Matahari bergerak perlahan meninggalkan posisi tengahnya menuju Barat. Menaburkan semburat jingga di bentangan langit yang luas. Sore ini Hamna ditemani Haidar memutuskan mengunjungi rumah Fiya untuk membahas masalah perceraian antara Yasser, Ayah Fiya dan Ayuna, Ibu Fiya. Setelah dibujuk berkali-kali oleh Haidar, akhirnya Hamna bersedia mengusulkan rencananya kepada Fiya.
Keduanya berjalan memasuki pekarangan rumah yang luas itu, di depan pintu, Fiya sudah menunggu. Matanya tampak sembab setelah berkali-kali menangis. Fiya memaksakan senyumnya di hadapan Hamna, gadis itu sedang berpura-pura tegar. Melihat keadaan Fiya yang demikian membuat Hamna meringis dalam hati. Tak tega.
"Kalian sudah datang, ayo masuk, Ibuku ada di kamar. Kalian duduk saja dulu, aku akan memanggil Ibuku turun. Bibi tolong buatkan kopi untuk mereka" Fiya berlari-lari kecil menaiki tangga, sebenarnya ia sangat kecewa, juga terluka. Tapi demi Ibunya, ia harus kuat.
Haidar menggenggam jemari Hamna, menyentak Hamna yang sedang melamun, kedua matanya menatap Hamna lembut, "ayo masuk" katanya tanpa melepaskan genggaman itu. Hamna hanya mengangguk. Keduanya duduk, Hamna meremas jemarinya. Hamna sangat gugup sekarang ini. Detak jam dinding mengiringi kebisuan mereka. Sejujurnya, Haidar juga demikian, ia bingung harus berkata apa, di hatinya juga ragu-ragu. Tapi ia tak bisa apa-apa, menelan ragunya sendiri dalam bisu.
Di kamar, anak dan Ibu itu sedang berbincang. "Bunda sudah yakin, ya? Aku sudah meminta Hamna dan dosenku untuk membantu mengurus perceraian Bunda dan Ayah. Sekarang mereka ada di bawah." Tanya Fiya memastikan keputusan Ibunya. Ditatapnya wajah Ibunya yang sayu itu, ia melihat keraguan dan ketidakrelaan di gurat matanya, itulah yang menyebabkan Fiya bertanya.
Perempuan setengah baya itu tersenyum kaku, "Ya, Bunda sangat yakin. Meskipun Bunda masih mencintai Ayahmu, dan masih ada perasaan tidak rela, tapi itu tidak bisa melawan prinsip Bunda, Nak. Bagi Bunda, kesalahan sebesar apapun, Bunda masih bisa berlapang dada dan berusaha memaafkannya. Tapi tidak untuk pengkhianatan. Bunda tidak akan pernah bisa mentolerir satu kesalahan itu."
Keduanya menuruni tangga bersamaan, Fiya masih menggandeng tangan Ibunya. Dari luar, Ayuna memang tampak kuat, tapi di kedalaman hatinya, remuk redam. Hamna dan Haidar menyalami Ayuna takzim. Fiya memperkenalkan Haidar sebagai dosennya, dan memberitahunya secara singkat apa yang akan dijelaskan oleh Hamna. "Maaf ya jika harus merepotkan kalian" mata Ayuna menatap Hamna dan Haidar bergantian.
"Bibi terlalu sungkan padaku. Kami sangat bahagia bisa membantu Bibi. Bagaimana kabar Bibi?" Hamna merutuki mulutnya yang berbicara sembarang. "Aku baik-baik saja" jawab Ayuna tersenyum. Senyum yang terasa menyakitkan bagi Hamna.
Untuk beberapa saat, suasana jadi hening. Keempat orang itu tak ada yang berani membuka suara. Semuanya sibuk dengan isi kepala masing-masing. Hamna berkutat dengan pikirannya, dari mana ia harus memulai percakapan ini? Hamna menarik napas dalam-dalam, dirasakannya sentuhan hangat Haidar di lengan kirinya seolah mengalirkan kekuatan.
"Bibi, bisa jelaskan secara detailnya kapan Bibi mengetahui Paman Yasser berselingkuh? Dan apakah Bibi memiliki bukti-bukti yang mendukung agar pengadilan bisa mempertimbangkan gugatan Bibi."
Ayuna menghela napas, sulit baginya menceritakan kembali rasa sakit itu, menceritakannya kembali seperti memoar luka-luka yang ada di hatinya dan membuatnya semakim berdarah. Tetapi untuk kelegaan hatinya, ia menceritakan semuanya kepada Hamna. Bagaimana semuanya bermula. Bagaimana ia menyembunyikannya selama setahun lebih. Ayuna juga menunjukkan bukti berupa foto-foto yang ia dapatkan.
Hamna mengangguk, jemarinya mencatat hal-hal penting di buku. Haidar juga turut membantu, kepalanya juga turut mengangguk-angguk. Haidar juga pernah berkecimpung dengan hukum, ia sedikit tahu tentang ini. Keempatnya larut dalam perbincangan serius sore itu. Hingga malam merangkak meninggalkan senja. Semuanya bergegas beribadah, mengadukan segala gundah ke hadapan Sang Pencipta.
Selepas menunaikan ibadah Maghrib mereka, hujan turun bersamaan dengan rinai air mata mereka. Sejak Ayuna memulai ceritanya, linangan air matanya sudah membanjiri pipinya yang mulai menua. Isak tangisnya yang pilu memelintir hati Fiya dan Hamna bersamaan, mereka perempuan tentu bisa turut merasakan kesakitan yang dipendam Ayuna itu. Meski mulut Ayuna terkatup rapat menyimpan pilu, Hamna tetap saja mampu merasakan sembilu yang meluluhlantakkan jiwanya Ayuna itu.
Haidar hanya menatap ketiga wajah perempuan itu bergantian, ia laki-laki seorang di sini, ia takut jika ia bersuara maka ia akan terkena getahnya. Ia bergidik ngeri ketika membayangkan para perempuan itu akan melemparkan kesalahan laki-laki lain padanya.
Ketika melihat Ayuna, Haidar serasa melihat Ibunya sendiri. Jika ia berada di posisi Fiya, tentu ia juga akan melakukan hal yang sama. Tidak akan ia biarkan siapapun melukai bidadari yang telah melahirkannya itu. Dering ponsel Haidar bersuara di sela isak tangis para perempuan itu. Ia melangkah menjauh dan menerima panggilan itu.
"Assalamualaikum... " ucap Haidar ketika telepon tersambung. "Wa'alaikumussalam, Lo dimana deh Dar? Motornya sudah selesai nih, kapan mau diambil?" ungkap seseorang di seberang dengan nada agak mengomel. Itu adalah Hanif.
"Ya, kalau urusan Gue sudah selesai semua, nanti Gue ambil. Lo jaga baik-baik ya motor itu, jangan sampai lecet!" setelah itu ia menutup panggilan itu dan kembali melihat keadaan tiga perempuan itu.
"Pak Haidar, sudah malam, ayo pulang. Bibi 5 hari lagi kita bertemu di pengadilan, ya. Fiya, aku pulang dulu, baik-baik ya, jangan terlalu sedih, oke? Kalau ada apa-apa kabari aku." Fiya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Hatinya sudah lebih membaik sekarang, begitu juga Ibunya, meski masih terasa remuk hatinya, Ayuna baik-baik saja.
Haidar sudah lebih dulu melenggang ke luar. Lalu ketiga perempuan itu saling berpelukan. Hamna dan Haidar, keduanya pulang ditemani dinginnya hujan. Kebisuan melingkupi. Sejujurnya kepala Hamna masih berat memikirkan semua yang terjadi pada Fiya. Membuatnya pening, Hamna memijit pelipisnya. Haidar hanya meliriknya sekilas, ia masih fokus menyetir mobil di tengah hujan. Menerobos kegelapan malam itu dengan perasaan yang gundah.
...****************...
Hamna memaksa matanya terjaga semalaman, hatinya benar-benar tak bisa tenang. Padahal segala keluh kesahnya telah ia tumpahkan sepenuhnya pada Tuhan. Berulang kali dipintalnya doa dengan lirih, tangannya terus menengadah tiada henti. Bahunya terasa begitu berat, seperti ada sesuatu yang dengan sengaja ditimpakan kepadanya. Tapi beban apa yang begitu memberatkan pundaknya?
Diingatnya lagi kepedihan yang menimpa sahabatnya, Shafiya. Ia mengenal baik Yasser, ayahnya Fiya. Beliau adalah sosok yang baik, bahkan ketika dia merindukan ayahnya, dengan senang hati Yasser akan memeluknya atau mengucapkan kalimat-kalimat yang bijaksana. Dan sama sekali tidak disangka olehnya kalau Yasser akan berbuat sejauh itu. Ia mengkhianati kesucian cinta Ayuna. Hubungan yang sudah dijalin bertahun-tahun harus berakhir dengan kata cerai.
Di luar, langit gelap bertaburan bintang, mata Hamna menerawang, menatap kemegahan kotanya. Netranya mengamati kelap-kelip lampu rumah-rumah megah di kota tetapi bulan tampak redup, cahayanya bagai habis ditelan muramnya malam. Semuram wajahnya. Malam ini, perasaannya jadi tak karuan. Begitu banyak hal yang telah terjadi dalam hidupnya, sejauh yang ia ingat, ia selalu melewatinya sendirian.
Orang-orang mengatakan bahwa dirinya sebagai perempuan mandiri. Bisa melakukan apapun sendirian, tanpa perlu uluran tangan orang lain. Padahal yang sebenarnya adalah ia tak punya tempat bergantung, ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Tanpa sandar, tanpa peluk hangat, tanpa genggam menguatkan. Getir seringkali dirasakannya. Sepi adalah teman setianya di setiap malam menjelang. Kerapkali ia meragukan dirinya sendiri, mempertanyakan apakah dia memang sekuat itu? Jika ia memang benar kuat, kenapa ia seringkali merasa sedih atas hidupnya sendiri?
Tetapi, semenjak Haidar menghampiri kehidupannya, semuanya jadi terasa sedikit berbeda. Laki-laki itu, tanpa perlu diminta, bersedia membantunya. Benarkah apa yang dikatakan Fiya waktu itu? Bahwa dosennya itu memiliki perasaan khusus padanya? Entahlah, Hamna tak berani menaruh harap lagi.
Ditariknya selimutnya hingga menutupi wajahnya. Ia memutuskan tidur, membawa semua kegelisahan hatinya ke alam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments