Chapter 2: Amanda

Di hadapan cermin lemari, aku menyisiri rambut. Memastikan bahwa penampilanku pagi ini berada di taraf yang terbaik.

Kalau sedang berkaca seperti sekarang, aku selalu ingin tertawa. Orang-orang sering bilang kalau aku mirip dengan artis Jessica Anastasya. Tentu saja, fitnah mereka itu keterlaluan. Aku pun yakin kalau kalian bisa melihat rupaku yang sesungguhnya, kalian semua pasti akan langsung dehidrasi berat akibat muntah terlalu banyak.

Maaf, Kak Jess. Gara-gara saya, kakak jadi dibanding-bandingkan dengan makhluk astral seperti saya ini. Hehe ....

Kutaruh sisirku di atas lemari dan kualihkan perhatianku ke seragam sekolah yang telah menempel di tubuhku yang terdiri dari kemeja putih lengan pendek dengan saku bergambar simbol sekolah, dasi biru langit polos, dan rok panjang berwarna senada dengan dasiku. Aku sendiri sebenarnya sudah yakin penampilanku oke, tapi tetap saja, sebagai manusia, aku merasa selalu saja ada yang kurang. Meski sebetulnya, ada alasan lain juga mengapa aku cukup ketat dengan citraku.

Aku ingin dia melihatku.

Lantas aku pun tersenyum sambil geleng-geleng. Harapan yang aneh, kan? Bagaimana bisa aku berpikir bahwa dia yang bahkan keberadaannya saja aku tidak tahu, dapat melihatku? Bahkan jika pun dia bertemu denganku tanpa sengaja, belum tentu juga dia ingat padaku.

Jujur saja, aku bukanlah termasuk gadis yang senang berlama-lama hanya untuk berdandan. Asalkan aku terlihat wajar, setidaknya menurut standarku yang bisa dibilang rendah, ya sudah, cuek saja. Tidak peduli apa kata orang, yang penting aku senang.

Namun, semua itu berubah sejak pertemuanku dengannya. Aku selalu ingin tampil lebih dan lebih baik lagi, walau kutahu dia mungkin tidak akan pernah melihatku. Aku ingin membuatnya terkesan.

Tapi aku yakin, suatu saat nanti, aku pasti akan dapat bertemu lagi dengannya. Untuk itulah, aku hingga sekarang selalu memastikan bahwa diriku senantiasa berada dalam penampilan yang terbaik.

Setelah kurasa cukup, aku meraih ranselku di ranjang dan menuju lantai bawah karena sedari tadi ibuku sudah berteriak-teriak menyuruhku sarapan.

Menuruni tangga, aku tiba di ruang tengah, tempat seluruh anggota keluargaku berkumpul kalau sedang santai. Di sini ada dua sofa panjang warna hitam dan aku menaruh ranselku di sofa sebelah kiri meja kaca oval yang ada di tengah-tengahnya, dan sebuah bufet jati minimalis dengan televisi layar gepeng ukuran sedang di atasnya.

Rumahku tidak besar. Yah, wajar, aku tinggal di pulau terpadat di muka bumi dan kota yang juga sudah overpopulasi. Lahan terbatas dan harganya diluar nalar.

Ketika aku tiba di dapur untuk menyiapkan makanan, rupanya ibuku yang sekarang sedang sibuk mengepel telah lebih dulu melakukannya. Sepiring nasi hangat berlauk tumis buncis dan tahu goreng sudah siap di atas kulkas yang ada di sebelah mesin cuci di sudut kiri dapur.

“Cepat makan, nanti kesiangan,” kata wanita bertunik hijau itu sambil memamerkan senyum yang membangunkan kerut di kulit tuanya padaku saat dia berhenti dari kegiatannya kala aku mengambil makananku. Meski aku bilang tua, bukan berarti ibuku sudah nenek-nenek, loh.

Aku hanya mengangguk, dan kembali ke ruang tengah untuk menikmati sarapan karena rumahku tidak punya meja makan. Duduk di sofa tempatku tadi menaruh ransel lalu menghidupkan televisi.

Selain aku dan ibuku, ada kakak perempuanku dan ayahku. Tapi aku tidak mendapati kakakku sejak tadi. Pasti dia sudah berangkat ke kampusnya atau entahlah, aku tidak pernah mengerti kegiatan hari-harinya. Ayahku? Maaf, aku tidak bisa memperkenalkannya karena dia bekerja di luar kota jadinya jarang pulang. Mirip Bang Toyib, ya? Hehe ....

Sambil menonton acara pagi yang membosankan, kunikmati sarapanku.

***

Kelasku mendadak jadi heboh pagi ini setelah Sarah menyampaikan rumor soal kedatangan murid baru yang akan menghuni kelas kami. Teman-temanku, terutama para lelaki yang isi otaknya hanya berisi hal-hal nista, tidak henti-hentinya berharap bahwa yang menjadi murid baru itu seorang gadis cantik, semok, dan bahenol.

Padahal mereka cuma modal dengkul dan muka pas-pasan saja tapi maunya yang elit-elit. Dasar tidak tahu malu!

Aku sih masa bodoh dengan siapapun yang akan menjadi anggota baru di kelas kami. Mau dia laki-laki, perempuan, atau bahkan ladyboy Thailand dan sebangsanya, aku tidak mau tahu. Namun patut untuk diketahui, info dari Sarah, apapun itu, biasanya selalu tepat.

Bagaimanapun juga, ada sebagian dari temanku yang bilang kalau itu cuma hoaks belaka, alias usaha Sarah untuk menjahili kami semua. Kalau aku sih, percaya saja pada Sarah karena selain dia memang teman terdekatku, dia adalah ketua OSIS, sehingga telinganya bisa mendapatkan akses lebih awal terhadap informasi yang ada di lingkaran guru-guru dan staf-staf yang menjabat di sekolah.

“Aduh. Kok, aku mengantuk, ya?” Gumamku setelah menguap dan membaringkan kepala di meja seraya memejamkan mata.

Padahal aku yakin sudah tidur cukup semalam, tapi rasanya seolah aku begadang tanpa tidur sama sekali. Entahlah, mungkin aku mengantuk karena lelah mendengarkan omong kosong dari para badut mesum yang tanpa henti berkhayal yang tidak-tidak tentang si murid baru itu. Atau, aku yang capek karena energiku habis untuk membayangkan orang itu semalaman.

Yah, aku jadi kepikiran lagi, deh.

Gara-gara ini, timbul harapan dalam hati kecilku kalau murid baru itu adalah dia. Terlepas dari apa yang telah kukatakan di awal.

Satu hal yang aku sukai ketika mengingatnya adalah hatiku yang terasa hangat. Seolah perasaanku padanya adalah sebuah perapian di tengah musim dingin, meski aku tahu kalau negara ini hanya punya dua musim. Hehe .... Sok cute banget aku, ya?

Tapi, aku juga cemas.

Seandainya memang nanti aku bertemu dengannya lagi, apakah dia masih mengingatku? Terus, apakah ada jaminan bahwa tidak ada gadis lain yang dekat dengannya? Aku takut.

Kalau dia cuma lupa saja, masih ada kemungkinan bagiku untuk mengingatkannya tentang diriku lagi. Tapi untuk kecemasanku yang kedua ... oh, astaga.

Aku ... tidak bisa kubayangkan jika diriku harus berkubang dalam drama cinta segitiga ala anak SMA bau kencur. Pasti, hidupku akan penuh dengan momen-momen alay khas remaja tanggung yang bisa dibuat jadi novel berseri atau sinetron absurd dengan ribuan episode.

Kuharap tidak begitu. Semoga saja.

“Hei, Nda,” Sarah memanggil dari balik punggungku. Ah, padahal aku sedang enak-enaknya berkhayal, malah diganggu. Dasar!

Aku menegakkan tubuh dan menolehnya sambil berdecak. “Apa?”

“Kenapa, sih? Pagi-pagi sudah merengut?” Tanya Sarah berbarengan dengan tangan kanannya yang naik ke pinggang. Seperti biasa, dia selalu tersenyum kalau menyapaku.

Ih, kukira ada apa. Rupanya cuma mau basa-basi saja. Mengganggu, tahu!

“Mau tahu saja, sih,” sahutku ketus seraya menidurkan lagi kepalaku di meja.

“Hmm ... pantas kau susah dapat pacar, Nda. Kelakuanmu menyebalkan, sih,” ejeknya sambil tertawa. Sebenarnya apa yang dia bilang itu tidak berdasar. Tampaknya dia lupa dengan fakta kalau sudah tidak terhitung ungkapan cinta yang kuterima dari para siswa di sini.

“Ya, deh. Yang punya pacar mah beda,” balasku malas. Aku mengantuk, dan tidak mau tambah capek dengan mendebatkan hal tidak berfaedah. “Sudah, ah. Aku mengantuk.”

“Dasar tukang tidur. Huuuu!” Ejeknya lagi. Biarkan saja, deh. Lagian, aku memang doyan tidur.

***

Apa-apaan sih dia ini?

Aku sampai detik ini, tidak pernah bisa berhenti antara kagum, bingung, dan ngeri melihat porsi makan Sarah yang astaga, bukan main banyaknya!

Di jam makan siang ini, di salah satu meja makan di kantin, aku mah makan bakso semangkuk saja belum habis-habis, lah dia, beuh.  Bakso, siomay, gorengan, es teh dua gelas, dan sekarang dia lagi makan sosis goreng. Malah, sosisnya belum habis pun, dia sudah mengajakku untuk menjajal cilok yang baru dijual oleh salah satu penjual di kantin. Gila, kan?

