"Laki-laki itu pergi setelah menyuruhku tidur, ia bilang Fiya akan datang ke sini sekitar 2 jam lagi setelah kelasnya selesai. Tapi aku tidak bisa tertidur walaupun aku sudah memejamkan mata."
"Sepertinya tidur bagiku sekarang terasa sulit, mengingat aku sudah tertidur begitu lama. Sebenarnya aku juga masih tidak menyangka, aku koma selama 15 hari?"
"Selama itu, aku pasti telah banyak merepotkan orang-orang. Laki-laki itu bilang dia terus bergantian menjagaku dengan Fiya. Laki-laki itu... "
"Menjagaku selama aku koma? Padahal ia baru saja mengenalku selama sehari, tapi perhatiannya seperti ia sudah mengenalku bertahun-tahun lamanya."
Pikiran Hamna kembali ke hari itu ... Ia berusaha mengingatnya, hari itu setelah meninggalkan kampus, ia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, di tengah jalan entah kenapa perutnya terasa kram.
Itu membuatnya kehilangan kendali pada motornya, sesaat sebelum ia terseret, ia merasa kepalanya sangat pusing. Setelahnya, ia terpental dari motornya dan kehilangan kesadaran.
"Sungguh tidak disangka dia yang menyelamatkanku. Dan dia begitu mengkhawatirkan aku saat itu sampai rela menerobos kerumunan demi memastikan dugaannya terhadapku."
"Aku tidak tahu perasaan apa ini yang tiba-tiba muncul, aku begitu merasa terharu dan... Tersentuh? Aku tidak bisa memastikannya."
"Yang kutahu, aku merasa bersyukur diberi kesempatan hidup. Terima kasih, Pak Haidar, sampai kapanpun aku akan berutang budi padamu."
"Kelak, jika kamu membutuhkan bantuanku, aku akan dengan senang hati membantu." Hamna berkata berjanji dalam hati.
"Kamu tidak tidur?" kata seseorang yang baru saja masuk.
Hamna menatapnya, ternyata itu Pak Haidar, sepertinya laki-laki itu sudah kembali dari membeli kopi.
"Tidak bisa tidur" jawab Hamna jujur, lalu ia duduk di samping Hamna, di tempat di mana ia duduk sebelumnya.
Ia menatap Hamna lamat, jujur, itu agak membuatnya takut. Tatapannya sulit untuk Hamna artikan. Dan lagi, situasi seperti ini membuatnya canggung, Hamna tak pernah ditatap begitu intens oleh seseorang.
Hamna terbatuk pelan, dan dia langsung menepuk-nepuk pundak Hamna penuh perhatian. "Kamu kenapa sih dari tadi?" ia bertanya dengan nada yang sedikit panik.
"Kok malah Pak Haidar yang tanya? Harusnya kan saya yang tanya!"
"Hah? tanya apa?"
"Eh? Tidak ... Tidak ada apa-apa"
"Laki-laki ini meskipun pada awalnya menyebalkan, tetapi melihatnya seperhatian ini membuatku memiliki pandangan lain padanya. Seseorang yang kupandang buruk sepertinya tidak terlalu buruk." Ucap Hamna dalam hati.
Ada banyak sekali orang baik di dunia ini, hanya saja Hamna yang terlalu menutup diri pada orang-orang. Ia begitu takut untuk akrab dengan orang. Dibandingkan dengan bergaul, ia lebih suka sendirian. Melalui semua hal sendirian.
"Hamna?" seseorang memanggil namanya.
Ia tahu siapa yang memanggilnya itu. Hamna mengalihkan pandangannya, "iya, Pak?" sahutnya, menjawab panggilan Haidar tadi.
"Kenapa melamun? Apa yang kamu pikirkan?" ia bertanya.
"Eh? Apa itu artinya ia memerhatikanku sejak tadi."
"Tidak, tidak ada. Saya hanya berpikir apa yang akan saya tanyakan jika Fiya datang nanti." jawab Hamna beralasan.
"Dia tidak mungkin bisa membaca pikiran orang, kan?"
Haidar lalu berdiri, "sebelum Fiya datang bagaimana kalau kita berjalan-jalan di taman?" ajaknya pada Hamna. Gadis itu mengiyakannya, sepertinya hal yang bagus jika bisa berjalan-jalan di luar. Dalam ruangan ini sedikit pengap, padahal kamar VIP.
"Tapi, kenapa tiba-tiba dia mengajakku untuk keluar padahal sebelumnya ia menyuruhku untuk terus tidur? "
"Dokter bilang kamu boleh diajak keluar untuk pemulihan, tapi tidak dibolehkan berjalan apalagi sampai kelelahan. Jadi, saya akan mengambil kursi roda dulu" jelasnya, padahal ia tidak bertanya apapun padanya.
"Mungkinkah dia bisa membaca pikiran? Aih itu mengerikan!"
Tak lama, Haidar kembali dengan membawa kursi roda dan seorang suster. Ia membantu Hamna untuk pindah dari bed ke kursi roda, memapah Hamna pelan, sedangkan suster yang tadi membantu memindahkan selang infus dan yang lainnya.
Mereka berjalan ke arah taman, Hamna memerhatikan sekitar dengan seksama, semua yang ada di sini terlihat sama sepertinya, seorang pasien.
Hamna tak menyangka, taman rumah sakit ternyata seindah ini, sangat hijau dan banyak sekali bunga-bunga. Haidar mendorong kursi roda Hamna perlahan menuju bangku taman dekat air mancur.
Di sana, sudah ada seorang wanita paruh baya. "Siapa dia? Apakah Pak Haidar mengenalnya? Mengapa dia mengarahkan kursi rodaku ke arah perempuan itu?" Hamna bertanya-tanya dalam hati.
Merasa takut, Hamna refleks memegang erat tangannya, entah mengapa bertemu dengan perempuan tua sepertinya membuat Hamna merasa terintimidasi.
"Tenang, dia Ibu saya, katanya mau bertemu denganmu dan melihat kondisimu, beliau juga beberapa hari turut menjagamu. Jangan takut, ya" katanya menenangkan seolah mengerti ketakutan Hamna.
"Hamna, kenalkan, ini nyonya Musyaffa, katanya sangat khawatir padamu" ujarnya memperkenalkan Ibunya pada Hamna.
Tiba-tiba saja, Ibunya itu memukul kepalanya, "Kamu ini kenapa memperkenalkan Ibumu sendiri seperti itu!"
"Maaf ya Hamna, anak ini memang sedikit gila" ia beralih pada Hamna, perempuan setengah baya itu masih menatap tajam pada Haidar. "Astaga sebenarnya apa hubungan ibu dan anak ini? Kenapa mereka terlihat sangat tidak akur?" Hamba mulai merasa aneh sendiri.
Haidar tidak berkata apa-apa, ia memegangi kepalanya yang tadi dipukul oleh Ibunya. Sedangkan Ibunya sudah berdiri di depan Hamna dan menyejajarkan dirinya dengan Hamna. Hannah menatap Hamna dengan tatapannya yang meneduhkan dan tersenyum hangat.
"Bagaimana kabarmu, Hamna? Apa sudah membaik? Atau masih ada yang terasa sakit? Katakan saja, biar Ibu ini yang menghajar si anak gila ini karena tidak menjagamu dengan baik" ia bertanya pada Hamna, yang lebih terdengar seperti mengancam dibanding dengan mengkhawatirkannya.
Hamna tersenyum tipis, "Aku sudah lebih baik sekarang, terima kasih atas perhatiannya. Salam kenal Nyonya Musyaffa, senang bertemu dengan Anda, terima kasih juga sudah membantuku, aku sangat senang" kata Hamna sedikit sungkan.
Perempuan itu tersenyum tulus, "tidak usah sungkan begitu, Ibu bahagia kalau kamu baik-baik saja. Panggil saja Ibu Hannah, jangan panggil nyonya, ya, itu terlalu norak, hahaha" katanya tertawa pelan.
Hannah mendorong kursi roda Hamna ke dekat kursi dan ia duduk di kursi taman. Haidar pun mengikuti, duduk di samping Ibunya. Hamna memandangi pemandangan yang ada di depannya, rumput yang hijau dengan bunga di beberapa sudut taman, juga pemandangan lansia dan anak-anak. Sejenak, ia merasa bahagia.
"Kamu datang dengan siapa, Bu?"
"Dengan supir, siapa lagi memangnya? Kau ingin Ibumu pergi sendirian ya?"
"Tidak, bukan begitu maksudku, kukira Ibu pergi dengan Ayah"
"Oh ya, ngomong-ngomong tentang Ayahmu, dia bilang akan ada acara makan malam dengan keluarga besar malam ini, Ibu tidak tahu tapi Ayahmu bilang akan ada hal penting, dia juga memintaku untuk memberitahumu agar kamu datang. Kamu datang ya, Nak? Sudah lama sekali kan kita tidak berkumpul?"
"Hal penting apa sampai harus mengumpulkan semua keluarga?"
"Ibu bilang Ibu tidak tahu, pokoknya kamu harus pulang! Ibu akan menunggumu di rumah."
"Ngomong-ngomong, cepatlah dekati menantuku, Ibu ingin dia segera menjadi keluarga Musyaffa, hahaha" bisik Hannah pada Haidar
"Ibu, jangan bicara hal itu di sini, nanti dia mendengarnya"
"Memangnya kenapa? Kamu ini memang tidak berguna, tidak inisiatif terhadap perempuan seperti Ayahmu"
"Huh jangan berbangga dengan itu, Bu"
"Setidaknya Ayahmu adalah orang yang romantis, kamu seharusnya meniru dia"
"Haidar tidak mau sepertinya, itu suami Ibu, Haidar anakmu, lho, Bu!"
"Anak yang payah" gerutu Hannah, tapi masih bisa didengar Haidar.
"Bu, sejak kapan Ibu jadi begitu jahat?"
"Sejak kamu terus-menerus menghabiskan waktu untuk belajar"
"Haidar kan belajar untuk masa depan Haidar"
"Kamu sudah punya masa depan yang bagus"
"Terserah saja"
Hamna masih mendengarkan percakapan antara Ibu dan anak itu, walaupun mereka bicara dengan pelan, tapi Hamna masih bisa mendengar obrolan mereka. Ia merasa hubungan antara Hannah dan Haidar agak terasa aneh, tidak seperti hubungan ibu dan anak seperti biasanya.
Setelah mereka selesai mengobrol, perempuan itu berpamitan pulang dan berjanji akan mengunjungi lain kali. "Beliau terlihat seperti perempuan yang berkharisma, dan juga penyayang. Aku jadi merindukan ibu. Ibu, kamu sedang apa di Surga? Apa kamu juga sedang melihatku?" Hamna tersenyum getir.
Setelah memastikan Ibunya pulang, Haidar membawa Hamna kembali ke ruang rawatnya, Fiya tidak datang hari ini, Hamna jadi agak sedih.
Haidar bilang, kelas tambahan Fiya sangat banyak, mungkin dia akan kelelahan jadi lebih baik memintanya beristirahat.
"Oh ya, kamu tidak apa-apa, kan kalau saya tinggal sebentar? Saya ada acara di rumah" Haidar meminta ijin, sebenarnya ia merasa khawatir meninggalkan Hamna sendiri.
Hamna mengangguk, "Iya, tidak apa, Pak, lagipula ada Bibi Ina di sini, nikmati waktumu"
"Tapi ... saya sedikit khawatir meninggalkanmu sendirian"
"Tidak perlu khawatir, saya terbiasa sendirian"
"Ya, aku telah terbiasa sendirian, tenggelam dalam sepi yang kubuat sendiri. Selama bertahun-tahun, aku juga hidup sendiri, hanya ada pembantu di sekelilingku. Hal seperti ini tidak akan membuatku lemah, aku sudah terbiasa dengan kesendirianku. Walau sesekali rasanya begitu menyeramkan."
Haidar menatap Hamna dengan nanar, ia mengerti perasaan gadis itu. "Baiklah, saya pamit, ya. Saya akan kembali nanti"
Ia berjalan pergi, Hamna masih menatap punggungnya yang tegap. Selama beberapa saat ia menatap kepergiannya. Kenapa ada rasa yang janggal ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments