Hamna memaksa kedua matanya terjaga, malam ini ia harus membayar ketertinggalannya selama sebulan. Ia menumpuk berbagai buku dan dokumen-dokumen yang belum tuntas ia baca sebelumnya.
Selama masa pemulihan, yang Hamna lakukan hanyalah tidur yang cukup, makan dan sesekali membaca novel atau buku komik. Ia tidak mau membebani kepalanya dengan hal-hal yang menguras pikiran.
Dan sekarang waktunya untuk menyelesaikan tugas yang sudah ia tunda. Hamna membuka laptopnya yang berwarna putih keemasan itu, lalu memeriksa draft tugas yang sebelumnya sudah ia buat.
Matanya mendikte satu persatu files yang terpampang di layar laptopnya dengan teliti. Ia menulis ulang draft yang akan ia kerjakan secara rinci di kertas catatannya, mata dan tangannya begitu terampil dalam membaca dan menulis.
Suara ketukan pintu menghentikan kegiatannya sebentar, matanya berganti menatap ke arah pintu. "Masuk!" ucapnya tegas, seseorang yang diperintahkan masuk itu berjalan ke arahnya dengan membawa nampan berisi makanan ringan dan beberapa cangkir kopi.
"Mbak Na jangan terlalu larut ya tidurnya, bagaimanapun harus tetap perhatikan kesehatan" perempuan setengah baya itu mengingatkan, ia menata makanan ringan dan cangkir-cangkir kopi itu dengan begitu apik.
Mendengar seseorang menasihatinya dengan begitu lembut, Hamna memalingkan fokusnya ke arah perempuan itu. Ditatapnya pembantunya dengan lekat, Bibi Ina biasa ia memanggilnya, seseorang yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Selama ini, Bibi Ina yang selalu ada di sisinya, membantunya melewati hari. Menjaga rumah, memasak dan mengurus semua keperluannya. Kadang juga, perempuan itu menjadi pendengar semua keluhan dan makiannya.
Ia tersenyum singkat pada perempuan yang sudah dengan sabar menjaganya itu. "Terima kasih, Bibi Ina. Hamna cuma mau baca-baca file ini sebentar" jawabnya menjelaskan.
Setelahnya, Bibi Ina pergi dengan sopan. Gadis itu kembali lagi fokus membaca file, menulis dan mencorat-coret bukunya. Bahkan sesekali berdecak kesal ketika membaca lembaran yang tak dipahaminya.
Beberapa kali, ia berdiri mengelilingi kamar, berjalan bolak-balik seperti gasing sambil tangannya memegang buku dan pena. Lalu duduk sebentar menyesap kopi dan menikmati cemilannya.
Jika ia merasan bosan atau lelah, ia akan berbaring di kasur sembari matanya nyalang menatap langit-langit kamar yang dominan berwarna putih gading.
Ia terperanjat ketika mendengar suara dering dari teleponnya, dengan malas ia menarik tasnya yang tadi dilemparkannya secara asal. Dilihatnya siapa yang menelepon malam-malam begini. Matanya mengerjap ketika membaca nama 'Pak Haidar' tertera di sana.
Sejenak ia berpikir, "untuk apa Pak Haidar itu meneleponku di tengah malam begini?" Tapi pada akhirnya ia memutuskan menerima telepon itu. "Assalamualaikum, halo? Hamna, kamu, sudah tidur? Saya mau mengobrol sebentar boleh?" terdengar suara serak di seberang telepon.
"Wa'alaikumussalam, belum Pak. Kalau saya sudah tidur saya tidak akan menjawab telepon Pak Haidar sekarang ini. Mau mengobrol apa?" Hamna terduduk, ia membenarkan anak rambutnya yang berkeliaran di sekitar dahi. Tangannya terulur ke laci mengambil kuncir rambut.
Sedang di seberang telepon, Haidar sedang berbaring gusar. Ia sudah memejamkan mata satu jam yang lalu, tapi kantuknya tak kunjung datang. Insomnia adalah hal yang sering terjadi pada Haidar. Biasanya, ia akan menelepon seseorang untuk mengobrol dengannya agar ia merasa bosan lalu terlelap tanpa sadar.
