Pov Arfan
Setelah keluar dari parkiran kantor, aku melajukan mobilku menuju ke arah rumah Ibu. menyusuri jalanan yang padat merayap, penuh dengan mobil mobil orang yang baru pulang kantor.
Pukul 18.30, dengan penuh perjuangan akhirnya aku sampai di salah satu rumah yang nampak Asri. karena tidak ada lahan kosong yang luput dari tanaman bunga dan tanaman tumbuhan obat.
"Assalamualaikum!" ucapku sebelum memasuki rumah. walau di ruang tamu tidak ada siapa-siapa, aku selalu mengucapkan salam, karena ini adalah salah satu ajaran kedua orang tuaku. kemudian aku masuk kedalam mencari ibu yang mungkin masih berada di kamarnya.
"Ibu di mana Bi?" Tanyaku basa-basi sama ART yang sedang menyetrika di ruang tv.
"Biasa Kalau sebelum isya, ibu belum keluar!" jelas art. Tanpa menghentikan pekerjaannya.
Aku terus melangkahkan kakiku menuju salah satu kamar terbesar yang ada di rumah ibu. kamar yang berada di lantai dasar, sehingga dengan cepat aku sudah berdiri di hadapan pintunya.
"Assalamualaikum!" ucapku sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam, masuk!" seru Ibu dari dalam kamar.
Aku memutar handle pintu, lalu masuk ke dalam kamar mengikuti perintah ibu.
"Ada apa? kok ibu menyuruhku ke sini?" Aku bertanya setelah duduk di hadapannya. karena aku merasa heran, tidak seperti biasanya Ibu menelepon untuk menemuinya.
"Kemarin Ibu telepon, tapi HP kamu langsung nggak aktif!" ujar wanita yang masih duduk di Atas Sajadah, lengkap dengan mukenanya.
"Maaf! kemarin handphoneku ke habisan baterai, tadinya aku hendak nelpon balik, namun Aku lupa!" jawabku cengengesan, sembari menundukkan pandangan malu dengan tingkahku.
Kejadian kemarin sore. ketika aku mengetahui bahwa Erni melakukan suntik KB. setelah meminjam chargernya, aku lupa, untuk menghubungi orang yang meneleponku.
"Kebiasaaaaan!" Ketus ibu.
"Maafin Arfan, Bu! Arfan benar-benar lupa!"
"Ya sudah. sana mandi dulu! nanti kita makan malam bareng." seru Ibu sambil kembali memejamkan matanya, membaca zikir-zikir yang sudah Biasa beliau lakukan.
Seusai mandi, aku pun dipanggil ibu kembali untuk mengajakku salat berjamaah. rasanya agak males, karena aku jarang melakukan hal itu. Aku salat hanya ketika main di rumah Ibu. karena kalau tidak melaksanakan kewajibanku seorang sebagai muslim, ibu akan mengomeliku sampai ludahnya mengering.
Selesai melaksanakan salat berjamaah, aku dan ibu duduk berhadapan di kursi makan.
"Ayo makan!" tawar Ibu sembari mengambil piring yang ada di hadapanku, untuk diisinya dengan nasi.
"Nggak, Bu! Arfan nemenin ibu saja, di sini. Kalau aku makan di sini nanti kasihan Erni, yang sudah menungguku di rumah." tolaku dengan lembut, takut menyinggung perasaan.
"Manja banget Si Erni! makan aja harus pakai ditemenin segala! Bisa kali dia makan sendiri." Ketus Ibu seperti biasa ketika aku beralasan Dengan menyebut nama istriku. Ibu tak menghiraukan penolakanku. beliau melanjutkan mengisi piringku dengan nasi, yang sempat tertunda karena penolakanku.
"Bukan begitu Bu, aku selalu menanamkan dalam Rumah tanggaku, kalau tidak bisa berjamaah dalam kebaikan, Minimal kita bisa makan berjamaah bareng keluarga." sanggahku memberi pengertian agar ibu tidak salah paham.
"Sejak kapan, kamu tidak menganggap ibumu keluarga?" Tanya Ibu sambil terus mengisi piringku dengan lauk pauknya.
"Salah lagi, deh!" gumamku dalam hati, berebut pendapat sama beliau, sama saja membuang waktu. karena aku tidak akan pernah menang berdebat dengannya. aku hanya menarik nafas pelan, lalu mengambil piring yang sudah terisi penuh dengan nasi dan lauk pauknya, yang diberikan oleh ibu.
Sebelum makan seperti biasa Ibu menyuruhku untuk memimpin doa, selesai berdoa barulah kita berdua menyantap makan nasi, di waktu malam itu.
Setelah selesai menyantap makan malam, aku diajak ibu masuk ke kamarnya. menandakan, ada masalah serius yang ingin dia bicarakan. sehingga orang lain tidak boleh ada yang mendengar. aku sebagai anak yang baik dan penurut, hanya mengikuti saja tak berani membantah.
Sesampainya di dalam kamar, Ibu menyuruh Mengunci pintu Kemudian menyuruhku duduk di kursi sofa. yang beliau siapkan, untuk duduk sambil membaca Alquran atau membaca buku. atau sekedar bersantai ketika ada sahabat-sahabat terdekatnya, datang berkunjung.
"Ada apa sih, Bu? kayaknya serius banget?" Tanyaku sambil menatap ke arah ibu.
"Kemarin Ibu diundang acara seminar untuk jadi pembicara! ( bagaimana caranya uang yang bekerja, untuk kita!) " Ibu mulai membahas pokok permasalahan, memang benar selain jadi pengusaha, Ibu juga sering berbagi ilmu dengan pengusaha-pengusaha lainnya. agar mereka terus giat dalam bekerja, karena menurut Ibu, sukses itu bukan hanya buat yang muda.
"Terus apa hubungannya dengan ibu mengundangku ke sini?" Tanyaku yang masih belum mengerti.
"Makanya dengerin dulu! kalau orang lagi berbicara, itu! Masa kamu lupa tentang Ajaran bapak, yang paling penting dalam hidup. kamu tidak boleh menyela obrolan orang, apalagi kalau kamu tidak disuruh untuk memberi pendapat." nasehat Ibu mengingatkan. Beginilah kalau berbicara sama orang tua. nasehat, nasehat, dan nasehat. karena menurut mereka para orang tua. Sedewasa apapun kita, mereka masih menganggap anaknya seperti bayi mungil, yang butuh kasih sayang dan perhatian.
"Maaf, Bu!" ucapku sambil menundukkan pandangan, menahan rasa malu.
"Tapi Ibu, sebelum berbicara, ibu mau minta maaf terlebih dahulu sama kamu. Kamu yang sabar dan harus kuat!" ujar Ibu, membuatku mengerenyitkan dahi. semakin tak mengerti dengan apa yang akan beliau sampaikan. aku hanya diam menunggu Ibu melanjutkan pembicaraan.
"Kok, kamu diam?" tanya ibu sambil menatap Aneh ke arahku.
"Iya Bu. Kan, lagi nyimak! Nanti kena Semprot lagi." mendapat jawaban seperti itu Ibu, hanya menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan pelan.
"Setelah Ibu selesai mengisi acara itu. sebelum dilanjutkan dengan acara makan-makan. Ibu ingin ke toilet terlebih dahulu. namun alangkah kagetnya ibu, ketika melihat Erni, istrimu. sedang bergandengan tangan, dengan pria lain. menuju salah satu elevator, untuk naik ke lantai paling atas. karena aula seminar itu, berada di lantai kedua dari atas.
"Ibu hendak mengikutinya, namun kalah cepat. pintu elevator itu keburu tertutup, sebelum Ibu sempat melabrak mereka. Ibu berusaha sebisa mungkin. agar ibu bisa cepat naik ke lantai atas. sampai Ibu bertanya sama satpam, Di mana letak tangga darurat. namun satpam itu malah menyarankan agar ibu menunggu elevator saja. mungkin mereka merasa kasihan melihat kondisi ibu yang sudah tua.
Setelah lama menunggu. akhirnya Ibu bisa naik ke lantai atas, Namun sayang Ibu sudah kehilangan jejak mereka." Ibu menuturkan penemuannya.
Aku hanya memalingkan wajah, tak mau menatap ibu yang terlalu mengada-ngada, Mana mungkin Erni pergi ke hotel, sedangkan kemarin dia suntik KB. di rumah sakit. Tapi aku tidak mungkin menceritakan tentang Erni melakukan suntik KB. kepada ibu, bisa-bisa perang dunia ke-4 terjadi.
"Kenapa kamu diam, Apa kamu senang istrimu berjalan dengan laki-laki lain?" tanya ibu seperti memojokkanku.
"Sudahlah, Bu! aku tahu ibu nggak suka sama Erni, Tapi mohon! jangan pernah fitnah istriku, Dengan keji seperti itu." ungkapku sambil menatap nanar orang yang sudah merawatku sampai sebelum menikah.
"Ya Allah. Arfaaaaaaaan! kamu kira Ibu ngomong seperti tadi itu hanya bualan belaka? kalau Ibu tidak sayang sama kamu, Dan kalau kamu bukan anak ibu. ibu tidak akan membicarakan hal memalukan kelakuan istrimu. ibu takut Suatu saat nanti kamu menyesal." seloroh ibu sambil menggeleng-geleng kepala, entah apa beliau melakukan seperti itu.
"Kalau Ibu mau menjelek-jelekkan istri saya! mending ibu nggak usah undang Arpan, untuk datang ke sini." Gerutuku sambil bangkit, karena takut terbawa emosi.
"Duduk! ibu belum selesai bicara. Kamu mulai tidak sopan sama ibu." seru Ibu terlihat matanya sudah mengembun, Mungkin dia merasa sedih karena Ibu tidak berhasil mempengaruhi ku.
"Mau apa lagi, Bu?" aku bertanya sambil menjatuhkan kembali tubuhku, Ke atas sofa yang berada di hadapan ibu.
"Kamu harus percaya! Dengan apa yang Ibu ucapkan, ibu takut nanti kamu menyesal!"
"Menyesal kenapa, Bu? justru Arfan sangat menyesalkan sikap ibu, yang seperti anak kecil. kalau beneran Erni masuk ke dalam hotel, Tolong kasih bukti! supaya Arfan percaya dengan ucapan ibu!" pintaku sambil menatap serius Wajah Ibu yang sudah terlihat berkerut.
Sekarang giliran ibu yang terdiam, mungkin beliau lagi berpikir, mengarang cerita kembali. agar dia bisa menghasutku agar aku berpisah, dengan istri yang sangat aku cintai. Dengan kelakuannya yang seperti ini, aku yakin ibu ingin melihatku hancur.
"Kenapa diam Bu? bener kan, Ibu hanya benci sama Erni. Padahal selama yang aku tahu, Erni selalu baik sama ibu, dia selalu sopan dan memperlakukan Ibu, selayaknya ibu kandungnya sendiri." ungkap ku mempertegas pertanyaan.
"Untuk sekarang, ibu belum bisa membuktikan. namun suatu saat kamu akan mengakui apa yang disampaikan oleh ibu, itu benar adanya." ungkap ibu.
"Jangan mendoakan keluarga anakmu, dengan hal buruk seperti itu. dan ingat ketika nanti Erni melakukan seperti yang ibu tuduhkan. maka orang yang pertama aku salahkan, adalah ibu. karena Ibu sudah tega mendoakan keluarga anaknya hancur!" ujarku sambil bangkit berdiri, lalu berjalan menuju ke arah pintu. tak ada penolakan lagi dari ibu, dia hanya terduduk diam sambil mengeluarkan air mata.
"Maafkan aku ibu! maafkan Arfan yang tidak bisa membuatmu bahagia. Arfan hanya nggak mau kalau ibu terlalu ikut campur jauh ke dalam Rumah tanggaku. aku sudah dewasa, aku sudah bisa menentukan arah dan tujuan hidupku." gumamku sambil terus berjalan untuk segera pulang ke rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments