Perlahan, bayangnya menghilang bersama langkahnya yang kian jauh. Gadis yang menarik, baru pertama kali Haidar menemukan gadis sedingin itu, bahkan menatapnya seolah Haidar adalah orang yang jahat.
Haidar baru menginjakkan kaki di kampus ini tapi sudah mendapat sambutan yang luar biasa ketus. Wah!
Sepersekian detik, Haidar termangu.
"Pak pesanannya, silahkan!" Suara pelayan yang mengantarkan makanan memecah fokusnya.
"Ya, terimakasih."
Setelah pelayan itu pergi, Haidar duduk dan mulai menikmati sarapannya pagi itu. Sebelum menemui dekan untuk mengurus penetapannya di sini bukankah Haidar harus mengisi perutnya dulu?
Setelah menghabiskan semuanya, Haidar memesan secangkir kopi untuk menikmati kekosongan yang ada, janji bertemu dengan dekan masih sekitar 2 jam lagi.
Lalu laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, kantin yang lumayan bagus, pikirnya. Tiap dindingnya terlukis aneka grafiti dan kaligrafi, ia menebak ini pasti hasil karya anak fakultas seni, anak muda kreatifitasnya memang tak terbatas. Dirinya sangat salut dengan anak muda yang mampu mengembangkan potensinya secara mandiri.
Haidar meneguk kopinya pelan-pelan, sedalam mungkin menikmati rasanya. Ah, seketika ia jadi ingat gadis itu, ia melihat tadi gadis itu juga meminum kopi, apakah dia penikmat kopi juga?
Raut wajahnya yang datar tanpa senyum menyiratkan kehidupannya yang penuh sulit, berapa banyak hal rumit yang telah dilaluinya?
Tatapan matanya yang sayu namun tajam menunjukkan ada begitu banyak kewaspadaan, sedangkan keningnya yang berkerut dan suara helaan napasnya yang berat menyiratkan ada begitu banyak kesedihan yang ia simpan, kesedihan yang tak pernah ingin ia bagi pada siapapun.
Sebenarnya hal menyakitkan seperti apa yang telah dilaluinya? Dari luar tampak kuat dan tangguh, namun sebenarnya rentan dan rapuh. Hanya waktu saja yang tahu kapan ia bisa luluh lantak jadi abu. Semoga dia selalu baik-baik saja.
Bahunya yang tegak dan cara jalannya yang begitu tegas membuatnya terlihat sangat berwibawa dan percaya diri. Selain itu, wajahnya jika dipandang sebenarnya sangat cantik, jika saja ada segaris senyum di wajahnya pasti akan menyempurnakan kecantikannya.
Ya ampun, kenapa apa aku ini? pekiknya dalam hati. Haidar membayangkan seorang gadis yang baru saja ia kenal.
Pada saat itu, ponselnya berdering, melihat nama yang tertera di layar ternyata panggilan dari sang Ibu. Haidar langsung menerima panggilan itu.
"Assalamualaikum," ucapnya setelah menerima panggilan teleponnya.
"Wa'alaikumussalam, Haidar kamu di mana, Nak? Sudah sampai di kampus? Sudah makan? Kamu pergi pagi-pagi sekali dari rumah, Ibu jadi cemas kamu belum makan apa-apa," jawab seorang wanita paruh baya. Mengkhawatirkan anak laki-lakinya.
"Iya, Ibuku sayang, Haidar sudah sampai di kampus, Haidar juga sudah makan, sekarang sedang menunggu dekan." Haidar balik menjawab, agar Ibunya itu tidak khawatir dan mencecarnya lagi.
"Kamu masih ingat kan pesan Ibu, Nak?"
"Iya, Ibu. Haidar ingat, kok, pesan Ibu."
"Baguslah kalau begitu, Ibu beri kamu waktu 4 bulan ya. Kalau tidak, kamu tahu kan harus berhadapan dengan siapa? Ya sudah Ibu tutup dulu teleponnya. See you my son." Telepon ditutup sepihak.
Apa-apaan ini? Kenapa juga aku menyetujui Ibu? Aih ... Memangnya bisa mencari istri dalam waktu 4 bulan? Ibuku kadang jadi kurang realistis kalau menyangkut menantu keluarga Musyaffa Haidar menggerutu pada dirinya sendiri.
Bicara tentang menantu untuk Ibunya, Haidar jadi teringat kembali gadis dingin itu. Ah, semoga saja kita bisa bertemu kembali.
Haidar hampir terlupa, ini sudah hampir pukul 10.00 sebentar lagi waktunya bertemu dekan.
Lalu ia bergegas meninggalkan kantin menuju ruangan dekan, kalau ia tidak salah ingat, ruangan dekan ada di lantai 3 dekat dengan perpustakaan kampus.
Sambil berjalan, Haidar memerhatikan sekeliling, mencoba merekam tiap jengkal hal yang ada di kampus ini sebaik mungkin. Baru setengah jalan ke arah perpustakaan tiba-tiba ...
BRAK!!!
Seseorang menabraknya.
"Aaahhh....!!!!!" Keduanya menjerit, kaget sekaligus sakit tertimpa buku-buku.
Keduanya sama-sama terjatuh, semua buku yang dibawa gadis itu berserakan di lantai. Haidar berusaha bangun, tapi pinggangnya terasa nyeri, dengan susah payah ia berdiri, memeriksa seluruh tubuhnya.
Disaat yang bersamaan, gadis itu juga berusaha bangun, sayangnya ia tak melihat wajahnya, yang dilihat hanyalah punggungnya. Gadis itu juga sama terkejutnya dengan Haidar. Tak menyangka akan menabrak seseorang.
"Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Haidar setelah berhasil menetralisir rasa kagetnya.
"Aku baik-baik saja," sahutnya, lalu mengambil satu persatu buku yang terjatuh, Haidar turut membantunya memunguti buku-buku itu, lalu ... Deg! Mata mereka bertemu. Keduanya membeku di tempat. Untuk sepersekian detik mereka saling menatap.
Sebelum akhirnya gadis itu memalingkan wajah. Ia berbalik dan menatap Haidar dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Haidar yang mengerti arti tatapan itu, memberinya semua buku-buku yang tadi berhasil ia kumpulkan.
"Terima kasih," ucapnya singkat lalu berjalan pergi.
"Tunggu!" interupsi Haidar menghentikan langkahnya sejenak. Haidar langsung menghampirinya dan mengambil hampir setengah buku yang ia bawa dengan tangannya sendiri. "Biar kubantu," kata Haidar menawarkan pertolongan, berusaha tersenyum tulus.
Ia tak mengatakan apapun, hanya melirik Haidar sekilas lalu berjalan lagi, Haidar pun mengikutinya hingga sampai ke suatu ruangan.
Di sana, Haidar melihat temannya yang terduduk lesu, melihat kehadiran gadis dingin itu dan Haidar yang datang secara bersamaan membuatnya jadi menegakkan punggungnya.
Haidar meletakkan buku-buku itu di di tempat dimana temannya tadi duduk. "Lho, Hamna? dan Kakak yang tadi, kok kalian ... bisa barengan?" tanyanya kebingungan.
Lalu Haidar bersuara, "Tadi kami secara tidak sengaja bertemu di koridor dekat perpustakaan, lalu ada seseorang yang menabrak saya dan menjatuhkan semua buku-buku ini." Sekejap, Haidar melirik gadis itu yang juga sedang menatapnya tajam, ia memicingkan matanya pada Haidar.
"Oh ... begitu," respon Shafiya sembari menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Eh! Hah?! Ditabrak? Oleh Hamna? Apa ini sungguhan? Ya ampun! Hamna yang tidak pernah ceroboh ternyata bisa salah jugaaaa, oh ya ampun!" katanya berteriak.
Temannya kan hanya menabrak Haidar bukan melakukan kriminalitas.
"Hamna, are you okay?" Shafiya bertanya berkali-kali pada Hamna itu, matanya memindai keadaannya dari atas sampai ke bawah.
Gadis itu menganggukkan kepalanya, "Okay, I'm good," jawabnya dengan ekspresi yang masih saja datar. Haidar jadi merasa kalau gadis itu tak memiliki ekspresi apapun.
Lalu gadis itu beralih pada Haidar, "Maaf ya, Kak, sudah merepotkan," kata Shafiya kemudian.
"No problem. Tapi ... " Haidar menatap Hamna, ada makna yang tersirat di matanya. "Bukannya yang salah yang harus meminta maaf?" lanjut Haidar sembari melipat tangan di dada, sedangkan gadis dingin itu tampak tak senang.
"I'm sorry. Bukan sengaja!" ucapnya kemudian dengan nada yang agak ketus.
"It's okay, sebenarnya saya beruntung karena yang menabrak saya adalah seorang gadis yang cantik," goda Haidar pada Hamna sambil mengedipkan sebelah mata, berharap ada rona merah di pipinya yang putih itu.
Tapi seperti namanya, gadis dingin, digoda seperti apa pun tak berpengaruh apa-apa. Padahal kalau gadis lain pasti sudah bersorak sorai senang atau bahkan jingkrak-jingkrak sampai berguling-guling di tengah jalan.