Deru napasnya teratur. Ia berguling ke samping, memeluk bantalnya erat. Membayangkan jika yang dipeluknya itu adalah Hamna. Pikirannya mulai gila. "Kamu sedang apa, Na?" tanyanya sambil menyembunyikan senyum.
Jujur saja, ia mulai candu untuk terus mengobrol dengan Hamna. Sekalipun ia tahu sekarang Hamna pasti sedang mengerjakan tugasnya, ia tetap bertanya hal yang sudah tahu jawabannya apa.
"Mengerjakan tugas dan mendengarkan seseorang mengganggu saya di tengah malam, Pak" jawab Hamna di seberang. Haidar sudah menduga jawaban yang akan didengarnya itu. Bukannya kesal, ia justru menutup mulutnya menahan tawa. Ia rasa, menggoda Hamna akan menjadi kegemaran barunya.
"Halo, Pak? Anda sudah tertidur? Kalau tidak ada yang penting akan saya tutup teleponnya. Saya masih ada pekerjaan." Mendengarnya, Haidar yang semula menahan tawa langsung beranjak duduk.
"Eh tunggu, tunggu, tunggu dulu! Apa ada yang susah? Atau yang tidak kamu mengerti? Biar saya bantu. Bagaimana pun kamu 'kan mahasiswi bimbingan saya. Saya harus bertanggung jawab membantu kamu" Ucapnya sedikit panik.
"Gadis ini memang benar-benar tidak bisa diajak basa-basi" batinnya.
Haidar menggerutu dalam hati, kakinya menjejak lantai, melangkah ke arah mejanya. Mengambil buku dan pena yang tergeletak di sana. Ia melemparkannya ke kasur dengan asal. Lalu berjalan ke arah dapurnya untuk mengambil secangkir kopi. Sudah diniatkannya akan bergadang malam ini dengan Hamna. Segaris senyum menghiasi wajahnya yang tampan.
"Tidak, saya bisa sendiri" jawab Hamna. Sekarang dia sudah duduk di mejanya, kembali membaca dokumen yang tadi sempat diacuhkannya. Sambil tangannya yang satu memegang teleponnya. Ia mengambil earphone dan memasangkannya di kedua telinganya. Sehingga tangannya leluasa untuk mengetik kata satu persatu. Menyusun kalimat dengan rapi.
"Hei, saya tahu Hamna adalah mahasiswi yang cerdas dan tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugasnya, tapi tidak boleh mengabaikan kebaikan orang lain, lho. Jarang-jarang seorang dosen menawarkan jasa eksklusif di tengah malam begini." kata Haidar tersenyum puas, tangannya yang kanan mengaduk-aduk kopinya pelan.
Hamna tampak menahan kekesalannya sekarang ini, "menawarkan jasa ekslusif apanya? Yang ada dosen itu menggangguku! Cih! Menyebalkan!" gerutunya dalam hati.
"Kalau begitu mohon bantuannya, ya, Pak Haidar" jawabnya pada akhirnya, terpaksa. "Kalau dipikir-pikir, ada bagusnya juga meminta bantuannya," lirih Hamna. Ia membuka buku catatannya, mulutnya mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya tidak ia mengerti.
Di seberang telepon, Haidar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan senang hati. Sambil sesekali ia tersenyum. Sampai tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Obrolan yang terasa singkat sekali. Haidar berharap obrolannya bisa berlangsung lebih lama. Tapi ia tahu, Hamna pasti lelah dan sudah mengantuk.
Baik Hamna ataupun Haidar sama-sama merebahkan dirinya di kasur masing-masing. Hamna begitu puas setelah bertanya banyak hal. Akhirnya ia tidak perlu repot-repot membaca buku atau melakukan penelusuran online demi menjawab ketidaktahuannya itu.
Sedangkan Haidar merasa bahagia bisa membantu Hamna. Sejujurnya, ia bahagia karena bisa mengobrol panjang lebar dengan Hamna.
"Terima kasih, Pak sudah banyak membantu. Maaf kalau ternyata mengganggu waktu tidur Pak Haidar, saya terlalu antusias sampai lupa waktu" ucap Hamna, ia benar-benar tidak memerhatikan jam.
Di seberang telepon, Haidar tertawa singkat. "Tidak perlu sungkan, sudah kewajiban saya membantu. Oh ya, Hamna. Saya juga ada satu pertanyaan."
"Apa itu?" tanya Hamna berikutnya. Matanya sudah mengantuk, ia sudah menguap berkali-kali.
"Bukan hal besar, sih. Saya cuma penasaran saja. Ini soal sepasang kekasih dan kakek nenek di taman tadi siang. Saya cuma mau tahu sudut pandangmu. Kenapa kamu bilang sepasang kekasih itu sama sekali tidak menarik perhatian kamu? Padahal saya lihat mereka itu pasangan yang romantis, lho. Tapi kamu justru tertarik dengan sepasang kakek nenek yang sudah tua itu."
Hamna mengingat kembali kejadian tadi siang ketika ia pergi ke taman kota bersama Haidar. Yang dimaksud Haidar pasti ketika ia mengatakan dengan sarkas pasangan kekasih itu tidak menarik dan lebih tersentuh dengan kakek nenek yang sedang duduk berdua. Hamna bahkan memuji kakek nenek itu adalah pasangan yang romantis.
Memang pantas disebut dosen muda, ternyata Haidar orang yang sangat teliti. Padahal sudah jelas ia katakan ia tidak iri pada pasangan muda yang mengumbar keromantisannya di depan umum. Ia lebih kagum pada kakek nenek yang meskipun sudah tua, tapi perasaan keduanya terasa hangat dan nyata. Tapi ia masih menanyakan pendapatnya.
"Oh soal itu. Bukan apa-apa, Pak. Saya cuma merasa pasangan muda itu seperti baru saja menjalin hubungan, makanya dengan terang-terangan bermesraan. Saya perkirakan, setelah dua atau tiga bulan kemudian, perasaan mereka akan luntur karena merasa bosan, lalu keduanya saling memutuskan hubungan. Hubungan seperti itu, apa menariknya?" jelas Hamna.
"Jadi, kamu bukannya iri?" tanya Haidar lagi. Hamna menyesap kopinya di cangkir yang ketiga. Ia menjawab dengan santai. "Tidak, untuk apa saya iri?"
"Lalu, dengan kakek nenek itu, saya ingat kalau kamu bilang mereka romantis. Kenapa begitu? Padahal kalau saya lihat, mereka itu cuma pegangan tangan, lho" lagi, Haidar bersuara lagi, sepertinya Haidar tidak akan berhenti sampai rasa penasarannya hilang.
Hamna menarik napas pelan, "aih kenapa juga aku harus menjawab rasa penasaran orang lain?" batinnya meronta geram.
"Pak, matamu dan mata saya berbeda, tentu penilaian kita juga berbeda. Apa yang Pak Haidar lihat tidak sama dengan apa yang saya pikirkan"
"Kalau begitu apa yang kamu pikirkan? Jangan bilang kamu sedang memikirkan saya." Kata Haidar dengan bangga.
"Sampai saat itu saya pasti sudah gila. Kenapa dosen ini narsis sekali?" batin Hamna.
"Ya ... saya hanya berpikir, kedua kakek nenek itu pasti sudah hidup bersama untuk waktu yang lama. Melihat mereka masih begitu hangat satu sama lain saya akan mengira mereka pasti menjaga perasaan dan kepercayaan mereka dengan sungguh-sungguh. Itu yang membuat saya kagum. Meski wajah mereka sudah menua ditelan usia tapi mereka tetap setia pada satu wajah saja. Bagi saya, tak ada yang lebih menarik dari itu" jelas Hamna tuntas.
"Wah, pemikiran kamu ternyata begitu detail, ya. Memang cocok jadi asisten saya. Saya sudah agak mengantuk nih, Na. Saya tidur duluan ya. Selamat malam" pamit Haidar.
"Iya, Pak. Selamat tidur." Setelahnya Hamna mematikan teleponnya dengan segera, ia takut kalau Haidar bersuara lagi. Ia melepaskan earphone-nya, dan merapikan pekerjaannya tadi. Lalu ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Kedua anak manusia itu pun terlelap dalam mimpi masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments