Chapter 16: Aldi

“Hujannya makin deras ....”

Tidak kusangka hujannya akan jadi selebat ini. Kupikir cuma akan jadi hujan lewat saja karena tadi pagi dan siang cuacanya lumayan cerah. Sepatu dan hampir setengah celanaku yang tidak sempat kugulung sudah basah, dan semakin kupercepat langkahku sebelum aku bertambah kuyup.

Tapi, suasana seperti ini jadi mengingatkanku dengan masa lalu. Waktu yang paling menyenangkan dalam hidupku.

Tergambar jelas dalam ingatanku saat masih kecil, aku dan Rina yang berjalan berdua ketika mengantarnya pulang dari rumahku dalam satu payung. Persis seperti saat aku bersama Amanda tadi.

Waktu itu dia sering bermain ke rumahku, begitu pun sebaliknya. Aku dan ibuku sudah membujuknya untuk tinggal di rumahku dulu sampai hujannya berhenti. Tapi dia tetap bersikeras ingin pulang karena memang saat itu hari sudah senja. Akhirnya, kuputuskan untuk mengantarnya pulang.

Awalnya, hujannya hanya biasa saja tapi deras, namun tidak lama kemudian, angin yang cukup kencang datang dan membuat bencana untuk kami. Sepanjang jalan, dia terus menempel padaku karena ketakutan dengan angin yang bagi kami saat itu seperti badai besar. Karena terlalu sibuk menenangkan Rina, aku sampai tidak ingat untuk menggenggam payungku dengan benar sehingga akhirnya terlepas tertiup angin.

Aku tidak bisa menahan tawa kalau mengingat kejadian itu, karena ketika payungku terbang, Rina yang ketakutan malah menangis histeris. Bahkan, dia terus memelukku sampai tiba di rumahnya seolah aku adalah ayahnya. Keesokan harinya, dia terkena demam.

Satu hal lagi yang lucu adalah dia akan sangat marah sekali kalau kuungkit kejadian itu, bahkan pernah sampai tidak mau bermain bersamaku dan teman-teman yang lain selama seminggu. Kalau bertemu denganku secara tidak sengaja di jalan, dia akan langsung cemberut dan apabila aku tertawa, dia tidak akan segan-segan mengejarku sampai kena dan memukulku.

Namun entah kalau sekarang. Mungkin dia sudah lupa.

“Aku jadi ingin mampir ke rumahnya.”

Tapi, keinginan hanyalah keinginan. Bertamu ke rumah seseorang dalam keadaan begini rasanya tidak etis maksudku, kalau sedang hujan, biasanya setiap keluarga akan membuat diri mereka senyaman mungkin dan tidak mau terganggu oleh kedatangan tamu yang tidak penting.

Tidak terasa aku telah memasuki area blok Mawar. Rumahku tidak jauh lagi tapi aku lantas berpikir, ketika sampai nanti, aku mau melakukan apa? Mencegah agar ibuku tidak marah lagi, mungkin. Setelah itu?

“Kurasa aku seharusnya tadi menerima ajakan Amanda, ya?”

Tapi ya sudahlah, aku akan pulang saja.

***

Selesai mandi, berganti pakaian, dan makan, aku pergi menuju ruang depan. Berbaring di salah satu sofa ditemani secangkir teh hangat yang ada di atas meja kaca. Meski sebenarnya suasana seperti ini paling enak diresapi di atas kasur, tapi aku akui lama-lama bosan juga berada di kamar terus.

Tidak terasa sudah setengah jam, mungkin, aku melamun seraya mendengarkan gemuruh hujan di luar yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Seperti inilah kira-kira gambaran kecil keseharianku di rumah.

Aku adalah anak tunggal di keluarga kecil ini. Ayahku sudah tiga bulan pergi meninggalkan rumah untuk mengisi jabatan barunya di luar kota di perusahaan tempatnya bekerja. Ibuku, seperti yang bisa dilihat, menjadi satu-satunya sosok yang menemaniku.

Sering aku merasa bosan yang kadang juga membuatku terpikir untuk kabur dari rumah selama beberapa waktu. “Kenapa tidak bersama teman-temanmu saja?” Begitu kata setiap orang yang kuceritakan soal masalahku.

Aku punya teman, banyak. Tapi yang benar-benar dekat denganku tidak sampai separuhnya. Malah di sekolahku yang sebelumnya pun, hanya ada lima orang yang benar-benar akrab denganku.

Teman-teman masa kecilku pun, mereka semua entah pergi ke mana. Yang tersisa cuma Rina. Tidak mungkin bagiku untuk bersamanya setiap waktu, selain karena kesibukannya juga berita miring yang akan berhembus tentang kami berdua.

Syifa, kudengar dia dikirim orangtuanya ke pesantern di daerah Jawa Tengah. Begitu juga dengan Anton, dia pindah ke kampung halamannya di Lampung dan menetap di sana. Itu pun belum termasuk dengan teman-temanku yang lain yang sudah lama tidak terdengar kabarnya.

Kalau terpikir soal mereka, aku terkadang merasa sedih. Kami berempat dulu sangat dekat, tapi sekarang terpisah dan mungkin tidak akan pernah bisa bersama lagi.

Aku tersentak, ketika tiba-tiba ponselku yang ada di meja kaca berdering pendek. Ketika kulihat ada apa, ternyata ada pesan WhatsApp masuk.

“Rina?” Gumamku heran.

[Hei, Di! Kaget, ya? Hehehehe.]

[Begini, kakakku pulang dari Bandung hari sabtu nanti. Aku mau memberi hadiah kejutan buat dia. Kau mau tidak menemaniku membeli hadiah untuknya? Tenang, kok. Transport aku yang tanggung.] Begitu kira-kira bunyi pesannya.

“Kakaknya pulang?” Aku ikut senang karena kakaknya dulu cukup akrab denganku saat aku masih sering mampir ke rumahnya.

Kuketikkan balasan. [Sudah lama aku tidak melihat Bang Rony, Rin. Soal mengantarmu, aku sih bisa-bisa saja tapi lihat kedepannya dulu. Kalau nanti memang bisa aku akan menghubungimu lagi.]

Balasan darinya pun tiba tidak lama kemudian. [Oh, oke kalau begitu. Ah ya, omong-omong, bagaimana hubunganmu dengan Amanda? Ada perkembangan tidak? (Emoji senyum).]

“Dia mulai lagi,” gumamku. [Sudah kubilang, aku tidak ada apa-apa dengannya. Lagi pula, kau percaya diri sekali kau akan menang taruhan kita waktu itu.]

Aku mendudukkan diri dan menyesap sedikit tehku tanpa melepas tatapanku dari layar ponsel yang menampilkan balasan baru dari Rina.

[Pasti, lah! Bukan Rina namanya kalau tidak penuh dengan percaya diri. Kau tahu tidak, aku selalu berharap kau jadi dengannya. Meski ya ... pokoknya aku akan menang! Bersiaplah mengalami krisis ekonomi! Mwahahahahaha! (Emoji seringai jahat).]

Bunyi pesannya membuatku tertawa. Setelah kuletakkan kembali cangkir tehku di meja, aku mengetikkan balasan. [Tidak usah risau karena kau yang akan bangkrut. Aku akan sewa orang untuk mengancam Amanda supaya tidak suka padaku. Lihat saja.]

Selanjutnya entah mengapa, balasan darinya datang agak lama. Bagaimanapun, aku tertawa cukup keras sehingga ibuku yang sedang memasak di dapur sampai menanyaiku. “Sayang, ada apa sih? Kok tertawa-tawa sendiri?”

“Tidak ada apa-apa kok, Bu. Aldi cuma sedang menonton acara lawak di internet,” kilahku pada ibu.

Ibu tidak menanggapiku lagi dan akhirnya, balasan dari Rina tiba juga. [Ih, curang! Huuuuu! Kalau begitu, aku juga akan menyewa orang untuk membuat Amanda suka padamu biar aku menang!]

[Ah, ya sudahlah. Aku mau mandi dulu. Terus soal yang tadi, hubungi aku kalau kau memang bisa, ya? Jangan lupa. Oh, terima kasih sudah mau meladeniku. Aku senang bisa mengobrol denganmu meski tidak langsung. Ya sudah, sampai di sini dulu. Daaah!]

“Pantas, dari tadi aku mencium bau amis. Rupanya kau belum mandi,” kataku seraya mengetikkan ucapanku sambil tertawa.

[Berisik! Makan dulu sana biar tidak resek! Sudah, ah! Aku malas meladenimu lagi. Titik, tidak pakai koma!] Balasnya.

“Ah, harusnya tadi aku ungkit soal waktu itu saja, ya. Pasti dia akan marah sekali,” gumamku sambil terkekeh.

Aku pun berpikir, mungkin kalau dia satu sekolah denganku rasanya pasti menyenangkan. Terbayang dalam benakku bagaimana serunya melihat dia mungkin akan berdebat setiap hari dengan Amanda dan bersekongkol bersama Sarah untuk mengganggu Amanda.

Membicarakan Amanda, aku jadi ingin tahu, sedang apa dia saat ini, ya?

***

Di kantin, aku hanya berdua saja dengan Chandra karena Eko dan Sandi pergi lebih dulu. Ada urusan penting katanya.

Kami duduk berhadapan dan di atas meja, tersuguh dua gelas kopi susu yang Chandra beli. Sejujurnya aku bukan orang yang suka minum kopi, tapi demi menghormati dia, aku terima saja.

“Aku, entah cuma perasaanku saja, tapi kelihatannya Amanda dekat banget denganmu?” Tanyanya.

“Ah, kami memang dekat. Tapi hanya sekadar teman saja, tidak lebih,” bantahku langsung sembari mengibaskan tangan kananku di depan wajah.

“Begitukah? Tapi kupikir dia suka padamu, Di.” Dia tersenyum.

“Dari mana kau tahu?”

“Yah, bukan dari mana-mana, sih. Pengamatan pribadi saja maksudku, sikapnya beda kalau sedang bersamamu.”

Aku mencicipi sedikit kopiku alih-alih menimpali ucapan Chandra. Karena aku tahu, tidak akan ada habisnya kalau aku lanjutkan.

Chandra lantas melipat kedua tangannya di meja dan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. “Aku memang tidak akrab sih dengannya, tapi aku yakin, dia suka padamu.”

“Asal kau tahu saja, kau bukan yang pertama bilang begitu,” kataku sambil terkekeh.

“Nah, justru itu!” Chandra menepukkan tangannya selagi senyumannya bertambah lebar. “Dan aku yakin semua orang yang bilang begitu tidak ada yang merasa keberatan, kan?”

“Memang sih. Tapi tetap saja, tidak mungkin dia suka padaku.”

“Aku pernah baca artikel di internet. Katanya kalau ciri-ciri orang berjodoh itu, orang-orang disekitarmu tidak akan ada yang keberatan dengan calon pasanganmu itu.”

“Mitos, Ndra. Tidak ada sangkut-pautnya.”

“Mungkin, tapi bisa saja, kan?”

Aku memilih bergeming. Tidak mengerti mengapa arah obrolan kami jadi menuju ke hal yang jauh seperti itu.

Dia terkekeh, dan sementara dia menyeruput kopinya lalu menengok ponselnya, aku memilih untuk mengedarkan pandangan. Sekadar agar aku tidak bosan.

Rasanya aneh jika jadi bahan omongan orang. Aku dekat dengan Amanda karena memang dia orang yang baik. Aku senang padanya, dan bagiku itu normal-normal saja. Lagi pula, aku sampai sekarang juga tidak mengerti mengapa di usia sepertiku, dekat dengan lawan jenis selalu dianggap cinta.

Malah, aku pun sempat pernah dibuat repot karena di sekolahku yang lama, aku digosipkan berpacaran dengan seorang siswi populer hanya karena aku akrab dengannya. Akibat dari itu semua, aku jadi dimusuhi oleh para pemujanya.

“Tenang saja, Di,” perhatianku kembali kepada Chandra yang kembali berbicara. “Aku akan membantumu supaya dia jadi pacarmu.”

“Terserah kau sajalah,” kataku.

“Jangan rendah diri begitu, Di.” Dia terkekeh. “Kalau kau memang ditakdirkan jadi dengannya, kau bisa apa?”

“Tetap saja, Ndra, dia—”

Chandra memberi isyarat bagiku agar berhenti bicara dengan tangan kanannya.

“Kau mau percaya atau tidak, itu terserahmu,” katanya sambil tersenyum. “Lama-lama, kau juga nanti akan tahu.”

Bel tanda berakhirnya istirahat berbunyi tepat ketika Chandra menyelesaikan kalimatnya. Padahal aku belum sempat mengerti apa maksud dari ucapannya.

Chandra yang baru mencicipi kopinya sedikit, langsung menghabiskannya dalam satu tenggakkan. Lalu dia berdiri, dan mengajakku kembali ke kelas saat aku meminum setengah kopiku. “”Ayo, Di.”

Aku sempat bertanya kembali soal ucapan terakhirnya tadi sambil berjalan, namun lagi-lagi dia bilang kalau kelak aku akan mengetahuinya sendiri yang justru membuatku semakin jauh dari mengerti.

Terpopuler

Comments

Ayunina Sharlyn

Ayunina Sharlyn

jejak lagi Thor



salam Vicky I Love You 💖

2020-07-13

0

Ardha Wahyuni

Ardha Wahyuni

kpn ya mereka pacrn

2019-06-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!