Padahal kami baru saja sampai, tapi Chandra dan Sarah sudah memisahkan diri. Meninggalkanku berdua bersama Amanda tanpa memberi penjelasan apapun.
Di salah satu sudut taman hiburan ini, aku duduk bersama Amanda di bangku di sebelah tiang lampu. Aku tidak mengerti, karena sejak berangkat dari rumahnya, dia cuma diam. Kalau diajak bicara, hanya senyum-senyum dan angguk-angguk saja. Keherananku semakin bertambah, karena sedari tadi, dia terus menunduk.
Ketika kutanya ada apa, dia hanya menggeleng dan sesekali melirikku. Mukanya merah sekali, dan sempat kukira dia sakit. Tapi setelah kupastikan sendiri, dia tidak apa-apa. Aku berpikir, apakah mungkin Amanda termasuk orang yang tidak suka berada di tengah keramaian, sehingga membuatnya jadi tertekan.
Gemuruh dan teriakan dari belakangku menggema ke seluruh penjuru ketika roller coaster mencapai turunan dan melesat dengan cepat sekali. Aku sebenarnya ingin mengajak Amanda naik itu, tapi dengan kondisinya sekarang ... aku tidak yakin.
“Kau mau mencoba sesuatu, Nda?” Tanyaku.
Ada jeda yang cukup lama sampai akhirnya dia angkat bicara. Itu pun terdengar lirih hingga aku hampir tidak mendengarnya sama sekali. “Tidak. A-Aku mau di sini saja.”
“Tidak apa-apa, Nda. Aku temani, kok.”
Kali ini di menggeleng.
Melihat dia seperti itu, membuatku pasrah. Kusandarkan punggungku ke sandaran bangku dan menghela napas seraya memandang langit cerah di atas. Kurasa kami mengajak dia tidak di saat yang tepat. Tapi ya sudahlah, sepertinya liburanku hanya akan menjadi hari menemani Amanda.
“Nda, tunggu sebentar, ya? Aku mau pergi dulu. Tunggu di sini.” Aku mau beli minum, aku haus.
Aku langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Amanda. Tapi setelah aku menjauh pun, tidak ada usaha darinya untuk menghentikanku jadi kurasa tidak akan apa-apa.
“Di mana, ya?”
Aku sudah berjalan cukup jauh, tapi aku tidak kunjung juga menemukan penjual apapun. Karena sudah tidak tahu lagi, aku mencoba bertanya pada seorang petugas kebersihan yang tengah menyapu. Beliau bilang kalau penjual minuman ada di dekat bianglala.
Untunglah tempatnya tidak jauh dari aku berada. Di salah satu sudut di area bianglala, aku melihat stan yang menjual makanan kecil dan tentu saja, air minum. Setelah selesai membeli dua botol air mineral, aku langsung kembali meski aku sempat berniat untuk menghubungi Sarah dan Chandra lebih dulu karena kami sudah terpisah cukup lama. Juga dengan kehadiran mereka, kupikir Amanda akan sedikit tergugah untuk bersenang-senang.
Namun, dari kejauhan, aku mendapati seorang remaja laki-laki yang berdiri di hadapan Amanda. Mereka terlihat membicarakan sesuatu, dan kuputuskan untuk berhenti sejenak dan memperhatikan.
Kuperhatikan dari cara mereka berbicara, sepertinya mereka saling mengenal. Maksudku, Amanda tampak tidak ragu menghadapai orang itu, juga sebaliknya. Tapi entah apa alasannya, Amanda terlihat tidak suka dengan kehadirannya. Bahkan sekarang, mereka justru terlihat berdebat sengit.
Amanda lantas berdiri. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi di antara mereka tapi Amanda terlihat kehabisan kesabaran kepada orang yang tampak memohon padanya itu. Bahkan ketika sosok asing itu mencoba meraih tangannya, Amanda langsung menghempaskannya.
Situasi di antara mereka semakin memanas, dan aku punya firasat akan ada hal buruk yang terjadi jika aku tidak melakukan sesuatu. Kuputuskan untuk mendekati mereka, walau aku sadar tidak punya hak mencampuri urusan mereka berdua.
“Ada apa ini?” Tanyaku tepat ketika aku tiba di hadapan mereka.
Mungkin karena terkejut dengan kehadiranku, mereka langsung diam dan menatapku.
“Kenapa, Nda?” Tanyaku pada Amanda.
Alih-alih memberi jawaban, dia justru bersembunyi dibelakangku.
“Pergilah! Enyalah dari hadapanku!” Pekik Amanda pada orang itu.
Namun orang itu malah mencoba menyingkirkanku dari jalannya dengan menarik kasar kerah kemejaku. Kudorong dia menjauh, dan tampaklah picingan mata berang yang tertuju kepadaku.
“Minggirlah, bukan urusanmu,” pintanya.
“Jelaskan dulu apa yang terjadi di sini padaku,” sahutku.
Lagi-lagi dia melakukan hal yang sama seperti sebelumnya hanya untuk kudorong menjauh kembali. Padahal aku berniat baik-baik, tapi sikapnya padaku membuatku juga berharap dia segera pergi dari sini.
“Pergilah! Bawa muka busukmu itu menjauh dari sini!” Amanda kembali berteriak.
“Memangnya siapa dia, Nda?!” Tanyanya pada Amanda seraya menunjukku.
“Aku pacarnya, memangnya kenapa?” Sergahku.
Dia tersentak dan menatapku dengan matanya yang membelalak. Cukup lama aku dan dia saling memandang, hingga dengan alasan yang tidak kuketahui, dia pergi meninggalkan aku dan Amanda dengan wajah berhias kekecewaan tanpa sepatah kata pun.
Masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi barusan, aku berbalik, dan tertegun melihat Amanda tertunduk bercucuran air mata. Apakah sebegitu parahnya orang tadi menyakiti hatinya hingga dia membencinya sampai seperti ini? Entah mengapa, aku jadi menyesal karena tidak melayangkan pukulan ke wajah manusia busuk itu.
***
Setelah kejadian tidak mengenakkan itu, kupikir liburan kami semua akan berantakan karena Amanda yang tidak mau diajak bersenang-senang setelah kehilangan suasana hati yang baik. Beruntung ada Sarah yang berhasil membujuk dan menyemangatinya kembali jadinya liburan kami tidak batal.
Kami memutuskan untuk kembali begitu tengah hari, walau sebenarnya masih ingin diteruskan dengan pergi ke tempat lain sampai sore namun tidak jadi karena cuaca mendadak mendung. Setelah berpisah dari Sarah dan Chandra, aku meneruskan perjalanan pulang bersama Amanda.
Niatku mengantar dia sampai ke rumahnya, tapi sayangnya, hujan lebih dulu turun. Lumayan deras, memaksa kami untuk berteduh di sebuah pos ronda malam di pinggir jalan dekat lapangan voli.
Aku dan dia hanya duduk dalam diam, karena aku sendiri memang tidak punya sesuatu untuk dibicarakan. Aku dipojok menghadapnya, dan dia di sudut satunya menghadap ke depan. Lagian, aku juga tidak mau mengganggunya karena dia masih tampak murung sejak meninggalkan taman hiburan itu. Kupikir membiarkannya akan lebih baik untuknya.
“Terima kasih, ya, sudah menolongku tadi,” akhirnya dia mengucapkan sesuatu setelah lama membisu, meski pelan.
Mendengarnya melegakan. “Tidak perlu, Nda. Aku tidak melakukan apapun.”
“Tapi kalau bukan karena kau, hal buruk pasti sudah terjadi padaku.”
“Ya sudahlah, Nda. Tidak usah dipikirkan. Yang penting kan kau baik-baik saja.”
Senyum tipis terlihat di bibirnya. Lalu dia menolehku sebentar sebelum menunduk lagi. Aku senang dia sudah kembali seperti sedia kala.
“Kau, pernah berkelahi, Di?” Tanyanya, membuatku mengerdip kaget. Kenapa dia bertanya begitu?
“Aku? Pernah. Memangnya kenapa?” Aku bertanya balik.
“B-Benarkah?” Mungkin karena penasaran, dia mulai berani menatapku langsung.
“Ya. Sudah lama, sih ... waktu aku masih SMP dulu.” Kualihkan perhatianku ke hujan yang turun dengan derasnya. “Kejadiannya sama persis seperti tadi, ada murid yang mengganggu teman sekelasku, namun saat kucoba melerai, pengganggu itu malah memukulku.
“Akhirnya ya ... bisa kau tebak. Aku berkelahi. Meski bisa dikatakan aku menang, tetap saja aku babak belur dan kacamataku sampai pecah. Yang parahnya lagi, aku diskors selama satu minggu dan ayahku yang kebetulan sedang berada di rumah memarahiku habis-habisan setelah dipanggil ke sekolah dan menerima laporan tentang perbuatanku dari wali kelas.”
Amanda tertawa, tapi berusaha dia tahan dengan membekap mulutnya. Sejujurnya itu agak membuatku malu, tapi melihatnya terhibur membuatku lega.
“Sepertinya kalau aku tadi dipukuli sampai babak belur, kau bakalan menertawaiku,” sindirku sambil ikut tertawa.
Maksudku bercanda, tapi dia malah cemberut. “Aku ini punya hati, tahu!” Sergahnya.
“Aku kan hanya bercanda, Nda.”
“Habisnya, kau bicara seolah aku ini orang yang hobi berdansa di atas penderitaan orang lain. Bercandaanmu itu jahat, tahu!”
Amanda melipat kedua tangannya di dada dan memalingkan wajahnya yang masam. Perubahan sikapnya yang begitu cepat membuatku hampir tertawa lepas, tapi sebisa mungkin kutahan karena kalau kulakukan dia akan tambah marah nanti.
Selagi dia merajuk, aku teringat kembali dengan orang yang bertengkar dengannya tadi. Aku penasaran dan ingin bertanya soal itu tapi aku ragu karena sepertinya Amanda benar-benar benci padanya. Ah, tapi kalau aku menanyakannya dengan baik-baik, kurasa dia tidak akan keberatan.
“Orang yang tadi itu, siapa, Nda?”
Amanda hanya bergeming. Cukup lama. Aku tidak tahu bagaimana dia menanggapinya karena dia tidak menatapku sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya. Detik demi detik berlalu, dan tidak kunjung ada tanda-tanda dia akan memberikan jawaban.
Ya sudahlah, mungkin dia memang tidak akan pernah mau membicarakannya.
“Dia ... mantan pacarku,” sebuah jawaban yang tidak pernah kusangka-sangka.
Selama ini, aku selalu menganggapnya sebagai gadis yang bisa dikatakan sempurna, sehingga membuatku otomatis berpikir kalau kehidupan romansanya selalu indah. Sungguh, aku hampir tidak bisa mempercayai fakta bahwa ternyata dia punya pengalaman tidak mengenakkan dalam urusan cinta.
“Aku benci dia,” tandasnya kemudian.
“Kenapa?” Tanyaku. Aku sadar tidak baik melakukan ini tapi aku sudah terlanjur masuk terlalu dalam jadi sayang jika aku berhenti sekarang.
“Karena dia mengkhianatiku dengan berpaling kepada gadis lain tanpa sepengetahuanku. Lantas setelah bertahun-tahun kemudian, dia bertemu lagi denganku dan memohon agar aku mau menerimanya lagi. Brengsek, kan?” Ujarnya dengan nada yang meninggi.
Ah, begitu rupanya. Dimanfaatkan lalu dibuang dan diolah lagi hanya untuk dimanfaatkan dan dibuang kembali. Tidak heran Amanda menyebutnya sebagai wajah busuk.
“Tapi tidak apa-apa, Nda. Aku yakin suatu saat nanti kau akan dipertemukan dengan orang yang lebih baik,” ucapku bermaksud menyemangatinya.
Lantas dia menolehku, sekilas, memperlihatkan senyum canggung yang entah mengapa terasa manis di mataku. “T-Terima kasih.”
Aku tersenyum juga sambil geleng-geleng. Maksudku, aku tidak habis pikir ternyata ada orang yang menyia-nyiakan gadis sebaik Amanda begitu saja. Seandainya aku ada di posisi mantan pacarnya itu, apapun yang terjadi, akan kupertahankan dan kujaga dia mati-matian.
“Oh ya, Nda,” hampir saja aku melupakan sesuatu untuk dikatakan. “Maaf ya, karena aku sudah mengaku-ngaku sebagai pacarmu tadi.”
“Ah, tidak apa-apa, kok,” balasnya diiringi kekehan dan gelengan kecil. Sebetulnya dia mengatakan sesuatu yang lain, tapi terlalu pelan ditambah suara gemuruh hujan sehingga aku tidak mendengarnya.
“Kau barusan bilang apa, Nda?” Tanyaku memastikan.
Sontak dia memandangku dan menggoyangkan kedua tangannya sebagai tanda tidak ada apa-apa. Mukanya merah dan kelihatan panik. “A-Ah, tidak, kok. Tidak ada!” Balasnya cepat. “A-Aku cuma sedang menghafal mantera sihir! Ya ... ehh ... sihir!”
“Sihir?” Bahkan aku sampai mengernyitkan alis karena gagal memahami ucapannya sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁
like
2020-11-17
1
Helvina Intan
mantra sihir...
wuss... wuss... tolong sihir kk author supaya bikin amanda jadi lebih berani..
keep writing kk
2019-09-25
0