Padahal aku ingin tiduran lagi di kelas sebelum pelajaran mulai setelah aku mengembalikan sapu yang kupinjam dari kelas sebelah, tapi aku malah direpotkan dengan titipan sebuah buku panduan belajar bahasa Inggris yang dipinjam temanku dari guru mata pelajaran itu untuk dikembalikan kepada yang punya. Huh, mentang-mentang dia melihatku keluar dari kelas, main asal titip-titip saja.
Berdasarkan info yang kudapat dari beberapa siswa-siswi kelas sebelah yang kutanyai saat aku mengembalikan sapu milik mereka, katanya beliau ada di tata usaha dan ke sanalah aku berjalan sekarang. “Dasar sial!” Aku menggerutu. Yang membuatku makin sebal adalah, dia berada di lantai bawah, dan aku pun harus naik turun tangga jadinya. Apes banget, sih?
Akhirnya, aku tiba di tempat tujuanku dan langsung saja kutemui guruku tersebut yang sedang asyik minum kopi sambil makan pisang goreng dengan seorang staf pria di situ. Budi, nama guruku itu, tersenyum secerah kepala botaknya ketika buku itu sampai di tangannya lagi dan setelah sesi tanya jawab singkat seputar kabarku di hari ini, aku pun pamit kembali ke kelas.
Baru saja aku lepas dari rasa kesalku, aku jadi makin jengkel saat seseorang tiba-tiba menabrakku di langkah pertamaku keluar dari tata usaha yang membuatku nyaris jatuh. Astaga! Apakah dia jalan sambil tidur?
“A-Ah, maafkan aku. Aku tidak sengaja,” katanya memohon padaku.
Maaf?
Itu tidak cukup. Emosiku sudah memuncak dan aku tidak berniat untuk meredamnya.
Namun, semuanya segera berubah ketika aku melihat sosok penabrak itu. Aku bahkan sampai mengerjap karena terperanjat, dan hawa panas di hati yang sedari tadi menguasaiku, lenyap begitu saja.
Kok, wajahnya tidak asing, ya? Batinku seraya mengernyitkan alis berusaha untuk mengingat orang ini.
Aku tidak yakin pernah bertemu dengannya, tapi entah mengapa perasaanku bilang kalau kami pernah saling berjumpa di suatu tempat di masa lalu. Ah, tapi kalau memang benar begitu, harusnya aku atau dia akan langsung ingat, dong? Malah dia saja dilihat dari mana pun tidak ada kesan kalau dia memiliki kenangan tentangku.
Lagi pula, seingatku, orang yang menyelamatkanku itu tingginya tidak jauh berbeda denganku, dia lebih tinggi sedikit. Tapi orang ini, bahkan kepalaku tidak sampai telinganya. Memang sih, rambutnya sama-sama dibiarkan tertata natural dan pakai kacamata juga. Terus, dia memiliki kulit yang sedikit kecoklatan sedangkan yang menyelamatkanku lebih putih, dari sini saja sudah kelihatan banget bedanya.
Tiba-tiba, sekelebat gambaran masa lalu muncul di kepalaku. Membuatku seketika tertegun.
Entah mengapa, aku mulai merasa bahwa wajahnya mirip dengan sosok orang itu. Orang yang telah menyelamatkan hidupku dan yang terpenting, pahlawan yang kucintai, terlepas dari segala perbedaan yang kudapati darinya.
Tapi tidak mungkin! Maksudku, banyak orang di muka bumi ini yang punya keserupaan wajah walau tidak memiliki hubungan darah. Begitu pun dengan suara. Tidak terhitung manusia yang mempunyai suara yang mirip dengan lainnya, entah dari bakat alami untuk meniru atau memang sebuah kebetulan saja.
Dengan begitu, aku yakin orang dihadapanku ini bukan dia, yang berarti siap aku marahi.
“Sekali lagi, aku minta maaf, ya?”
Ucapnya dengan sebuah senyuman kecil yang membuatku termangu secepat aku merasa marah padanya.
Jantungku berdegup kencang, dan rasa dalam dadaku yang telah terpendam sejak lama, menggebu-gebu. Sekujur wajahku pun terasa panas.
Karena senyum itu ... aku tidak mungkin lupa.
Orang di depanku ini, apa mungkin dia ....
“Ada apa?” Dia bertanya lagi.
Aku ... bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan? Aku ... aku ... ya Tuhan ... apa yang terjadi kepadaku?
Aku tidak bisa berkata-kata. Sekeras apapun aku berusaha, suaraku tidak mau keluar. Perasaanku, meledak-ledak tidak terkendali. Aku ingin melompat. Aku ingin berteriak.
Aku ingin meledak.
Tidak terasa, air mata hampir mengalir di pipiku. Amanda ... Amanda ... ya Tuhan ... aku tidak kuat menahannya lagi. Akal sehatku, ke mana kalian pergi?
Aku pun berlari meninggalkannya, tidak kuasa menahan diri dari semua suka cita itu. “Hei!” Dia memanggilku, tapi tidak kuindahkan. Aneh, padahal aku masih ingin melihat senyum manis itu lebih lama lagi. Saking cepatnya, hingga kaki tersandung anak tangga dan nyaris jatuh saat aku menaikinya.
Sepanjang pelarianku, aku bertanya-tanya. Kenapa aku pergi? Bukankah selama ini melihat kembali wajahnya adalah hal yang paling kuimpikan? Aku kesal, kecewa. Seharusnya aku menjawab semua permintaan maafnya, bukannya hilang kendali dan kabur seperti pecundang.
Aku sampai di kelas dan langsung kembali ke tempatku duduk. Membaringkan kepala di meja dan kutimpa dengan ranselku yang berat.
“Itu dia! Astaga! Itu dia!”
Ucapku berulang-ulang bersamaan dengan air mata yang terus menyeruak meski sudah kucoba hentikan dan kuhapus berkali-kali. Aku ... aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkan perasaan yang kualami saat ini. Yang bisa kulakukan untuk melampiaskannya hanya menangis dan tersenyum tanpa henti seperti orang sinting.
“Hei, Nda. Kau kenapa?” seorang temanku yang ada di belakangku berseru padaku.
“Ah, tidak kenapa-kenapa, kok!” Kilahku. Tentu saja aku tidak mau ada orang lain yang melihatku dalam keadaan begini.
Awalnya aku sempat khawatir akan ketahuan, tapi setelah beberapa waktu, akhirnya aku dapat mengendalikan diri. Syukurlah.
Hanya saja, aku pun lantas berpikir, kalau aku bertemu lagi dengannya nanti, apa yang harus kulakukan? Aku sudah berjanji bahwa aku akan mengungkapkan semua perasaan ini padanya. Tapi semakin dalam aku merenunginya, aku merasa takut.
Takut bahwa dia akan menolakku.
Namun aku tidak akan menyerah! Akan kupastikan dia mendengar semua suara hatiku. Semuanya, sampai tiada lagi tersisa dalam diri ini.
Tapi, bagaimana aku mendekatinya? Bertemu dengannya saja aku sudah lari seperti melihat hantu. Ah, biarkan saja, deh. Nanti juga ketemu sendiri caranya.
***
Ya Tuhan, mengapa aku tetap tidak bisa tenang, sih?
Berbanding terbalik dengan teman-temanku, aku terus menunduk dengan kedua tangan mencengkeram rok. Sesekali aku bahkan melirih karena sudah nyaris tidak kuat menahan panas di wajahku dan rasa dalam dada yang terus meronta minta dikeluarkan.
Semuanya terjadi karena sekarang adalah momen yang ditunggu semua orang. Sesi perkenalan murid baru, yang rupa-rupanya adalah dia.
Ketika aku merasa lebih baik, kualihkan pandanganku padanya yang saat ini sudah berdiri berdampingan dengan wali kelas di depan, namun tidak bertahan lama karena setiap aku meliriknya, dia menatapku juga. Apakah mungkin dia bisa membaca isi kepalaku?
Akhirnya, aku memutuskan untuk terus menyembunyikan pandanganku dibalik tirai rambut panjang yang tergerai di depan muka. Mengutuk diri sendiri tanpa henti.
“Baiklah semuanya, harap tenang!” Seru Bu Diana, wali kelas kami. Sekejap saja seisi kelas yang tadi riuh menjadi tenang. “Hari ini, kita kedatangan teman baru dan ibu ingin kalian semua bisa berteman baik dengannya. Paham?”
“Paham, Bu!” Sahut semua temanku serentak. Kecuali aku.
“Ayo, silakan perkenalkan diri kamu,” kata Bu Diana dengan nada yang penuh keceriaan.
Semuanya hening. Dan sampai beberapa saat, belum ada satu pun kata yang terucap dari mulutnya. Apakah dia grogi? Ayo, aku sudah tidak sabar ingin mendengar suaramu lagi, dan tentu saja, namamu.
“Perkenalkan,” akhirnya, dia mulai memperkenalkan dirinya, “aku Aldi Lukmana. Biasa dipanggil Aldi. Salam kenal dan mohon bantuannya.”
Aku tersenyum. Aldi, ya? Nama yang manis, sama seperti sosoknya.
Kembali suasana menjadi berisik dengan kenorakan teman-temanku. Apalagi yang perempuan, saling berbisik-bisik, berkata bahwa Aldi ganteng dan bahkan ada yang berencana untuk mendekatinya.
Jujur saja, aku gerah mendengarnya. Lihat saja, tidak akan kubiarkan para gadis menjijikan itu mendekati Aldi, apapun yang terjadi.
“Baiklah karena semua sudah kenal, kamu bisa duduk di sana,” kata Bu Diana.
Aku masih tidak berani mengangkat wajahku, jadi aku tidak tahu dia akan duduk di mana. Malah aku sendiri tidak berharap dia di tempatkan di dekatku. Tapi kok, langkahnya mengarah padaku, ya? Terus, dia malah berhenti pas sekali di sebelahku.
Tunggu sebentar ....
Di sebelahku kan, dekat jendela ... ada meja kosong. Lah, itu berarti ... dia duduk didekatku, dong?
Aaaaaahhh!
Kucengkeram rokku lebih erat. Aku .... tidak tahu harus senang atau bagaimana, tapi jika dia ada di sebelahku, aku takut dia akan menyadari keanehan tingkahku. Terus, terus, dia akan cerita pada teman-temannya nanti dan aku pun akan jadi bahan gunjingan satu sekolah atau yang lebih buruk, Sarah akan memajang beritanya di mading.
Astaga, bagaimana ini?!
Kudengar kursi di seret dan orang duduk di atasnya. Jadi benar dia bersebelahan denganku.
Ah, ya sudah, deh. Aku pasrah saja. Kutarik napas dalam dan kuhembuskan sekali perlahan sebagai isyarat menyerah. Aku ... tidak pernah kusangka bahwa pertemuanku dengannya bakalan jadi begini.
“Hei, kau yang tadi, kan?”
Aku terlonjak dan hampir berteriak hingga nyaris lepas jantung ketika dia tiba-tiba menyapaku seperti itu. Akibatnya dia pun ikut kaget juga.
Tapi aku tetap diam dan menunduk lagi seperti orang sakit. Bukannya aku tidak mau menjawab, tapi tidak bisa. Menatap matanya saja sudah hampir membuatku gagal jantung.
Namun, aku tidak mau bertindak seperti sebelumnya.
Aku harus menanggapinya.
“Y-Ya. A-ada apa?” Akhirnya meski terbata-bata dan lirih, aku bisa berbicara dengannya meski aku tidak yakin dia dapat mendengarnya. Tenangkan dirimu, Amanda, dan semuanya akan baik-baik saja.
“Aku minta maaf, ya, soal yang tadi di tata usaha.”
“Ya sudah. L-Lupakan saja.”
“Benarkah? Terima kasih.”
Ucapnya lega. Aku hanya mengangguk pelan saja. Ah, andai aku memiliki keberanian lebih, pasti aku sekarang telah bisa melihat senyum manisnya yang kuyakin sedang mengembang di bibirnya saat ini.
Selanjutnya, aku tidak yakin, tapi dari tepi sudut pandangku, aku melihat kalau dia menjulurkan tangan kanannya padaku.
“Kau sudah tahu namaku, kan? Namamu siapa?”
D-Dia ... mengajakku berkenalan?
Panas di mukaku semakin bertambah, dan aku yakin pasti sudah merah seperti tomat. Tapi kuberanikan diriku untuk menyambut uluran tangannya meski jari-jari tanganku seolah membeku. Aku juga sempat meliriknya dan melihat senyuman manis miliknya, tapi segera kusingkirkan pandanganku darinya ketika tanganku saling menjabat dengannya. Aku terkejut, rupanya tangannya lebih besar dan lebih kuat dari yang kukira.
“A-Amanda Karlina Putri. S-Salam kenal.” Astaga, bahkan untuk tersenyum saja aku harus melakukannya dengan dipaksa.
Saat kucoba melepaskan jabatan tangan kami, dia sempat menahan tanganku sebentar, membuatku kaget, tapi dia lepaskan akhirnya. Sebenarnya apa yang dia coba lakukan?
“Kau tidak apa-apa, Amanda?” Tanyanya kemudian dengan suara yang terdengar khawatir.
Apa maksudnya?
“Aku ... baik-baik saja, kok.”
“Masa? Tapi mukamu merah dan tanganmu tadi dingin dan gemetaran. Kau sakit?”
Bagaikan petir, pertanyaan itu menyambarku hingga jantungku serasa berhenti. Buru-buru aku menggeleng. Dalam hati kupanjatkan doa, semoga dia tidak menyadari keanehan tingkahku. Namun setelah beberapa saat, tidak ada respon apapun darinya. Kurasa dia memang tidak awas atau mungkin tidak memperhatikan.
Syukurlah. Tapi, aku punya firasat bahwa dia tidak percaya begitu saja. Demi meyakinkannya dan mengakhiri kecanggungan yang amat menyiksa ini, aku lantas mencoba untuk menatapnya dan menjelaskan.
Namun, baru saja kami saling memandang, secepat aku berkedip, punggung tangan kanannya sudah menempel di dahiku.
Sengatan listrik sangat besar menyambarku lagi, membuatku membatu. Mukaku terbakar. Jantungku terlepas. Hati dan tubuhku, seolah meleleh secara perlahan sementara akal sehatku menguap keluar dari kepalaku yang aku yakin berasap sekarang.
Semua sudah berakhir. Sebentar lagi, aku akan mati.
Mati karena kaget dan terlalu senang.
“Kau yakin tidak apa-apa, Nda?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ayuk Vila Desi
ingat jaman dulu waktu SMP 😂😂kenalan ma cowok gemetaran n panas dingin😂😂😂😂bocah....
2020-10-11
2
Dona Alfionita
udah manggil "nda" aja kayak panggilan kesayangan, padahal murid baru loh 😌 atau jangan jangan...
2019-09-18
1
Sisilia Jho
😅😅😅😅😅😅😅😅😅😅😅😅😅aduhhhh kata2 author sungguh ganas dan lucu deh buat amanda
2019-09-14
0