Kopi dan Teh

"Mbak Na sudah bangun? Ayo sarapan dulu, sudah disiapkan di bawah. Mbak Na? Sudah bangun belum?" panggil perempuan setengah baya itu. Tangannya mengetuk pintu kamar Hamna. Memastikan sang pemilik kamar sudah terbangun. Tak mendengar sahutan apapun akhirnya ia pergi kembali ke bawah, membersihkan. Pikirnya akan kembali lima belas menit lagi.

Suara ketukan di pintu membangunkan Hamna dari tidurnya, gadis itu mengerjapkan matanya, sudah jam berapa ini? tanyanya dalam hati. Selepas Subuh ia tertidur kembali karena kantuk begitu mendera mata kecilnya. Semalaman ia sibuk dengan tugas dan berkas-berkasnya sampai jam dua dini hari. Alhasil ia tertidur pulas lagi.

Gadis itu beranjak dari kasur tangannya bergerak membuka tirai yang menutupi kamarnya itu, dibukanya dengan perlahan, hangat sinar matahari pagi langsung menembus jendela menerpa wajah lusuhnya sehabis bangun tidur. Matanya memerhatikan pemandangan pagi.

Ia memerhatikan jam dinding, sudah pukul sembilan lewat seperempat. Dilihatnya lagi jadwalnya hari ini, janji bimbingan dengan Pak Haidar ada di jam 11 siang. Ia pun bergegas merapikan tempat tidurnya dan bergegas menyiapkan diri.

"Mbak Na? Sudah bangun? Ayo cepat sarapan" Bibi Ina kembali lagi mengetuk pintu. Hamna yang sedari tadi sudah rapi membuka pintu.

"Eh? Mbak Na sudah bangun? Bibi kira belum bangun. Itu Mbak ada orang yang menunggu Mbak Na dibawah" jelasnya, tangan keriputnya memilin ujung kerudungnya lusuh. Dalam hatinya ia merasa takut kalau Hamna akan marah, pasalnya tidak pernah ada siapapun yang bertamu ke rumah, Hamna juga tidak pernah ingin menerima tamu.

Hamna mengernyitkan keningnya, "siapa, Bi? Aku gak pernah minta orang datang ke rumah ini, lho" kata Hamna agak sedikit kebingungan.

"Itu Mbak, katanya dosennya Mbak. Tadi Bibi sudah bilang kalau Mbak Na tidak menerima tamu, tapi beliau memaksa masuk, katanya Mbak Na gak mungkin marah" jelasnya lagi, raut wajahnya sungguh takut. Mengetahuinya, Hamna jadi sedikit penasaran.

Lalu ia meminta Bibi Ina pergi untuk melayani Haidar, memberinya kopi dan menawarkan sarapan barangkali dia belum makan apapun. Matanya memandangi pantulan dirinya di kaca, entah karena apa dia begitu memerhatikan penampilannya hari ini.

Setelah dirasa penampilannya rapi ia turun ke bawah, di tangga matanya memandangi punggung Haidar yang sedang membaca majalah. Dari belakang, Haidar terlihat maskulin dengan kemeja hitam yang lengannya dilipat sampai ke siku.

"Selamat pagi, Pak Haidar" sapanya berusaha ramah. Sejujurnya ia memaksakan diri, jika bukan karena semalam Haidar sudah membantunya, menerima tamu dan beramah-tamah dengannya bukanlah kepribadian Hamna.

Laki-laki yang sedang fokus membaca majalah itu terkesiap mendengar seseorang mengucapkan selamat pagi padanya. Matanya menatap sosok Hamna yang berdiri tegas di depannya, Haidar tersenyum "Oh, hai, Pagi juga Hamna. Maaf ya mengganggu kamu pagi-pagi. Kamu sudah sarapan? Mau sarapan bersama? Ayo ayo kita sarapan dulu"

"Ini rumah saya, Pak. Kenapa malah Pak Haidar yang mengajak saya sarapan?" tanya Hamna, alisnya mengernyit, tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh dosennya itu.

Tanpa malu Haidar menarik tangan Hamna ke meja makan, "hahaha! Saya lupa kalau ini rumah mahasiswi. Sudah, sudah, jangan sungkan. Bibi Ina, tolong siapkan piringnya ya." Hamna menggelengkan kepala pasrah, entah apa yang sudah diminum dosennya pagi ini sampai ia bertingkah seperti ini.

Setelah sarapan keduanya pergi setelah melalui perdebatan siapa yang akan ikut dengan mobil siapa. Tentu saja Hamna mengalah untuk kesekian kalinya, dirinya tak sanggup berdebat dengan Haidar, akhirnya ia duduk di dalam mobil Haidar meskipun tadi ia juga bersikeras membawa mobil sendiri. Haidar memang licik.

Keduanya meninggalkan rumah Hamna dengan perasaan bahagia di hati Haidar sedang gusar di hati Hamna. Kepalanya berpikir keras apa yang akan dilakukan oleh dosennya hari ini, Hamna sudah menebak kalau hari ini mereka tidak akan langsung pergi ke kampus dan mendiskusikan masalah penelitiannya.

"Hari ini kita ke bengkel dulu, ya. Setelah makan siang baru ke kampus. Nanti setelah pulang dari kampus saya akan antar kamu kembali, tenang saja, kamu tidak akan saya telantarkan. Saya ini dosen pembimbing yang sangat baik, kan?"

Haidar terus mengoceh, tangannya memang sibuk memegang kemudi tapi lidahnya tak pernah berhenti mengganggu pendengaran Hamna. Di sisinya, Hamna hanya bisa memasrahkan diri, ia sudah menebak hal-hal ini saat ia tahu Haidar datang ke rumahnya. Setelah di kampus ia akan memberi pelajaran ekstra pada Shafiya. Berani-beraninya dia menjebaknya dalam posisi seperti sekarang.

"Eh? Kok diam? Kamu sariawan ya, Na?" Tanya Haidar, matanya melirik ke arah Hamna yang sedang menatap keluar mobil sambil memangku dagu.

Hamna mengangguk sebagai jawabannya. Ia mengalihkan pandangannya pada Haidar. "Kita ke mana?" tanyanya agak panik ketika tahu arah yang dituju mereka sama sekali tidak Hamna ketahui.

"Kan saya sudah bilang tadi, kita mau ke bengkel dulu. Memangnya kamu tidak mau melihat motor mahalmu lagi?"

Hamna terkejut. "Motor? Motor siapa?"

"Kamu amnesia, ya, Na? Ya motor kamu dong. Waktu itu motormu lecet, saya minta orang untuk ambil motormu. Tadi pagi saya dapat telepon kalau motormu sudah hampir diperbaiki. Sekarang saya antar kamu ke sana untuk bayar biaya perbaikannya."

"Oh ya, baru ingat. Kira-kira berapa biayanya, ya? Semoga tidak terlalu mahal." Ucapnya, jujur Hamna baru mengingatnya. Sejak hari itu, Hamna bahkan tidak memikirkan soal motornya, tapi laki-laki di sampingnya memperbaiki motornya.

"Kalau kamu rasa harga perbaikannya terlalu mahal, kamu tawar saja harganya. Saya jamin mereka pasti kasih kamu harga yang pantas."

"Oh, murah hati sekali"

......................

Sesampainya di sana, mereka berdua turun. Haidar mengajak Hamna langsung ke dalam. Ditemuinya seorang laki-laki seumuran Haidar. Pakaiannya lusuh dan kotor penuh dengan noda oli, rambutnya hitam gondrong dengan topi hitam bertengger di kepalanya. Laki-laki itu tampak sedang memeriksa motor Hamna.

"Heh, Hanif!" Haidar memanggilnya, laki-laki itu menoleh. Matanya menatap Haidar dan Hamna bergantian. Ia melangkah ke arah keduanya. Ditepuknya bahu Haidar "Hey, Haidar. Siapa itu yang lo bawa ke sini?" matanya melirik Hamna.

Hamna yang merasa risih ditatap begitu oleh lawan jenis balik menatapnya dengan tatapan agak sinis. Haidar melepaskan pegangan tangan Hanif dibahunya. "Jangan menatapnya dengan mata keranjang begitu! Lo bikin dia jadi risih tahu!. Ini Hamna, dia ini si pemilik motor mahal itu!" katanya berbisik.

Hanif yang baru mengetahuinya langsung mundur, matanya melotot. Ia menarik Haidar menjauh dari Hamna. "Heh, dari mana lo bisa dapat cewek spek begitu? Kasih tahu gue, kalau gak awas ya lo. Gue bakal kasih tahu geng semua kalau lo diam-diam berkhianat!"

"Apaan sih? Otak lo masih waras, kan? Dia itu mahasiswi bimbingan gue. Ceritanya panjang, nanti gue cerita kalau kita kumpul semua."

"Hah? Jangan ngarang cerita deh, Dar. Gue gak suka ya kalau lo bercanda."

"Gue gak bercanda. Ah sudah, nanti kita bahas lagi. Kira-kira berapa total biaya perbaikan motornya dia? Sudah beres semuanya belum?

Hamna menatap kedua laki-laki itu. Dua laki-laki yang aneh, pikirnya. Hamna tak memedulikan keduanya. Ia lebih memilih memerhatikan motornya yang tampak seperti baru. Motor kesayangan ayahnya, satu dari sekian hal yang bisa mengingatkannya pada ayah tercintanya.

"Hamna, ayo kita ke kafe sebelah sana dulu. Hanif bilang motornya belum selesai diperbaiki. Jadi, kita tunggu sebentar sambil minum kopi gimana?" ucap Haidar mengangetkan Hamna. Hamna mengangguk tanda setuju.

.......................

Mereka berjalan bersisian menyeberang jalan, dipegangnya tangan Hamna yang mungil nan hangat. Degup jantung Hamna seirama dengan suara motor dan mobil yang berlalu lalang. Tak pernah ia diperlakukan seperti ini kecuali ayahnya.

Keduanya masuk ke dalam kafe, hawa sejuk pendingin udara menyambut Hamna dan Haidar begitu mereka menjejakkan kaki di sana. Wajahnya memerah terkena sinar matahari, dahinya berkeringat, diusapnya peluh itu dengan tisu dari tasnya.

Haidar meminta Hamna untuk mencari tempat duduk sedang Haidar sendiri memesan kopi. Ia memesan dua gelas coffee latte dingin. Setelah membayarnya, ia menghampiri Hamna yang sudah duduk di sudut kafe, tempat yang tak terlalu terlihat oleh mata pengunjung lain.

Dilihatnya Hamna sedang menelepon seseorang, ia duduk di depannya, tak lama panggilan itu di akhirinya. "Siapa?"

Hamna bergeming, ia tak menjawab pertanyaan Haidar. Ia mengalihkan pandangannya ke luar. Netranya menghitung kendaraan yang lewat. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Menghabiskan waktu berdua dengan Haidar terasa begitu berat baginya.

Hening menggelayuti keduanya. Hamna masih fokus dengan lamunannya, sama sekali tak membuka suara. Haidar yang merasa sedikit bosan berusaha membunuh waktu dengan memainkan ponselnya. Hamna begitu menyukai diamnya akan tetapi Haidar sangat membenci kebisuan. Dalam hati, ia menggerutu, gemas. Tak lama pesanan mereka tiba.

"Ini kopimu, Na, kuharap kamu suka." Ia menyodorkan secangkir kopi dingin itu ke hadapan Hamna. Gadis itu menerimanya dan meminumnya pelan, rasa dingin mengaliri tenggorokannya yang kering. "Terima kasih" ucapnya.

"Kamu begitu suka dengan kopi, ya? Hampir setiap kali kulihat kamu hanya minum kopi, tidak pernah minum yang lain." tanya Haidar, sejujurnya sejak pertama bertemu dengan Hamna ia begitu penasaran dengan gadis itu.

Disentuhnya ujung cangkir kopi, lalu netranya menatap Haidar intens. "Saya lupa memberitahumu perihal mengapa saya lebih menyukai kopi dibanding teh. Kopi, meski pahitnya telak hingga ke tenggorokan, tapi rasa yang saya teguk tak berbohong sedikitpun. Pahit, itulah kenyataan yang selalu bisa saya terima dengan baik."

"Sedangkan teh, seteguk saya minum terasa manisnya gula tapi setelah tandas, getirnya baru dapat saya cerna. Itulah yang tidak saya suka darinya. Ia menipu saya dengan manisnya lalu meninggalkan getir yang tak ingin saya terima. Dan kamu, apa yang kamu suka, Pak? Kopi atau Teh?"

"Aku lebih suka kamu," batinnya.

"Kopi. Kamu tidak bertanya kenapa saya suka kopi juga?"

"Kenapa?"

"Kopi bagi saya adalah candu, sama seperti kamu" jawabnya berbisik, tetapi masih mampu didengar oleh Hamna.

Hamna termangu, ia ingin memberontak atau pergi dari tempat ini sekarang juga, ia ingin menolak tiap kata yang diucapkan Haidar. Tapi lidahnya kelu, ia tidak mampu berkata-kata. Haidar tersenyum menang melihat pipi Hamna yang merona, tersipu.

Ditengah-tengah kecanggungan itu, ponsel Hamna bersuara. Diangkatnya telepon itu, "halo?" lalu ia meninggalkan meja dan Haidar di sana. Haidar menepuk jidatnya, gadis ini, semakin lama semakin menarik.

Terpopuler

Comments

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

Jangan kasih kendor Haidar 💪

2024-11-28

0

lihat semua
Episodes
1 Pertemuan Pertama (Revisi)
2 Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)
3 Imam itu, Haidar Musyaffa Khairullah (Revisi)
4 Perempuan Luar Biasa (Revisi)
5 Laki-laki Pelindung
6 Senyum Milik Hamna
7 Haidar yang Perhatian
8 Prahara
9 Hantu Rumah Sakit
10 Menurutmu, itu Cinta?
11 Obrolan Tengah Malam
12 Kopi dan Teh
13 Tangis Duka Shafiya
14 Gundah yang Menyelimuti
15 Haidar Sakit
16 Wifey Material
17 Toko Buku
18 Jangan Membuatku Panik!
19 Buku Apa yang Kamu Suka?
20 A Gift
21 Apa Kamu Pernah Mencintai?
22 Genting
23 Takdir
24 Dokter Fatih
25 Nasi Goreng Cinta
26 Nasi Goreng Cinta 2
27 Pengkhianatan
28 Making a Breakfast
29 Menikahlah Dengan Saya
30 Pernikahan Paksa
31 Couple Ring
32 Dusta Haidar
33 My Future
34 Gombalan Haidar
35 Sesak yang Terlepas
36 Pencuri!
37 Jangan Takut, Ada Saya
38 Bukan Salahmu
39 Orang Tua Hamna
40 Duka Kesepian
41 Aku Takut Terluka
42 Tetangga Baru
43 Menjadi Dewasa
44 Good Child
45 Aku Menangkapmu!
46 El?
47 Rindu yang Tak Pernah Usang
48 Im With You
49 Sebuah Keputusan
50 El Hilang
51 Little Hamna
52 Kenang yang Mengusik
53 Amarah
54 Luka Itu...
55 WDYM
56 Berhak Bahagia
57 Masa Lalu Hamna
58 Masa Lalu Hamna 2
59 Kejujuran Haidar
60 Dia, Zayan Lathif Halim
61 Pertemuan Tak Terduga
62 Tenggelam
63 Maaf yang Tertunda
64 Usaha Berdamai
65 Awal Baru
66 Kakak Cantik
67 Gadis Yatim
68 Kemarahan Haidar
69 Lebam
70 141 Hari Mencintaimu
71 Kejutan Kecil
72 Tanpa Pamit
73 Sepucuk Surat
74 3 Tahun Merindu
75 Rindu yang Tertahan
76 Kabar Baik
77 Tak Pernah Terlupakan
78 Rasa Bersalah
79 Sebuah Penjelasan
80 Renungan Panjang
81 Cincin yang Sama
82 Jatuh Cinta Lagi
83 Yang Terpatri
84 Kaivan dan Tanaya
85 Derita Catharine
86 Menjaga Cameron
87 Kembali Ke Indonesia
88 Propose Me Properly
89 Restu Keluarga
90 Hari Pernikahan
Episodes

