Chapter 8: Amanda

Hari jumat mungkin menjadi hari yang menyenangkan karena sekolah hanya berlangsung sampai setengah hari. Namun, itu jugalah yang jadi masalah tersendiri untukku.

Rumahku amat membosankan, dan membuatku jadi tersiksa sendiri jika terlalu lama berada di dalamnya. Maksudku, kalau hari biasa kan aku baru pulang saat petang, lalu malam pun datang dan kemudian tidur. Tadaaa, hari sudah berganti.

Bisa saja sih aku tidur siang, tapi untuk hari ini entah mengapa aku kesulitan melakukan hobiku itu. Padahal kondisi rumahku sedang sangat mendukung.

“Jadi, rumahmu kosong sekarang, Nda?” Tanya Rina, teman masa TK-ku dulu yang tengah membungkuk dengan kedua tangan terlipat di atas etalase warung miliknya.

“Yah, begitu deh,” sahutku sambil menguyah kue coklat yang kubeli darinya.

Sekarang aku sedang duduk-duduk di warungnya Rina, sambil memandangi suasana komplek perumahan yang saat ini seolah sedang berada langsung di bawah neraka. Panas dan gersang bukan main.

Aku dan dia tidak begitu akrab sebenarnya, tapi kupikir di sini masih lebih baik daripada di rumah yang sepinya seperti kuburan. Mengenang masa-masa kecil kami, rasanya lumayan menyenangkan.

Lalu dia keluar dari warungnya, dan duduk bersamaku di kursi kayu panjang yang ada tepat di depan etalase. Kuperhatikan dia, penampilannya tidak berubah sejak dulu. Kecuali mungkin untuk beberapa hal.

Rina dikenal sangat suka sekali dengan rambut kepang dua. Memang sih gaya rambutnya masih sama, tapi ... entah kenapa dia jadi agak ‘panas’ sekarang, ya?

Maksudku, sekarang dia memakai kaus ketat dan celana selutut yang menampilkan lekukan sebuah tubuh sintal yang disempurnakan dengan kulit kuning langsat dan sepasang kaki mulus ... oh, ya Tuhan. Kurasa ungkapan ‘puberty hit so hard' yang sering kulihat di internet bukan guyonan semata.

Jujur saja, melihat posturnya membuatku agak minder.

“Jadi kau sekolah di Madya, Nda?” Tanyanya lagi sambil menatapku dengan senyum.

“Ya,” kataku. “Kau mah enak ya, sekolah di negeri yang terkenal.”

“Ah, biasa saja. Mau negeri mau swasta, sama saja. Lagian, lebih enak kau karena sekolahmu tidak jauh dari rumah.”

“Masa?”

“Hmm ... ya, begitulah.”

Angin kering berhembus pelan meniup rambutku dan sejumlah debu gersang dari jalan aspal yang kerontang. Rina tampak mengibaskan tangan di depan wajah kesalnya, sebelum dia mengarahkan pandangannya ke langit.

Senyuman kecil mengembang di bibirnya. “Sudah lama banget ya, Nda, sejak kita lulus dari TK.”

Kutenggak sedikit jus jeruk kalenganku, untuk membasahi tenggorokan sebelum aku bicara. “Ya, padahal kau dulu culun banget, tapi kau sekarang malah jadi hot begitu.”

“Dasar!” Rina tertawa sambil memukul pundakku.

Ketika semua kembali hening, Rina tiba-tiba berdiri dan pergi ke rumahnya yang menyatu dengan warung. “Hei, mau ke mana?!” Panggilku.

“Aku sedang masak air! Tunggu sebentar!” Sahutnya sebelum menghilang ke dalam rumahnya.

“Huh, dasar.” Gerutuku, karena berdasarkan pengalaman, dia akan sangat lama sekali kalau sudah masuk ke rumahnya. Entah apa sebenarnya yang dia lakukan, tapi ya sudahlah, bukan urusanku juga.

Tidak terasa kue coklatku sudah habis, dan aku berniat untuk pulang karena sepertinya Rina tidak akan kembali dalam waktu dekat.

Aku melenguh, kala terbayang saat-saat aku harus sendirian dan kebosanan di rumah lagi. “Baru sebentar, masa sudah pulang lagi.”

Kumasukkan bungkusan kue coklat tadi ke tempat sampah di sebelah kiriku dan kuambil jus kalengku lalu pergi. Niatnya sih begitu, tapi baru saja aku mau berdiri, sebuah motor matik berhenti tepat dihadapanku.

Aku termangu. Kaget dan tidak percaya sampai jantung serasa lompat ke tenggorokan. Tidak kusangka ternyata yang menjadi pengendaranya adalah Aldi.

Aldi melepas helmnya lalu turun dari motornya. “Eh, Amanda. Sedang apa di sini?” Dengan senyum manisnya, dia menyapaku.

Tentu saja aku tidak siap dengan pertanyaan itu. Segera kusembunyikan mukaku yang mendadak hangat dan mencoba menjawab sebisaku. Tapi selain komat-kamit tanpa suara, tidak ada yang terucap dari mulutku.

Aldi lantas duduk di sebelahku, dan meski aku tidak melihat, aku bisa merasakan kalau dia tengah memperhatikanku cukup dekat. Mungkin karena tingkah konyolku dia jadi heran. Jantungku yang sudah berdebar tidak karuan semakin ingin lepas dari tempatnya.

“Kau tidak kenapa-kenapa, Nda?” Tanyanya dengan suara cemas.

“Aku, aku baik-baik s-saja, kok!” Sahutku seraya memasang senyum. Aku kikuk sekali, juga senang.

Aku ingin lari, sudah tidak tahan aku menahan perasaan yang terus meronta dalam dada. Tapi kuteguhkan diriku. Aku harus berani, karena aku sudah janji bahwa aku akan mencurahkan perasaanku padanya suatu saat nanti.

Ketika kulirik, tampak sebuah senyuman manis mengembang di bibirnya. Sayang, aku tidak kuat memandangnya lama-lama karena bisa membuatku meleleh.

“Begitu, ya? Bagus, deh,” ucapnya begitu lega.

Lalu, kulihat dia berdiri dan melongok ke dalam warung. Dasar Rina, main asal tinggal begitu saja.

Karena sepertinya terlalu lama baginya untuk menemukan pemilik warung, dia duduk lagi dan kembali memandangku. Sekali lagi, kubuang tatapanku.

“Kau, m-mau belanja, Di?” Tanyaku dengan maksud mencairkan suasana.

“Ah, tidak kok. Pulang dari jumatan, aku tidak tahu harus apa lagi dan kuputuskan untuk jalan-jalan saja keliling komplek lalu bertemu denganmu di sini,” katanya. “Jadi kuputuskan untuk berhenti dan yah, akhirnya aku bisa bertemu dengan seseorang yang bisa kuajak mengobrol.”

Mendengarnya membuatku melayang.

Baru saja aku akan menyambung pembicaraan, Aldi telah lebih dulu memotong. “Kau sendiri, sedang apa di sini?”

“Aku? Cuma main saja, kok,” balasku dengan hampir lirih. Terlalu canggung hanya untuk berbicara normal.

Kucoba menoleh ke belakang, Rina masih belum ada di tempatnya. Astaga, kau ke mana sih?

Pada akhirnya, aku dan Aldi hanya duduk dalam diam sama seperti yang lalu. Kuharap aku bisa lebih berani menghadapinya tapi, apa yang bisa kulakukan? Padahal dia kelihatan ingin bicara denganku dan kalau begini terus, aku takut, dia berpikir kalau aku tidak suka dengan kehadirannya.

“Oh ya,” sambungnya tiba-tiba, “kudengar katanya kau itu dulu mantan anggota OSIS, ya?”

Aku mengerdip kaget karena tidak menyangka dia bisa tahu soal itu.

“Kau, tahu dari siapa?” Tanyaku memastikan.

“Dari Sandi.”

Begitu. Aku tidak akan heran kalau Sandi yang bilang padanya.

“Tapi katanya kau mengundurkan diri, ya? Memangnya kenapa, Nda?” Tambahnya lagi dengan suara penuh antusias.

Sebagai balasan, aku hanya tersenyum dan melirik dia sedikit. Sejujurnya, aku malas menceritakan soal itu kepada siapapun. Tidak penting juga bagi orang lain untuk mendengarkannya.

Namun, aku juga tidak bisa serta-merta mengatakan ‘aku tidak mau menceritakannya’ padanya terlebih dia tampaknya sangat ingin tahu tentang alasanku itu. Tapi baiklah, kurasa aku harus berbohong lagi, persis seperti yang kulakukan pada yang lain setiap mereka menanyai soal itu.

“Tidak ada apa-apa, kok. Aku cuma tidak betah saja jadi anggota OSIS. Repot, karena banyak tugas-tugas aneh yang harus kukerjakan.” Kupaksakan tawa kecil, berharap dia percaya.

Kulihat dia mengangguk. Syukur, deh.

Lagi, senyum manis mengembang di bibirnya. “Coba saja aku pindah lebih awal, pasti menyenangkan bisa melihatmu saat masih menjadi anggota OSIS. Pasti keren.”

Sontak aku pun kembali menundukkan pandanganku. Entah itu pujian atau apa, tapi itu sungguh membuat diri meleleh. Aku sadar aku berlebihan, tapi begitulah yang kurasakan sekarang.

“Ahaaii! Serasi banget, sih?”

Aku melonjak ketika tiba-tiba saja Rina yang entah sejak kapan kembali, ikut menimpali begitu saja. Saat kutoleh, dia telah berdiri menatapku dengan senyum usil sambil menopang sebelah pipinya dengan tangan kanannya di atas etalase.

“Apa sih yang kau katakan?! S-Sembarangan!” Buru-buru kusanggah perkataannya tadi.

Senyuman Rina pun berubah jadi seringai jahil yang membuatku gerah. “Cieee! Amanda salah tingkah!”

Seketika mukaku bertambah panas, sementara jantungku serasa hampir meledak karena berdetak terlalu cepat. Kucoba untuk mengelak, tapi tidak ada kata yang bisa terucap. Jadilah aku mengap-mengap seperti ikan sekarat.

Lalu, Rina mengerling Aldi yang celingukan. “Kau sejak kapan pacaran sama dia, Di?”

Eh? Rina kenal sama Aldi? Tapi, bagaimana bisa?

“Apa maksudmu?” Aldi tertawa dan melirik padaku. “Aku dan Amanda hanya kebetulan sekelas, tidak lebih dari itu.”

Ini kesempatanku untuk menyelamatkan diri. “Itu benar! Jangan aneh-aneh, deh!” Sahutku cepat.

“Begitu?” Rina kembali menatapku. “Terus kalau memang bukan, kenapa kau panik begitu?” Lalu dia menunjuk wajahku dengan dagu. “Lihat, mukamu merah, Nda.”

Laksana dikutuk Medusa, aku langsung membatu karena tersadar akan kebodohanku sendiri. Aku lupa kalau wajahku tidak bisa berbohong.

Sekali lagi aku terpojok. Kuarahkan mata ke segala arah, dengan maksud untuk mencari alasan. Tapi tidak bisa aku temukan apapun. Jari-jari tanganku gemetaran dan dingin. Astaga, bagaimana ini?

“Ah, aku pergi saja!”

Pada akhirnya aku pun pergi dengan langkah cepat membawa malu yang sudah tidak dapat ditahan lagi. Bisa kudengar tawa geli Rina dan Aldi yang mencoba memanggil namaku, tapi tidak kuhiraukan dan kutinggal lari.

Meski rasanya ingin sekali menceburkan diri ke dalam sumur, namun bisa bicara dengannya, membuat hatiku berbunga-bunga.

Terpopuler

Comments

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

𝗩⃝🌟Sitirah🍓🍒🐉❤🕊️𝕯🐒💳🏁

lanjut

2020-11-15

1

Sisilia Jho

Sisilia Jho

cinta bikin kalangkabut

2019-09-15

0

Indayani

Indayani

demi poin

2019-07-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!