Entah kenapa, aku jadi berbelasungkawa untuk pacarnya kalau sedang mengajak Sarah kencan.

Tapi yang bikin aneh, biarpun porsi makannya setara Hercules, badannya tetap bagus. Apakah ini yang membuat orang sering mengeluh kalau dunia itu tidak adil, ya?

“Sarah, kau ini, karung atau apa, sih?” Bahkan aku harus sampai mengerutkan alis karena saking terperanjatnya.

Balasannya, dia cuma tertawa! Tertawa! Kurang sableng apa lagi ini orang?

“Habisnya mau bagaimana, jajanannya enak-enak, sih!” Katanya kemudian sembari menyeka saus yang sedikit belepotan di mulutnya.

Sudah, deh. Aku menyerah saja.

Kemudian tidak ada kata lagi di antara kami berdua. Digantikan oleh basa-basi murid-murid lain dan aroma berbagai makanan yang di dominasi oleh gorengan yang mondar-mandir di telinga dan hilir-mudik di lubang hidung.

Aku sendiri cuma fokus untuk menghabiskan makan siangku yang rasanya tidak ada ‘wah’ sama sekali, mungkin karena sudah terlalu sering aku memakan bakso ini. Tidak lama kemudian, aku sudah selesai dan mengakhirinya dengan segelas air putih. Waktu kulihat Sarah, dia pun juga sudah kelar dari kegiatan ‘makan gila-nya', meski aku masih melihat dari sorot matanya yang masih ingin mencicipi sekitar empat atau enam makanan lagi.

“Hei, Nda,” Sarah akhirnya membuka obrolan lagi. “Murid baru yang aku bilang tadi pagi, dia laki-laki. Barangkali dia kecantol denganmu.”

Dia pun terkekeh. Aku cuma memutar bola mata saja. Sumpah, aku sudah bosan digoda begitu. Lagian, kalaupun murid baru itu suka padaku, aku akan menolaknya, sama seperti yang lain.

Cintaku hanya untuk seseorang, dan tidak akan pernah berubah.

“Sudah, deh. Basi tahu omonganmu itu,” keluhku. Kupangku sebelah pipiku dengan tangan. Isyarat kalau aku akan pergi jika dia mengulang sesuatu yang seperti tadi lagi.

Sarah tersenyum kecil, yang kuanggap sebagai tanda kalau dia mengerti.

“Lagian, memangnya kenapa sih, kau itu selalu menolak setiap orang yang suka padamu?” Dia bertanya kemudian. “Asal kau tahu, Nda. Kau itu sudah dianggap sombong oleh banyak orang di sekolah ini.”

“Benarkah? Terima kasih atas peringatannya,” balasku malas sembari mengaduk-aduk tidak jelas makan siangku yang tinggal tersisa kuahnya saja.

“Memangnya kau tidak terganggu dengan itu, Nda?”

“Biar saja. Itu hak mereka. Seperti kata orang Betawi, ‘lu, lu—gua, gua’. Buat apa aku peduli dengan mereka? Tidak dibayar juga.”

Sarah lantas menghela napas. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya dia pikirkan, tapi rasa-rasanya sih, dia mulai gerah dengan tingkahku.

“Kau ini susah banget kalau diberitahu, Nda.” Dia geleng-geleng.

“Sudahlah, Sar.” Aku mengibaskan tangan di depan wajah. “Lagian, aku juga untung, kok. Kalau yang membicarakanku sebegitu banyaknya, berarti pahala yang mengalir kepadaku juga banyak. Kau kan tahu, membicarakan orang berarti memindahkan amal baik kita kepada orang yang kita bicarakan itu.”

“Ya, deh. Saya paham kok, Ustazah Amanda ...,” padahal aku sungguh-sungguh, tapi dia malah menanggapinya dengan meledek, sambil cengengesan pula. “Oh, ya,” imbuhnya kemudian. “Aku masih belum tahu alasan kau selalu menolak perasaan setiap laki-laki yang suka padamu. Kenapa sih, Nda?”

Dari cara bicaranya yang agak membujuk, tampaknya dia sudah tidak tahan lagi dengan rasa keingintahuannya soal alasanku itu. Tapi walaupun dia sahabatku, aku tidak akan memberitahunya. Tidak untuk sekarang.

Aku mendekatkan wajahku kepadanya, lalu berbisik, “Wani piro?”

Terpopuler

Comments

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

semangat

2020-11-14

3

lia

lia

author nya gokil ni😅

2020-08-05

2

Ahodaitsuki

Ahodaitsuki

teruskan berkarya ya.. hihi semangat... ya

p/s: aku suka ni novel.. walaupun menyelesaikan misi tapi aku sudah tertarik...

Fifi (28 mac 2020)

2020-03-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!