Updated 90 Episodes

1
Pertemuan Pertama (Revisi)
2
Namanya, Hamna Nafisa Zubair (Revisi)
3
Imam itu, Haidar Musyaffa Khairullah (Revisi)
4
Perempuan Luar Biasa (Revisi)
5
Laki-laki Pelindung
6
Senyum Milik Hamna
7
Haidar yang Perhatian
8
Prahara
9
Hantu Rumah Sakit
10
Menurutmu, itu Cinta?
11
Obrolan Tengah Malam
12
Kopi dan Teh
13
Tangis Duka Shafiya
14
Gundah yang Menyelimuti
15
Haidar Sakit
16
Wifey Material
17
Toko Buku
18
Jangan Membuatku Panik!
19
Buku Apa yang Kamu Suka?
20
A Gift
21
Apa Kamu Pernah Mencintai?
22
Genting
23
Takdir
24
Dokter Fatih
25
Nasi Goreng Cinta
26
Nasi Goreng Cinta 2
27
Pengkhianatan
28
Making a Breakfast
29
Menikahlah Dengan Saya
30
Pernikahan Paksa
31
Couple Ring
32
Dusta Haidar
33
My Future
34
Gombalan Haidar
35
Sesak yang Terlepas
36
Pencuri!
37
Jangan Takut, Ada Saya
38
Bukan Salahmu
39
Orang Tua Hamna
40
Duka Kesepian
41
Aku Takut Terluka
42
Tetangga Baru
43
Menjadi Dewasa
44
Good Child
45
Aku Menangkapmu!
46
El?
47
Rindu yang Tak Pernah Usang
48
Im With You
49
Sebuah Keputusan
50
El Hilang
51
Little Hamna
52
Kenang yang Mengusik
53
Amarah
54
Luka Itu...
55
WDYM
56
Berhak Bahagia
57
Masa Lalu Hamna
58
Masa Lalu Hamna 2
59
Kejujuran Haidar
60
Dia, Zayan Lathif Halim
61
Pertemuan Tak Terduga
62
Tenggelam
63
Maaf yang Tertunda
64
Usaha Berdamai
65
Awal Baru
66
Kakak Cantik
67
Gadis Yatim
68
Kemarahan Haidar
69
Lebam
70
141 Hari Mencintaimu
71
Kejutan Kecil
72
Tanpa Pamit
73
Sepucuk Surat
74
3 Tahun Merindu
75
Rindu yang Tertahan
76
Kabar Baik
77
Tak Pernah Terlupakan
78
Rasa Bersalah
79
Sebuah Penjelasan
80
Renungan Panjang
81
Cincin yang Sama
82
Jatuh Cinta Lagi
83
Yang Terpatri
84
Kaivan dan Tanaya
85
Derita Catharine
86
Menjaga Cameron
87
Kembali Ke Indonesia
88
Propose Me Properly
89
Restu Keluarga
90
Hari Pernikahan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!