"Kalau begitu, aku pamit pulang dulu ya," ucap Shafiya, berpamitan untuk pulang.
Hanya tersisa Hamna dan Haidar. Tadi, mereka bertiga habis mengobrol panjang lebar. Dan entah karena apa, gadis itu sekarang jadi semakin diam.
Dia dari tadi diam saja, apakah karena aku membaca surah Al-Fatihah yang menurutnya sama seperti imam yang dia sebut itu, dia jadi tak mpu berkata-kata?. Tapi, kan, memang aku imam salat zuhur itu.
Apakah dia begitu terkejut dan jadi sediam ini? Ah, kurasa, aku yang salah. Tidak seharusnya aku melakukan itu, biarkan saja dia penasaran. Ah aku ini gegabah sekali!
Tak lama, ia bangkit dari duduknya. "Eh? Kamu mau kemana?" tanya Haidar khawatir, dengan kondisinya yang terlihat lesu begitu bagaimana dia akan pulang?
"Pulang," jawab Hamna bersiap pergi. Haidar mencoba menahan lengannya. Hamna lagi-lagi menatap Haidar tajam.
Laki-laki itu melepaskan cekalannya tak rela, "Pulang dengan siapa?" tanyanya kemudian, jujur, entah karena apa mendadak Haidar jadi begitu khawatir terhadapnya.
"Sendiri."
"Kuantar pulang, ya?" Haidar menawarkan
"Tidak usah!" tolak Hamna halus.
Lihatlah, dia begitu keras kepala. Ia berlalu ke parkiran, aku mengekorinya hingga ke sana. Eh, tunggu dulu. Untuk apa dia pergi ke arah motorku?
Apakah dia tahu kalau itu motorku? Motor Harley Davidson Sportster 48 milikku memang seringkali menarik perhatian. Tidak sia-sia aku menabung untuk motor itu.
Jadi, bukankah sebenarnya dia ingin kuantar pulang? Ah dasar perempuan, sok jual mahal, bilang saja kalau malu.
"Ini pakai." Haidar menyerahkan helm pada Hamna sesaat setelah ia sampai di parkiran. Hamna tampak kaget, mungkin karena tidak menyadari kedatangan Haidar tadi.
"Eh ... apa ini?" tanya Hamna kebingungan.
"Sudah pakai saja, terus naik, saya akan antar kamu pulang," jawab Haidar percaya diri sambil menyalakan mesin motor kesayangannya itu.
"Tapi ... "
"Sudahlah, saya tahu kok kamu sebenarnya mau diantar pulang, kan? Kamu cuma malu-malu."
"Pak, sepertinya ada salah paham di sini, saya ... "
"Apa perempuan selalu begitu? Sudah, sudah ... Jangan malu, ayo saya antar saja, rumahmu di kawasan perumahan elit sebelah timur kota, kan?" ujar Haidar. Tapi tak ada sahutan.
"Eh? Mana dia? Ke mana perginya? Kok gak ada?" Haidar berbicara sendiri.
Tiba-tiba dari arah gerbang ada suara motor, seseorang itu membunyikan klakson motornya. "Maaf, Pak, tapi saya bisa pulang sendiri," kata seseorang yang menaiki motor Kawasaki Ninja type 300 berwarna merah itu.
"Sampai jumpa besok!" ujarnya lagi, setelah itu ia melajukan motornya pergi, cepat sekali.
"Tunggu dulu, itu kan ... " Haidar menajamkan penglihatannya. Takut salah lihat.
Tapi ia tidak salah lihat, orang itu adalah Hamna. Orang yang ingin ia ajak pulang tadi. "Hamna!!!" panggilnya keras, tapi terlambat, Hamna sudah melesat jauh.
Ya ampun berarti tadi aku salah duga. Kupikir ia memata-mataiku, berjalan ke arah motorku, dan sedang memainkan drama. Ternyata tadi dia ingin menaiki motornya yang sepertinya diparkir tidak jauh dari motorku.
Astaghfirullah, aku yang terlalu banyak berpikir. Soal perempuan, otakku memang dangkal sekali. Bisa-bisanya aku berpikir begitu, padahal mana mungkin gadis sepertinya memainkan drama minta diantar pulang. Haidar, Haidar.
"But cool ... Aku belum pernah melihat ada perempuan berhijab yang membawa motor sekeren itu."
......................
Jalanan di depan Haidar tampak macet, tidak seperti biasanya jalanan ini macet.
"Pak, ini ada apa ya? Kok tumben macet?" tanya Haidar kepada pengendara motor yang tak sengaja dia temui.
"Teman saya yang di depan bilang katanya ada kecelakaan."
"Kecelakaan? Kecelakaan apa?" Haidar bertanya dengan penasaran.
"Katanya, kecelakaan tunggal, seorang gadis kehilangan kendali saat mengemudikan motornya, lalu akhirnya menabrak pembatas jalan."
Apa? Seorang gadis yang menaiki motor, kehilangan kendali. Jangan-jangan itu...
"Maaf, Pak. Apa Bapak tahu ciri-cirinya? Misal warna baju yang dikenakannya? Atau tipe motornya?" kata Haidar sedikit kalut, perasaannya mendadak tidak karuan.
"Kalau pakaiannya saya tidak tahu, karena sudah bercampur darah. Tapi kalau motor teman saya bilang motornya bagus, kalau tidak salah dengar Kawasaki Ninja 300 yang edisi terbatas itu, dan warnanya merah."
Kawasaki Ninja type 300? Berwarna merah? Itu kan motor yang dibawa oleh Hamna. Tidak, tidak mungkin kan? Yang memiliki motor itu bukan hanya Hamna saja.
Tidak mungkin dia, pasti orang lain, ya, pasti orang lain. Haidar meninggalkan motornya dan berlari ke arah depan, lalu ia menerobos masuk ke arah orang-orang yang berkerumun, tempat terjadinya kecelakaan.
Kerumunan orang-orang ini banyak sekali, tapi tak ada satu pun yang bertindak cepat. Mereka ini tak ada bedanya dengan bedebah! Ada korban kecelakaan tapi hanya sibuk menonton dan merekam kejadian.
Pantas saja negara ini hanya jadi negara berkembang, karena begini kelakuan warganya. Di mana letak hati nurani mereka?
"Awas, permisi, maaf, saya mau lewat!" kata Haidar dengan kasar.
Di sana, di tepi jalan itu, ia lihat seorang perempuan terbaring di aspal. Seluruh tubuhnya sudah berlumuran darah. Pakaian yang dikenakannya, seperti yang dipakai Hamna tadi pagi. Bahkan sama persis.
Lalu, Haidar melihat ke seberang, di pembatas jalan, ada motor yang tergeletak agak jauh dari tempatnya jatuh. Sebenarnya apa yang terjadi? Tidak, saat ini aku harus memastikan lebih dulu, tidak boleh berpikiran buruk. Haidar berusaha menenangkan hatinya sendiri.
Haidar meghampiri tubuh itu, ada banyak sekali darah. Semuanya penuh darah. Kemudian ia memberanikan diri membalikkan tubuh itu, ia melepas helm yang masih terpasang di kepalanya.
Tidak. Hamna. Kenapa bisa begini? Tidak, kamu tidak boleh! seketika Haidar menjadi panik.
Hamna, ternyata kamu yang kecelakaan. Ya Allah...
Kenapa bisa begini? Sebenarnya apa yang terjadi?
"Cepat mobil! Keadaannya kritis, harus segera dibawa ke rumah sakit! Cepat!" teriak Haidar pada kerumunan itu. Lalu mengangkat tubuh Hamna yang terkulai lemas dan berlumuran darah.
Hamna, maafkan aku. Bertahanlah...
Tanpa sadar, bulir air matanya mulai menetes.
Aku... Aku akan membawamu ke rumah sakit. Kamu harus bertahan. Aku mohon. Ya Rabb ... Hamna ...
......................
DI RUMAH SAKIT
Haidar terduduk lemah di ruang tunggu. Hamna sedang ditangani oleh dokter di ruang ICU. Kepalanya terus berputar, apa yang sebenarnya terjadi pada Hamna pada saat perjalanan pulang?
Ini salahku, seharusnya aku tadi jangan membiarkannya pergi. Aku seharusnya mengantarnya pulang.
Sebuah tangan hangat menyentuh bahunya ringan. "Tenang, Nak. Dia pasti akan baik-baik saja," ia bersuara tenang.
Haidar berbalik, seorang perempuan paruh baya tengah menatapnya dengan tatapan yang meneduhkan. "Ibu ... " panggilnya lirih.
Perempuan separuh baya itu lalu duduk tepat di sebelah Haidar, ia memegang kedua tangan Haidar yang dingin karena cemas.
Hannah terus mengusap bahunya pelan, berusaha mengalirkan energi positif dan kekuatannya pada anak laki-lakinya itu.
"Bu, bagaimana kalau dia ... " Haidar tidak mampu melanjutkan ucapannya, ia justru menangis tersedu di pelukan Ibunya. Hannah mengelus kepala anaknya pelan, tangannya yang lembut berusaha mengalirkan kekuatan pada Haidar.
"Dia pasti baik-baik saja, kita perbanyak berdoa saja, ya. Insya Allah, Allah pasti menolong kita," katanya sambil tersenyum. Haidar menganggukkan kepalanya. Ia menatap mata Ibunya yang teduh itu lalu berpamitan pergi ke Musala rumah sakit. Di sana, ia mengadukan segala gundah yang bersarang di hatinya.
Sudah 45 menit lebih berlalu sejak Hamna masuk ke ruang ICU, tapi dokter belum juga memberi kepastian, bagaimana keadaan Hamna sekarang.
Dalam hati, Haidar terus berdoa. "Ya Allah. Selamatkanlah ia, sesungguhnya hanya Engkaulah tempat kami bergantung dan meminta pertolongan. Jaga ia dengan sebaik-baiknya penjagaan-Mu"
"Pak Haidar ... " seseorang memanggil namanya dengan parau. Itu Fiya, Haidar tadi memberitahunya bahwa Hamna kecelakaan.
"Bagaimana kondisinya sekarang?" tanyanya panik bercampur cemas. Haidar bahkan bisa melihat dengan jelas kecemasan yang ada di wajahnya. Bahunya tampak bergetar menahan kepedihan.
"Belum tahu, dokter masih berusaha, belum memberi kepastian. Kita hanya bisa berdoa yang terbaik," jawab Haidar tak kalah bergetarnya, ia pun sama, tak berdaya.
"Ya Tuhan ... Hamnaaaaa ... apa yang terjadi padamu, hiks ..." Fiya luruh ke lantai, bagaimana pun kejadian ini pasti mengguncang hatinya, Hamna adalah sahabatnya, tentu dia sangat terpukul saat ini.
Haidar memintanya untuk bangun, lalu memapahnya untuk duduk di kursi. Ia menangis, isak tangisnya terdengar pilu, ia berkali-kali menyeka air matanya yang tumpah sambil sesekali ia menyebut-nyebut nama Hamna.
Sebenarnya, sudah sedekat apa hubungan mereka berdua? Mereka berdua seperti sangat akrab."
Sebenarnya, Haidar meminta Fiya datang ke sini agar ia bisa membantunya memberitahu orang tuanya Hamna. Tak disangka ia justru melihat kedukaan yang begitu mendalam dari seorang Fiya, seorang gadis yang ia tahu ceria, hari ini justru tampak amat berduka.
Haidar menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan, mengusir gundahnya sendiri. "Fiya, kamu sudah memberitahu orangtuanya Hamna? Mereka harus diberitahu juga, kan?" Haidar bertanya dengan pelan, hampir berbisik. Entah Fiya dengar atau tidak. Ia masih terisak.
Ia menyeka air matanya, lalu mengembuskan napas berat. Ada jeda beberapa saat sebelum ia berbicara.
"Sebenarnya ... Hamna hanya tinggal sendirian, Pak. Di rumahnya, hanya ada pembantu, tak ada family," katanya, ia terisak lagi.
"Maksudmu?" tanya Haidar tak mengerti yang dikatakannya. Apakah maksudnya Hamna adalah yatim piatu? pikir Haidar
Fiya tampak menarik napasnya dalam. "Hamna kehilangan keluarganya sejak ia kelas 2 SMA. Kejadiannya 5 tahun yang lalu, orangtuanya dan 2 adiknya yang masih kecil akan pergi menghadiri acara penting. Di perjalanan menuju luar kota, mobil mereka mengalami kecelakaan dan semuanya meninggal di tempat ... "
" ... Tidak diketahui apa penyebab pasti kecelakaan itu, keluarganya hendak melakukan penyelidikan menyeluruh, tetapi polisi mengatakan kecelakaan terjadi karena diduga rem blong sampai kehilangan kendali. Saat itu, Hamna dan saya sedang liburan sekolah. Hamna yang mengetahui kabar keluarganya kecelakaan begitu shock dan langsung memutuskan pulang saat itu juga ... "
" ... Menerima kenyataan yang begitu menyakitkan membuat Hamna jadi begitu terpukul. Setelah pemakaman keluarganya, ia mengurung diri selama berhari-hari di dalam kamar, ia menolak untuk makan dan bertemu orang-orang bahkan kerabatnya sendiri. Saya bahkan tidak diijinkannya masuk ... "
" ... Keadaan Hamna saat itu sangat kacau dan berantakan, Hamna seperti mayat hidup, raganya ada tapi jiwanya entah menghilang ke mana. Kerabatnya yang melihat keadaannya yang begitu menyedihkan akhirnya memutuskan untuk melakukan hipnoterapi, menciptakan ingatan palsu agar Hamna tidak terus menerus terpuruk."
Ia menarik napas lagi, mengisi kekosongan udara pada paru-parunya.
"Tapi tentu saja, rasa traumanya masih ada. Hal itu membuat Hamna menjadi pendiam dan membatasi diri dari orang-orang. Dia juga, merasa begitu kesepian. Sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri akan selalu menemaninya dalam keadaan apapun. Tetapi, hari ini saya justru membuatnya jadi kecelakaan seperti ini." Air matanya mengalir lagi. Ia merasa bersalah, padahal ini bukan salahnya.
Haidar memberinya sapu tangan, "Sudah jangan menyalahkan dirimu sendiri, ini bukan sepenuhnya salahmu, semua ini adalah kehendak-Nya," kata Haidar berusaha menenangkan.
Ternyata, di balik sifat dinginnya seorang Hamna, ia menyimpan begitu banyak kesedihan. Seberapa banyak ia terluka di masa lalunya? Seberapa sering ia menitikkan air matanya di kehidupannya yang dulu?
Hamna, kamu perempuan yang begitu kuat, kamu perempuan yang luar biasa. Kamu begitu hebat, meski sudah kian kali terluka kamu tetap bisa berdiri dengan begitu tegak. Untuk seterusnya, di kehidupan masa depan, akan kupastikan tak ada lagi air mata yang jatuh di pipimu. Hanya tawa yang akan menghiasi wajah cantikmu.
"Di mana keluarga pasien?" dokter bersuara. Haidar langsung bangkit menghampirinya.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" desak Haidar tak sabar.
"Dia sudah melewati masa kritisnya," kata dokter. "Anda siapa pasien?" tanyanya lagi.
"Saya dosennya, saya yang tadi membawanya ke sini."
"Di mana keluarga pasien?"
"Dok, ada masalah di keluarganya, bisakah saya saja yang mewakili keluarganya?" ujar Haidar agak mendesak, Hamna tak punya siapa-siapa, biar aku saja yang mengurus semua hal tentang Hamna.
"Oh baik, kalau begitu, silahkan ikut ke ruangan saya. Ada hal penting yang harus saya jelaskan." Kemudian dokter itu pergi, dan Haidar pun mengikutinya di belakang.
Sesampainya di ruangan itu, dokter mempersilahkan Haidar untuk duduk. "Apa ada hal serius, Dok?" tanya Haidar begitu penasaran.
"Ya. Kepalanya terbentur dengan keras, sehingga menyebabkan ada pembengkakan di kepala bagian belakang. Selain kepala, tak ada yang terlalu serius. Sisanya hanya luka ringan, pasti akan lekas membaik jika melakukan perawatan secara rutin," kata dokter menjelaskan dengan serius.
"Lalu, Dok. Kapan kira-kira dia akan sadar?" tanya Haidar lagi. Ia sungguh ingin melihatnya sekarang.
Dokter itu menarik napas panjang.
"Itu dia hal yang ingin saya bicarakan. Kami sudah menangani pembengkakan yang ada di kepalanya, tapi tidak dapat memastikan kapan pastinya ia akan sadar. Semuanya tergantung kemauan dirinya sendiri untuk sadar. Kami hanya bisa melakukan yang terbaik," ucap dokter itu, tiba-tiba Haidar merasa seperti kehilangan sesuatu, tapi entah apa itu.
Perasaannya sekarang, terasa kosong.
Hamna... Tidak tahu kapan ia akan sadar, semuanya tergantung kemauan dirinya sendiri untuk sadar. Bukankah itu artinya dia sekarang sedang koma?
"Apa saya boleh melihatnya, Dok?"
Walau sekadar melihatnya terbaring pun tak apa. Tak ada suara ketusnya ataupun tatapan dinginnya.
"Boleh, tapi jangan lupa untuk mengenakan pakaian steril, ya, Pak. Saya juga meminta kerja samanya. Walaupun pasien sekarang ini sedang koma, tapi indra pendengaran dan perasanya tetap aktif. Saya harap, ucapan dan sebuah sentuhan bisa menimbulkan kemauannya untuk sadar," jelas dokter itu. Haidar mengangguk paham. Ia akan berusaha.
Setelahnya, Haidar pergi ke ruangan tempat di mana Hamna dirawat. Di sana, di ruangan yang luas itu, Haidar melihat ia yang terbaring lemah, ia sedang tertidur lelap. Di tangan kanannya terpasang selang infus, dan alat bantu pernapasan. Bunyi alat denyut jantung seolah jadi pengisi kesunyian di ruangan itu.
Ya Allah, Hamna... Kenapa bisa begini? Tanpa sadar, air matanya jatuh. Haidar baru mengenalnya selama sehari, tapi entah mengapa melihat Hamna terbaring begini dadanya terasa sesak sekali.
Haidar menghampiri Hamna yang sedang terlelap itu, lalu ia duduk di tepi ranjangnya, memegang tangan Hamna yang dingin. Jika dia bangun, dia pasti akan menatapku sinis dan tajam, dia benar-benar tidak suka disentuh orang, pikir Haidar, getir.
Haidar memerhatikan lama-lama wajahnya, dia yang sedang terbaring seperti ini sama persis dengan putri tidur yang ada di dongeng anak-anak. Bedanya, putri tidur akan terbangun ketika pangerannya datang. Sedangkan Hamna, ia begitu lelap walaupun ada Haidar di sampingnya.
"Hamna, ini saya, saya ... Haidar. Haidar Musyaffa Khairullah. Saya ini dosen pembimbingmu. Ayo cepat bangun, kamu kan harus membantu saya di kampus." Haidar berbicara sendiri dengan perasaan yang tersayat.
Selama beberapa saat ia tetap duduk di sana. Sampai perawat datang dan memintanya untuk keluar. Dengan berat hati ia berjalan keluar. Di luar, Fiya masih terduduk lemah.
Tak tega, Haidar memintanya pulang dan memberi tahu pembantu rumahnya Hamna agar membawakan beberapa barangnya Hamna ke sini besok.
Ia mengangguk lemah, sebenarnya dia ingin di sini, tapi kalaupun dia ada di sini akan tetap sama saja, Hamna masih tertidur. "Iya, Pak, besok saya akan ke sini lagi bersama dengan Bibi Ina. Tolong jaga Hamna dengan baik ya, Pak. Semoga dia cepat bangun," katanya sedih.
Haidar tersenyum paksa, "Iya ... semoga, hati-hati di jalan, ya," ucap Haidar lagi sambil mengantarnya pergi ke pintu keluar.
Setelah Haidar meminta semuanya pulang untuk beristirahat, ia bergegas untuk salat dan makan. Lalu akan melanjutkan tugas pentingnya menjaga Hamna.
Kamu harus baik-baik saja, Hamna. Lirihnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Waduh,
apa itu Hamna 🤔
2024-11-27
0