Temannya justru meminta maaf kembali, kali ini sambil menundukkan kepalanya, "Saya mewakili Hamna untuk meminta maaf, Kak. Ini sebenarnya salah saya yang tidak mau mengikuti saran Hamna untuk membaca buku di perpustakaan, sampai-sampai Hamna harus repot membawa buku-buku ini kemari," jelasnya panjang lebar.
"Oh begitu, sudahlah tidak apa-apa, tapi lain kali kamu seharusnya mengikuti saran temanmu." Shafiya menganggukkan kepalanya serius.
"Oh ya siapa namamu? Tadi pagi kan kita belum berkenalan," tanya Haidar kemudian, tadi pagi di kantin mereka memang tidak sempat untuk berkenalan satu sama lain.
"Oh iya, saya hampir terlupa, Kak. Nama saya Shafiya El-Qamar, panggil saja Fiya. Kalau ini ... " ia menunjuk ke arah gadis dingin itu.
"Sahabat saya, namanya Hamna Nafisa Zubair, panggil saja Hamna. Kalau Kakak siapa namanya?"
Oh nama gadis itu Hamna Nafisa Zubair, nama yang sangat cantik, secantik orangnya pikir Haidar.
"Haidar ... Nama saya Haidar Musyaffa Khairullah."
"Salam kenal, Kak!" Shafiya tersenyum singkat.
"Oh ya, Kak, kalau boleh tahu, Fiya sepertinya baru kali ini melihat Kakak di kampus ini. Apakah ada kepentingan? Sepertinya bukan mau mendaftar, karena kalau dilihat Kakak ini, sedikit terlihat lebih tua dibanding mahasiswa lainnya, hehe, maaf ... kalau salah."
Ternyata Fiya memerhatikan sampai sedetail itu, kurasa Fiya mengenal hampir semua mahasiswa di sini. Mungkin saja ia tahu di mana ruangan dekan, sebaiknya kutanyakan saj**a, pikir Haidar.
"Ah ya, saya sebenarnya mau bertemu dengan dekan, namanya Pak Nasher. Apa kamu tahu di mana ruangannya?"
"Oh, ruangan Pak Nasher tepat di seberang pintu masuk perpustakaan. Di jam segini sepertinya beliau sudah ada di ruangannya."
Haidar melirik jam di tangannya sekilas. Seharusnya belum terlalu terlambat. "Kalau begitu, terima kasih, ya, saya permisi dulu," pamit Haidar sopan, ia tersenyum sebagai bentuk penghormatan.
Haidar meliriknya, Hamna juga balik menatapnya, Haidar mencoba tersenyum tulus, tapi apa yang bisa ia harapkan, jangankan membalas senyumnya, tatapannya bahkan menakutkan sekali!
Dan entah sejak kapan gadis itu sudah duduk dan membuka lembaran-lembaran buku tersebut. Ia semakin menatap Haidar tajam. Lalu Haidar memilih untuk cepat-cepat pergi.
......................
DI KANTOR DEKAN
Haidar mengetuk pintu pelan, terdengar sahutan dari dalam, "Siapa?" tanya Pak Nasher dari dalam ruangannya.
"Ini saya, Pak, Haidar Musyaffa Khairullah," jawab Haidar cukup keras.
Tak lama dari itu seseorang keluar, laki-laki separuh baya itu menyapa Haidar ramah, "Oh rupanya Haidar, ayo, silahkan masuk!" Ia mempersilakan Haidar untuk masuk. Lalu keduanya duduk bersamaan.
Lalu mereka berbincang banyak hal, Pak Nasher menjelaskan banyak hal pada Haidar, beliau juga menceritakan sejarah dan latar belakang kampus itu.
Setelah berbincang dengannya, Pak Nasher beranjak dari duduknya, ia menekan interkom yang ada di dinding dekat pintu. Ia meminta seseorang untuk datang ke ruangannya.
Haidar masih duduk dengan tenang, ruangan Pak Nasher ini sangat nyaman, membuat siapapun jadi betah berlama-lama di sini. Tak lama dari itu Pak Nasher duduk kembali di tempat duduknya yang tadi. Kali ini raut wajahnya tampak serius, tidak sesantai tadi.
"Haidar ... " panggilnya pelan. Haidar pun menyahutinya.
"Iya, Pak?"
"Haidar, jika Bapak minta untuk menjadi dosen pembimbing sementara, apakah bersedia?" tanyanya serius
Menjadi dosen pembimbing sementara? Sepertinya menarik, pikir Haidar.
Haidar menyanggupinya, "Tentu, Pak, sebuah kehormatan untuk saya," kata Haidar agak sungkan.
"Alhamdulillah, sebentar, ya. Bapak sedang meminta seseorang untuk datang membawakan daftar mahasiswa yang akan Haidar bimbing nanti," jelasnya, sedang Haidar hanya mengangguk paham, kebetulan Haidar sering membantu teman-temannya menyelesaikan tesisnya sewaktu kuliah di Kanada.
Seharusnya, membimbing mahasiswa-mahasiswa di sini tidak terlalu sulit, ya kan?
Pintu ruangan Pak Nasher diketuk, "Itu pasti dia."
"Masuk" perintah Pak Nasher pada seseorang yang ada di luar, seseorang itu masuk. Haidar tak melihatnya karena kursi yang didudukinya membelakangi pintu, tapi ia dapat mendengar percakapan kedua orang itu dengan jelas.
"Ini, Pak, daftar mahasiswa bimbingan Ibu Karina yang Bapak minta, totalnya ada 4 orang, 3 diantaranya masih dalam proses pengajuan judul, semuanya juga dari fakultas manajemen, termasuk saya."
"Ya, terima kasih ya, Hamna"
Hamna? Apa tadi Pak Nasher menyebut nama Hamna? Apakah itu Hamna si gadis dingin?
Haidar langsung berdiri dan memutar badannya ke belakang untuk memastikan.
Ternyata benar, seseorang yang Pak Nasher panggil ke sini adalah Hamna, Hamna Nafisa Zubair, si gadis dingin itu. Gadis yang sama, yang bertemu dengannya di kantin dan yang tadi secara tak sengaja menabraknya.
Mereka tampak berbicara serius, lalu Pak Nasher memanggil Haidar, "Haidar, kemari" pinta Pak Nasher, lalu ia pun menghampiri kedua orang itu.
"Perkenalkan, ini Hamna, nantinya dia yang akan membantu tugas-tugas Haidar selama menjadi dosen pembimbing sementara, jika ada yang ingin ditanyakan, silahkan Haidar tanya langsung ke Hamna." Pak Nasher memberikan daftar mahasiswa yang dipegangnya kepada Haidar, dan laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya, paham.
"Oh ya, Haidar. Hamna ini termasuk mahasiswi yang cerdas, lho. Dalam hal ini Hamna juga sangat bisa diandalkan, Bapak harap kalian berdua bisa bekerja sama dengan baik. Ini daftarnya, silahkan dibaca, totalnya ada 4, termasuk Hamna sendiri. Bapak permisi dulu, ya." Setelah itu, Pak Nasher ijin keluar untuk mengangkat telepon.
Entah kebaikan apa yang sudah dibuatnya pagi ini sampai ia bisa seberuntung itu. Ia berkata semoga mereka bertemu lagi. Dan Allah mempertemukan mereka dengan cara seperti ini.
Hamna jadi asistenku? Bukankah itu artinya dia akan menghabiskan waktunya lebih banyak bersamaku? Oh ya ampun aku jadi kegirangan sendiri. Haidar mulai berpikir macam-macam.
Di ruangan itu sekarang hanya tersisa Haidar dan Hamna. Ya Allah, suasananya kenapa jadi begitu mencekam? Aku merasa canggung, suasana ini begitu hening, Haidar membatin. Ia tak suka keheningan.
Lalu Haidar kembali duduk, sedangkan Hamna masih setia berdiri di sana memainkan ponselnya, entah apa yang sedang ia lakukan, membuat Haidar penasaran saja!
Karena tak tahan dengan suasana itu, Haidar akhirnya berdeham pelan, gadis itu menatapnya sebentar. Hanya menatap, tak lebih dari itu.
"Hamna?" panggil Haidar agak ragu, yang dipanggil menyahut.
"Iya, Pak?"
"Duduklah, jangan berdiri terus, kasihan kakimu," pinta Haidar sembari menepuk sofa yang didudukinya agar Hamna duduk di sampingnya. Ia mengangguk, tetapi bukannya duduk di sebelah Haidar, gadis itu justru mengambil kursi lain dan meletakkannya berseberangan dengan tempat duduk Haidar.
"Oh ya, boleh jelaskan sedikit pada saya tentang kamu?" tanya Haidar setelah memastikan Hamna duduk dengan nyaman. Ia mengernyitkan kening, heran.
"Tidak, bukan, bukan seperti yang kamu pikirkan. Saya ... saya hanya ingin sedikit mengenal mahasiswa bimbingan saya, bukankah kamu juga termasuk?" Haidar berdalih, sebenarnya Haidar memang benar-benar ingin mengenalnya. Tapi sepertinya tidak tepat menggunakan cara seperti ini.
"Karena bagaimanapun, ke depannya kita pasti akan banyak berinteraksi. Saya ingin kita bisa jadi rekan kerja sama yang baik. Jadi, bagaimana asisten dosen?" jelas Haidar menghindari salah paham, sungguh ia tidak ingin membuat Hamna merasa tak nyaman.
Gadis itu tampak berpikir, "Apa yang ingin Pak Haidar ketahui tentang saya?" tanyanya serius, tapi di wajahnya ada gurat ketidaksenangan. Gadis ini benar-benar tertutup dan sulit untuk ditebak.
Aku ingin tahu semuanya tentang kamu.
"Sudahlah, saya pikir tidak perlu. Pada akhirnya nanti kita pasti akan saling mengenal satu sama lain," kata Haidar pada akhirnya.
Dan suatu hari kamu pasti akan jatuh cinta padaku. janji Haidar.
Ia menatap Haidar dalam diam, entah apa yang ia pikirkan. Tapi ... ekspresinya yang seperti itu membuatnya tampak menawan di mata Haidar.
Kerudung yang ia kenakan sangat cocok dengan warna kulitnya yang putih bersih. Semakin ditatap, semakin terlihat cantik. Tetapi, ditatap begitu intens oleh Hamna membuat Haidar jadi gugup.
Ia bangun dan berjalan menghampiri Haidar, lalu menyodorkan ponselnya kepada Haidar.
"A ... Apa ini?" tanya Haidar kebingungan. Apa dia ingin Haidar mengambil ponselnya?
"Scan barcode-nya, Pak. Ini akan memudahkan kita untuk berkomunikasi ke depannya," jawabnya ketus, ya Allah gadis itu benar-benar menakutkan.
Ya Allah, bagaimana bisa aku bertemu gadis seketus ini? Selamatkan aku, tolong! Haidar merintih.
Haidar buru-buru mengambil ponselnya dari saku celana dan menyimpan kontaknya. "Sudah," kata Haidar setelah ia memastikan nomor Hamna benar-benar tersimpan di ponselnya.
"Oke." Hamna memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku blazer-nya. "Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan ... "
"Memangnya dari tadi kita bicara apa? Sepertinya dari tadi kita hanya diam," Haidar memotong ucapannya.
Hamna tampak terkejut seketika. "Saya permisi, Pak!" ucapnya lalu pergi. Meninggalkan Haidar di ruangan itu, sendirian.
"Hey! Hamna kamu bahkan belum tahu nama saya, kan?" teriak Haidar, saat Hamna akan membuka pintu. Ia berbalik ke arah Haidar.
"Saya tahu ... Pak, Haidar Musyaffa Khairullah"
Hah? Dia tahu namaku? Tapi bukankah aku belum memberitahunya? ujar Haidar dalam hati. Agaknya ia lupa kalau tadi ia memperkenalkan dirinya sendiri pada saat ia membantu Hamna membawakan buku-buku.
"Sampai jumpa nanti siang, Pak." Setelah itu, pintu tertutup. "Ya sampai bertemu lagi. Eh tunggu, dia bilang nanti siang? Artinya... Siang ini... Kita akan bertemu lagi?" gumam Haidar.
Haidar mengecek kembali ponselnya, di sana ada kontak yang tertera namanya. Hamna Nafisa Zubair.
Di sana juga terpampang foto seorang perempuan yang membelakangi kamera. Perempuan itu tampak mengenakan abaya berwarna hitam dengan kerudung warna senada.
Siapa ini? Apakah dia? pikir Haidar.
Laki-laki itu melirik arloji di tangannya, ternyata sudah pukul 11 siang, sebentar lagi azan Dzuhur. Karena tak ada lagi yang harus dilakukan, ia memutuskan bergegas ke masjid. Kalau tidak salah, tadi ia melihat ada masjid megah di sebelah selatan kampus.
Haidar melangkahkan kakinya dengan pasti dan mantap pergi ke masjid. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil wudhu, menunaikan salat dua rakaat lalu duduk di dalam sambil menunggu muadzin mengumandangkan azan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Jee Ulya
Dingin amat, buk 😒
2025-02-07
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar🦉
Dingin amat nih cewek 😌
2024-11-26
0
『ꌚꉣꋫ꒓ꋫ꓅ꂑꌚ』ꇓꂑꋫꆂ ꁒꂑꁹꁍ 🅰️
serius?/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2023-10-08
1