, Haidar Musyaffa Khairullah," jawab Haidar cukup keras.

Tak lama dari itu seseorang keluar, laki-laki separuh baya itu menyapa Haidar ramah, "Oh rupanya Haidar, ayo, silahkan masuk!" Ia mempersilakan Haidar untuk masuk. Lalu keduanya duduk bersamaan.

Lalu mereka berbincang banyak hal, Pak Nasher menjelaskan banyak hal pada Haidar, beliau juga menceritakan sejarah dan latar belakang kampus itu.

Setelah berbincang dengannya, Pak Nasher beranjak dari duduknya, ia menekan interkom yang ada di dinding dekat pintu. Ia meminta seseorang untuk datang ke ruangannya.

Haidar masih duduk dengan tenang, ruangan Pak Nasher ini sangat nyaman, membuat siapapun jadi betah berlama-lama di sini. Tak lama dari itu Pak Nasher duduk kembali di tempat duduknya yang tadi. Kali ini raut wajahnya tampak serius, tidak sesantai tadi.

"Haidar ... " panggilnya pelan. Haidar pun menyahutinya.

"Iya, Pak?"

"Haidar, jika Bapak minta untuk menjadi dosen pembimbing sementara, apakah bersedia?" tanyanya serius

Menjadi dosen pembimbing sementara? Sepertinya menarik, pikir Haidar.

Haidar menyanggupinya, "Tentu, Pak, sebuah kehormatan untuk saya," kata Haidar agak sungkan.

"Alhamdulillah, sebentar, ya. Bapak sedang meminta seseorang untuk datang membawakan daftar mahasiswa yang akan Haidar bimbing nanti," jelasnya, sedang Haidar hanya mengangguk paham, kebetulan Haidar sering membantu teman-temannya menyelesaikan tesisnya sewaktu kuliah di Kanada.

Seharusnya, membimbing mahasiswa-mahasiswa di sini tidak terlalu sulit, ya kan?

Pintu ruangan Pak Nasher diketuk, "Itu pasti dia."

"Masuk" perintah Pak Nasher pada seseorang yang ada di luar, seseorang itu masuk. Haidar tak melihatnya karena kursi yang didudukinya membelakangi pintu, tapi ia dapat mendengar percakapan kedua orang itu dengan jelas.

"Ini, Pak, daftar mahasiswa bimbingan Ibu Karina yang Bapak minta, totalnya ada 4 orang, 3 diantaranya masih dalam proses pengajuan judul, semuanya juga dari fakultas manajemen, termasuk saya."

"Ya, terima kasih ya, Hamna"

Hamna? Apa tadi Pak Nasher menyebut nama Hamna? Apakah itu Hamna si gadis dingin?

Haidar langsung berdiri dan memutar badannya ke belakang untuk memastikan.

Ternyata benar, seseorang yang Pak Nasher panggil ke sini adalah Hamna, Hamna Nafisa Zubair, si gadis dingin itu. Gadis yang sama, yang bertemu dengannya di kantin dan yang tadi secara tak sengaja menabraknya.

Mereka tampak berbicara serius, lalu Pak Nasher memanggil Haidar, "Haidar, kemari" pinta Pak Nasher, lalu ia pun menghampiri kedua orang itu.

"Perkenalkan, ini Hamna, nantinya dia yang akan membantu tugas-tugas Haidar selama menjadi dosen pembimbing sementara, jika ada yang ingin ditanyakan, silahkan Haidar tanya langsung ke Hamna." Pak Nasher memberikan daftar mahasiswa yang dipegangnya kepada Haidar, dan laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya, paham.

"Oh ya, Haidar. Hamna ini termasuk mahasiswi yang cerdas, lho. Dalam hal ini Hamna juga sangat bisa diandalkan, Bapak harap kalian berdua bisa bekerja sama dengan baik. Ini daftarnya, silahkan dibaca, totalnya ada 4, termasuk Hamna sendiri. Bapak permisi dulu, ya." Setelah itu, Pak Nasher ijin keluar untuk mengangkat telepon.

Entah kebaikan apa yang sudah dibuatnya pagi ini sampai ia bisa seberuntung itu. Ia berkata semoga mereka bertemu lagi. Dan Allah mempertemukan mereka dengan cara seperti ini.

Hamna jadi asistenku? Bukankah itu artinya dia akan menghabiskan waktunya lebih banyak bersamaku? Oh ya ampun aku jadi kegirangan sendiri. Haidar mulai berpikir macam-macam.

Di ruangan itu sekarang hanya tersisa Haidar dan Hamna. Ya Allah, suasananya kenapa jadi begitu mencekam? Aku merasa canggung, suasana ini begitu hening, Haidar membatin. Ia tak suka keheningan.

Lalu Haidar kembali duduk, sedangkan Hamna masih setia berdiri di sana memainkan ponselnya, entah apa yang sedang ia lakukan, membuat Haidar penasaran saja!

Karena tak tahan dengan suasana itu, Haidar akhirnya berdeham pelan, gadis itu menatapnya sebentar. Hanya menatap, tak lebih dari itu.

"Hamna?" panggil Haidar agak ragu, yang dipanggil menyahut.

"Iya, Pak?"

"Duduklah, jangan berdiri terus, kasihan kakimu," pinta Haidar sembari menepuk sofa yang didudukinya agar Hamna duduk di sampingnya. Ia mengangguk, tetapi bukannya duduk di sebelah Haidar, gadis itu justru mengambil kursi lain dan meletakkannya berseberangan dengan tempat duduk Haidar.

"Oh ya, boleh jelaskan sedikit pada saya tentang kamu?" tanya Haidar setelah memastikan Hamna duduk dengan nyaman. Ia mengernyitkan kening, heran.

"Tidak, bukan, bukan seperti yang kamu pikirkan. Saya ... saya hanya ingin sedikit mengenal mahasiswa bimbingan saya, bukankah kamu juga termasuk?" Haidar berdalih, sebenarnya Haidar memang benar-benar ingin mengenalnya. Tapi sepertinya tidak tepat menggunakan cara seperti ini.

"Karena bagaimanapun, ke depannya kita pasti akan banyak berinteraksi. Saya ingin kita bisa jadi rekan kerja sama yang baik. Jadi, bagaimana asisten dosen?" jelas Haidar menghindari salah paham, sungguh ia tidak ingin membuat Hamna merasa tak nyaman.

Gadis itu tampak berpikir, "Apa yang ingin Pak Haidar ketahui tentang saya?" tanyanya serius, tapi di wajahnya ada gurat ketidaksenangan. Gadis ini benar-benar tertutup dan sulit untuk ditebak.

Aku ingin tahu semuanya tentang kamu.

"Sudahlah, saya pikir tidak perlu. Pada akhirnya nanti kita pasti akan saling mengenal satu sama lain," kata Haidar pada akhirnya.

Dan suatu hari kamu pasti akan jatuh cinta padaku. janji Haidar.

Ia menatap Haidar dalam diam, entah apa yang ia pikirkan. Tapi ... ekspresinya yang seperti itu membuatnya tampak menawan di mata Haidar.

Kerudung yang ia kenakan sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih bersih. Semakin ditatap, semakin terlihat cantik. Tetapi, ditatap begitu intens oleh Hamna membuat Haidar jadi gugup.

Ia bangun dan berjalan menghampiri Haidar, lalu menyodorkan ponselnya kepada Haidar.

"A ... Apa ini?" tanya Haidar kebingungan. Apa dia ingin Haidar mengambil ponselnya?

"Scan barcode-nya, Pak. Ini akan memudahkan kita untuk berkomunikasi ke depannya," jawabnya ketus, ya Allah gadis itu benar-benar menakutkan.

Ya Allah, bagaimana bisa aku bertemu gadis seketus ini? Selamatkan aku, tolong! Haidar merintih.

Haidar buru-buru mengambil ponselnya dari saku celana dan menyimpan kontaknya. "Sudah," kata Haidar setelah ia memastikan nomor Hamna benar-benar tersimpan di ponselnya.

"Oke." Hamna memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku blazer-nya. "Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan ... "

"Memangnya dari tadi kita bicara apa? Sepertinya dari tadi kita hanya diam," Haidar memotong ucapannya.

Hamna tampak terkejut seketika. "Saya permisi, Pak!" ucapnya lalu pergi. Meninggalkan Haidar di ruangan itu, sendirian.

"Hey! Hamna kamu bahkan belum tahu nama saya, kan?" teriak Haidar, saat Hamna akan membuka pintu. Ia berbalik ke arah Haidar.

"Saya tahu ... Pak, Haidar Musyaffa Khairullah"

Hah? Dia tahu namaku? Tapi bukankah aku belum memberitahunya? ujar Haidar dalam hati. Agaknya ia lupa kalau tadi ia memperkenalkan dirinya sendiri pada saat ia membantu Hamna membawakan buku-buku.

"Sampai jumpa nanti siang, Pak." Setelah itu, pintu tertutup. "Ya sampai bertemu lagi. Eh tunggu, dia bilang nanti siang? Artinya... Siang ini... Kita akan bertemu lagi?" gumam Haidar.

Haidar mengecek kembali ponselnya, di sana ada kontak yang tertera namanya. Hamna Nafisa Zubair.

Di sana juga terpampang foto seorang perempuan yang membelakangi kamera. Perempuan itu tampak mengenakan abaya berwarna hitam dengan kerudung warna senada.

Siapa ini? Apakah dia? pikir Haidar.

Laki-laki itu melirik arloji di tangannya, ternyata sudah pukul 11 siang, sebentar lagi azan Dzuhur. Karena tak ada lagi yang harus dilakukan, ia memutuskan bergegas ke masjid. Kalau tidak salah, tadi ia melihat ada masjid megah di sebelah selatan kampus.

Haidar melangkahkan kakinya dengan pasti dan mantap pergi ke masjid. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil wudhu, menunaikan salat dua rakaat lalu duduk di dalam sambil menunggu muadzin mengumandangkan azan.

Terpopuler

Comments

Jee Ulya

Jee Ulya

Dingin amat, buk 😒

2025-02-07

0

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🦉

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🦉

Dingin amat nih cewek 😌

2024-11-26

0

『ꌚꉣꋫ꒓ꋫ꓅ꂑꌚ』ꇓꂑꋫꆂ ꁒꂑꁹꁍ 🅰️

『ꌚꉣꋫ꒓ꋫ꓅ꂑꌚ』ꇓꂑꋫꆂ ꁒꂑꁹꁍ 🅰️

serius?/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/

2023-10-08

1

lihat semua
Episodes
1 Pertemuan Pertama (Revisi)
2 Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)
3 Imam itu, Haidar Musyaffa Khairullah (Revisi)
4 Perempuan Luar Biasa (Revisi)
5 Laki-laki Pelindung
6 Senyum Milik Hamna
7 Haidar yang Perhatian
8 Prahara
9 Hantu Rumah Sakit
10 Menurutmu, itu Cinta?
11 Obrolan Tengah Malam
12 Kopi dan Teh
13 Tangis Duka Shafiya
14 Gundah yang Menyelimuti
15 Haidar Sakit
16 Wifey Material
17 Toko Buku
18 Jangan Membuatku Panik!
19 Buku Apa yang Kamu Suka?
20 A Gift
21 Apa Kamu Pernah Mencintai?
22 Genting
23 Takdir
24 Dokter Fatih
25 Nasi Goreng Cinta
26 Nasi Goreng Cinta 2
27 Pengkhianatan
28 Making a Breakfast
29 Menikahlah Dengan Saya
30 Pernikahan Paksa
31 Couple Ring
32 Dusta Haidar
33 My Future
34 Gombalan Haidar
35 Sesak yang Terlepas
36 Pencuri!
37 Jangan Takut, Ada Saya
38 Bukan Salahmu
39 Orang Tua Hamna
40 Duka Kesepian
41 Aku Takut Terluka
42 Tetangga Baru
43 Menjadi Dewasa
44 Good Child
45 Aku Menangkapmu!
46 El?
47 Rindu yang Tak Pernah Usang
48 Im With You
49 Sebuah Keputusan
50 El Hilang
51 Little Hamna
52 Kenang yang Mengusik
53 Amarah
54 Luka Itu...
55 WDYM
56 Berhak Bahagia
57 Masa Lalu Hamna
58 Masa Lalu Hamna 2
59 Kejujuran Haidar
60 Dia, Zayan Lathif Halim
61 Pertemuan Tak Terduga
62 Tenggelam
63 Maaf yang Tertunda
64 Usaha Berdamai
65 Awal Baru
66 Kakak Cantik
67 Gadis Yatim
68 Kemarahan Haidar
69 Lebam
70 141 Hari Mencintaimu
71 Kejutan Kecil
72 Tanpa Pamit
73 Sepucuk Surat
74 3 Tahun Merindu
75 Rindu yang Tertahan
76 Kabar Baik
77 Tak Pernah Terlupakan
78 Rasa Bersalah
79 Sebuah Penjelasan
80 Renungan Panjang
81 Cincin yang Sama
82 Jatuh Cinta Lagi
83 Yang Terpatri
84 Kaivan dan Tanaya
85 Derita Catharine
86 Menjaga Cameron
87 Kembali Ke Indonesia
88 Propose Me Properly
89 Restu Keluarga
90 Hari Pernikahan
Episodes

Updated 90 Episodes

1
Pertemuan Pertama (Revisi)
2
Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)
3
Imam itu, Haidar Musyaffa Khairullah (Revisi)
4
Perempuan Luar Biasa (Revisi)
5
Laki-laki Pelindung
6
Senyum Milik Hamna
7
Haidar yang Perhatian
8
Prahara
9
Hantu Rumah Sakit
10
Menurutmu, itu Cinta?
11
Obrolan Tengah Malam
12
Kopi dan Teh
13
Tangis Duka Shafiya
14
Gundah yang Menyelimuti
15
Haidar Sakit
16
Wifey Material
17
Toko Buku
18
Jangan Membuatku Panik!
19
Buku Apa yang Kamu Suka?
20
A Gift
21
Apa Kamu Pernah Mencintai?
22
Genting
23
Takdir
24
Dokter Fatih
25
Nasi Goreng Cinta
26
Nasi Goreng Cinta 2
27
Pengkhianatan
28
Making a Breakfast
29
Menikahlah Dengan Saya
30
Pernikahan Paksa
31
Couple Ring
32
Dusta Haidar
33
My Future
34
Gombalan Haidar
35
Sesak yang Terlepas
36
Pencuri!
37
Jangan Takut, Ada Saya
38
Bukan Salahmu
39
Orang Tua Hamna
40
Duka Kesepian
41
Aku Takut Terluka
42
Tetangga Baru
43
Menjadi Dewasa
44
Good Child
45
Aku Menangkapmu!
46
El?
47
Rindu yang Tak Pernah Usang
48
Im With You
49
Sebuah Keputusan
50
El Hilang
51
Little Hamna
52
Kenang yang Mengusik
53
Amarah
54
Luka Itu...
55
WDYM
56
Berhak Bahagia
57
Masa Lalu Hamna
58
Masa Lalu Hamna 2
59
Kejujuran Haidar
60
Dia, Zayan Lathif Halim
61
Pertemuan Tak Terduga
62
Tenggelam
63
Maaf yang Tertunda
64
Usaha Berdamai
65
Awal Baru
66
Kakak Cantik
67
Gadis Yatim
68
Kemarahan Haidar
69
Lebam
70
141 Hari Mencintaimu
71
Kejutan Kecil
72
Tanpa Pamit
73
Sepucuk Surat
74
3 Tahun Merindu
75
Rindu yang Tertahan
76
Kabar Baik
77
Tak Pernah Terlupakan
78
Rasa Bersalah
79
Sebuah Penjelasan
80
Renungan Panjang
81
Cincin yang Sama
82
Jatuh Cinta Lagi
83
Yang Terpatri
84
Kaivan dan Tanaya
85
Derita Catharine
86
Menjaga Cameron
87
Kembali Ke Indonesia
88
Propose Me Properly
89
Restu Keluarga
90
Hari Pernikahan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!